24|Mengapa?

7.5K 789 26
                                    

Devan membuka kedua matanya perlahan. Ia mengedarkan pandangannya ke sekitar. Lalu mendudukkan badannya ke pinggiran kasur.

06.05

Kedua netra Devan melebar melihat jam di kamarnya. Dengan segera ia ke kamar mandi dan mengambil wudhu. Ia belum melaksanakan kewajiban lima waktunya. Sekitar lima menit kemudian, ia duduk sila dan berdizkir, Devan memohon ampun kepada Allah karena telah melalaikan sholat. Tak lupa, Devan juga merapalkan banyak doa untuk keluarganya.

Devan melipat sajadahnya, lalu bersandar pada ranjang kasur berbahan kayu. Tatapan kosongnya menghadap jendela. Entah apa yang ia pikirkan.

Daripada memikirkan sesuatu yang tidak penting, lebih baik Devan segera bersiap-siap untuk bersihkan badan. Namun sebelumnya, ia memilih turun ke bawah untuk mengambil air. Tenggorokannya serat sekali.

Setelah ia sampai di akhir undakan tangga, matanya menangkap Dafa yang sudah bersiap untuk kembali pergi ke kosannya di Bandung.

Cukup dengan ransel yang ia gendong. Pakaian casual dengan balutan jaket denim, melekat di tubuh Dafa. Masnya ini tampan juga dilihat-lihat.

Kakinya tergerak mengarah ke sana. Seolah kejadian semalam tidak pernah terjadi. Karena memang tidak ada alasan bagi Devan untuk membencinya. Devan menghampiri Dafa yang duduk di sofa dengan tangan yang terus menggulir ponsel.

"M-mas mau berangkat?" tanya Devan dengan sopan. Ia menduduki sofa di seberang yang diduduki Dafa.

Dafa sedikit tersentak. "Eh kamu. Udah bangun?" Ya, meskipun nadanya tidak terdengar ramah, tapi setidaknya Dafa membalas sapaan Devan.

Setelah melirik sebentar kepada adiknya yang paling muda, Dafa fokus lagi kepada benda pipih yang di genggam tangannya.

"U-udah, Mas." jawab Devan. Devan tidak mengerti mengapa jika ia berhadapan langsung dengan kakak tertuanya, rasanya sangat canggung. Devan selalu mengucapkan kalimatnya dengan terbata-bata.

Tak lama setelahnya muncul kehadiran Ardi dengan wajah bugar. Sepertinya ia baru saja mandi pagi.

Dafa pun bangkit. Orang yang ditunggu sejak tadi, kini sudah menunjukkan batang hidungnya. Ia segera mendekati Ardi. "Mas berangkat dulu, Yah."

"Eh? Berangkat sekarang juga?"

Dafa mengangguk. "Iya, Yah. Mau kapan lagi? Aku kan dari tadi nungguin buat pamitan sama Ayah."

Mendengar penuturan Dafa, sontak Ardi mengambil dompetnya. Ia mengeluarkan beberapa lembar uang kertas untuk diberikan kepada Dafa. "Ini buat jajan."

Dafa tercengang. Ia menatap uang merah berjumlah lima lembar itu. Lalu matanya terarah kembali kepada Ayahnya yang memintanya untuk segera menerima uang itu.

Dafa pun mengambilnya perlahan dari tangan Ardi dengan ragu. "Makasih, Yah."

Sejujurnya Dafa merasa sungkan. Ia sudah cukup umur untuk menghasilkan uang sendiri, tanpa harus diberi orang tua. Ya, walaupun uang kuliahnya tetap Ardi yang membayarkannya. Biaya hidupnya juga masih ditanggung Ardi. Tapi, Dafa tidak pernah meminta uang lebih. Pria itu pandai mengatur keuangan. Walau sesekali hidupnya suka foya-foya bersama temannya.

Dafa sadar diri, ia adalah anak pertama. Ia tidak mau merepotkan orang tuanya. Justru, ia ingin meringankan beban mereka. Naluri seorang anak pertama rata-rata seperti itu.

Dafa menyalimi punggung tangan Ardi. "Aku pamit dulu ya, Yah."

Setelah itu Dafa berlalu begitu saja melewati kehadiran seseorang lainnya yang hanya bisa menatap nanar melihat interaksi antara keduanya. Mengabaikan seseorang yang sedari tadi hanya menjadi penonton. Itu Devan.

Invisible ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang