Davin memandangi langit senja di taman rumah sakit. Banyak anak-anak yang bermain di sini. Beberapa dari mereka tidak memiliki rambut dan berwajah pucat. Davin senang di sini, dapat menghirup udara segar dan melihat yang hijau-hijau. Dari pada tiduran terus badan pegal-pegal.
Leon menemani kerumunan anak kecil itu. Memang pada dasarnya ia suka anak kecil, jadi anak-anak itu menyukai sifat riang Leon. Mereka terbahak ketika Leon melawak.
"Kasihan dia nggak punya adik. Jadinya anak orang lain diajak main." kata Rafi memecah hening.
Davin menoleh ke samping. "Punya adek nggak semenyenangkan itu, Raf." balas Davin lalu terkekeh pelan.
Rafi hanya tersenyum seraya mengangguk karena ia merasakan apa yang selama ini Davin rasakan. Rafi ini sama seperti Davin. Ia memiliki kakak dan adik sekaligus. Ya, bisa dibilang anak tengah.
"Rambut kakak bagus. Kapan ya aku punya rambut bagus kayak begitu?" Seseorang lelaki berumur delapan tahun yang memakai kupluk pun bertanya. Leon yang tadinya tertawa, kini mendadak bungkam.
Ia memikirkan jawaban yang tepat untuk pasien kanker anak-anak di rumah sakit ini. Leon tersenyum tulus kemudian. "Sabar ya. Kakak percaya kok kalian semua di sini pasti bisa sembuh. Nanti kalian pasti bakal punya rambut. Lebih bagus dari punya Kakak. Semangat semuanya!" Leon mengepalkan tangannya, lalu ia angkat setunggi mungkin.
Setelahnya ada dua orang perawat yang menyuruh pasien anak-anak itu kembali ke ruang rawatnya. Hari menjelang malam. Udara semakin dingin.
Mau tak mau Leon dan kerumunan anak kecil itu bubar.
"Dadaa ..." Leon melambaikan tangannya kepada mereka. Lalu, ia berjalan menghampiri sobatnya yang duduk di bangku. "Ayo, Vin ke dalam. Makin dingin udaranya."
Rafi baru ingin membantu bawakan tiang infus Davin. Tetapi Davin justru bergeming. Tatapannya berubah hampa.
"Vin ..." Rafi menepuk pelan pundaknya, bermaksud untuk menyadarkan Davin dari lamunannya.
"Eh?"
Rafi tersenyum menanggapi. "Ayo balik."
Davin mengangguk kemudian. Ia berdiri dengan perlahan. Lalu, ia berjalan ke ruangannya dengan dibantu oleh Leon. Sedangkan Rafi menyeret tiang infus Davin.
Setelah sampai di sana, Ardi sedang duduk di sofa. Mendengar pintu terbuka, ia menoleh. "Lama banget, Vin. Ini udah mau malam tau!"
Davin mendudukkan dirinya dengan perlahan. "Ya makanya udah mau malam, aku balik ke sini."
Atensi Ardi teralihkan kepada dua teman anaknya yang sudah menemaninya. "Kalian pulang aja. Udah malam." pinta Ardi dengan senyuman di bibirnya.
"Iya sana lo pada pulang!" timpal Davin. Anak itu memang tidak ada lembut-lembutnya kepada sahabatnya. Sukanya mengusir.
Kalau tidak ada sang Ayah di sini, mungkin Leon dan Rafi sudah menceburkan Davin ke kolam.
"Eh, iya Om kebetulan kami emang mau pulang." jawab Rafi yang setelahnya mendapat anggukan dari Leon.
"Makasih ya udah mau temanin Davin."
Setelahnya Leon dan Rafi berpamitan dengan sopan dengan Ardi, dua orang itu bergegas keluar.
Kini ruangan itu hanya dihuni oleh dua orang. Hening. Baik Ardi maupun Davin tidak mengeluarkan suara.
Ada yang mengganggu pikiran Davin sejak tadi. Kemana perginya Devan? Kenapa anak itu sama sekali tidak memberinya kabar?
"Adikmu mana, Vin? Dia belum ke sini?"
Davin melirik sang Ayah yang duduk di kursi dekatnya. "Nggak tau."
KAMU SEDANG MEMBACA
Invisible ✔
RandomLelaki kembar seiras yang memiliki potret wajah serupa. Devan dan Davin namanya. Namun, kehidupan keduanya berbeda. Tidak tampak tetapi selalu diingat. Jelas terlihat tetapi tak pernah dianggap. Setiap insan memiliki cerita hidup yang berliku-liku...