Devan mengusap lengan dengan telapak tangannya sendiri secara menyilang. Pertanda bahwa ia merasa suhu di sini begitu rendah. Padahal lelaki itu sudah memakai baju panjang dan jaket tebal.
"Adek kedinginan?" tanya Davin setelah menurunkan kamera yang ia bawa dan melihat Devan.
Devan tak menjawab. Ia hanya tersenyum manis. Mau menjawab jujur, tidak enak dengan sang kakak karena tadi Davin memintanya untuk menemani menacari foto pemandangan yang bagus. Kalau menjawab bohong pun, pasti Davin sudah mengetahui kebenarannya. Jadi... diam lebih baik.
"Ya udah yuk, masuk. Udah mau malam juga. Maaf ya, gara-gara Kakak, Adek jadi kedinginan begini." Davin mengalungkan kameranya di leher, lalu merangkul Devan masuk ke dalam.
Tetap saja, Devan merasa tidak enak. Ia pun meminta maaf kepada sang kakak. "Maaf ya, Kak."
Hari ini sampai besok, keluarga mereka sedang berlibur ke puncak dan menginap satu malam di Vila milik sang Ayah, tepatnya di Bogor. Di tengah kepadatan jadwal, kelima orang itu tetap memutuskan untuk pergi ke Kota Hujan tersebut. Refreshing kalau kata Davin.
Ardi yang melihat bayangan dua orang mendekat pun, menoleh. Senyumnya mengembang melihat putra kembarnya sedang berjalan mendekat. "Hey twins! sini-sini duduk."
Ardi menggeser tubuhnya. Dafa juga beepindah ke single sofa di sebelahnya. Agar adik kembarnya itu bisa duduk bersama di sini.
Devan dan Davin pun menurut. Mereka duduk di sofa panjang bersama Ardi, dengan Devan berada di tengah. Sedangkan Fani sedang memasak sesuatu di dapur bersama seorang pelayan di sini.
"Besok kita harus foto bareng ya, di belakang bagus tuh view-nya. Tapi kamu yang fotoin, Vin."
Davin mendelik ke arah Dafa. Tak setuju dengan usulan tersebut. "Enak aja! Kalau aku yang fotoin berarti aku nggak ada dong!"
Semua terkekeh mendengar suara tinggi Davin. "Nggak. Nanti kita foto dengan formasi lengkap. Nanti minta tolong aja sama Pak Ridho, atau pake timer kan juga bisa," putus Ardi.
"Kamu kenapa diam aja, Van? Hm?" tanya Ardi lembut.
Devan mendongak dan membalas tatapan dalam sang Ayah, lalu senyumnya terbit. "Nggak kok. Aku nggak apa-apa, Yah." Devan menggosok telapak tangannya ke sofa.
"Devan tuh kedinginan, Yah," sahut Davin jujur yang tanpa melihatnya. Ia sibuk melihat beberapa hasil potretnya tadi. Decakannya terdengar karena Davin merasa belum ada jepretan yang bagus.
Dafa yang mendengar adiknya kedinginan berinisiatif untuk menuang teh manis hangat yang tersedia di teko. Kemudian ia memberikan kepada Devan. "Nih, diminum, Van. Biar hangat tubuh kamu."
Devan memanjangkan tangannya untuk mencapai. "Makasih, Mas," balasnya.
Dafa melengkungkan senyum. Ia bersyukur Devan sudah akrab dengannya.
Tapi tetap saja, Davinlah yang menjadi posisi pertama sebagai orang terdekat Devan.
<<<>>>
Dafa meletakkan kayu bakar di atas api yang membara setelah mengambilnya. Ia menumpuknya menjadi lebih tinggi dibanding sebelumnya.
Setelah itu, Ardi membakar ikan yang sudah diberi bumbu oleh Fani.
Devan hanya terdiam di tempatnya. Mau membantu, tetapi pada melarangnya. Jadinya ia hanya bantu doa. Sesekali mendongak, menatap angkasa penuh bintang di dekat api unggun untuk menghangatkan tubuhnya.
Tak lama kemudian datanglah Davin dengan gitar yang dibawanya. "Nih, Van. Silakan konser!"
Devan tersipu malu. "Apaan sih Kak."
KAMU SEDANG MEMBACA
Invisible ✔
RandomLelaki kembar seiras yang memiliki potret wajah serupa. Devan dan Davin namanya. Namun, kehidupan keduanya berbeda. Tidak tampak tetapi selalu diingat. Jelas terlihat tetapi tak pernah dianggap. Setiap insan memiliki cerita hidup yang berliku-liku...