"Kamu mau bicara apa, Sen?"
Sena menunduk. Ia meremat tangannya yang disembunyikan di bawah meja. Berkali-kali memikirkan apakah tindakannya ini benar? Atau salah?
Pria berseragam polisi ini menyesap Americano yang baru saja tiba di mejanya. Ia mengernyit melihat keponakannya terdiam. "Avicena?"
Mendengar namanya disebut,pemilik nama Avicena Raditya Jansen itu pun mendongak. "Aku ... mau bilang sesuatu, Om." ucapnya sedikit ragu.
Seseorang yang dipanggil Om itu mengulum senyum. "Mau bilang apa? Bilang aja sama Om. Mumpung Om belum waktunya bertugas."
Terbesit rasa bersalah karena mengganggu waktu istirahat Omnya itu. "Maaf, Om, aku ganggu waktunya."
Vicko, pria dewasa ini terkekeh. "Santai aja sama Om. Sekarang Om tanya sekali lagi. Kamu kenapa?"
Sena merasa didesak oleh Vicko. Maka, ia mengembuskan napas panjang sebelum berkata. "Papa ..."
"Kenapa Bapak Vicktor itu?" tanyanya bercanda. Ia kembali menyeruput minumannya.
Sena menatap takut pria di hadapannya ini. Padahal yang ditatap tidak memasang wajah seram, bahkan ia terlihat senyum. "A-aku ... Mau melaporkan Papa."
Sontak, Vicko menegakkan badannya. Senyumnya luntur begitu saja, berganti dengan alisnya menyatu. Ia taruh kembali cangkirnya di meja. "Melaporkan atas hal apa, Sen?"
Sena memejamkan matanya sesaat sebelum ia mengucapkan kalimat panjang. Menjelaskan kelakuan bejat Papanya selama ini.
Di tempatnya, Vicko fokus mendengarkan. Ingin sekali menyangkal apa yang dikatakan Sena. Vicktor—Kakaknya yang berselisih empat tahun lebih tua itu—orang baik. Ia selalu memberi Vicko bantuan di saat dirinya kesusahan.
Tapi, yang ia lihat, tak ada kebohongan dari pemuda itu. Membuat Vicko mulai mempercayainya.
"A-aku takut Om. Aku—aku nggak mau jadi pembunuh." ujar Sena penuh rasa sesal karena telah berbuat jahat kepada teman sekelasnya.
"Om boleh bertanya?"
Sena mengangguk singkat.
"Kenapa Papamu mempunyai pikiran seperti itu? Memang apa urusan dia dengan temanmu yang tak berdosa itu?"
"Jadi, Papa punya dendam sama Om Ardi, atau Ayahnya teman kembarku itu. Karena, Om Ardi membuat perusahaan Papa bangkrut lima tahun lalu."
Mulut Vicko terbuka. Terlalu mengejutkan baginya. "Jadi, gara-gara duit?" tanya Vicko frontal.
Sena mengangguk pelan. Papanya memang bisa dibilang gila harta. Tetapi ia mengakui bahwa pria yang gigih kerja itu menyayangi keluarganya dengan mencukupi semua kebutuhan dan keinginannya.
Walau, caranya salah.
Vicko menggeram tertahan. Bisa-bisanya Vicktor memiliki dendam begitu besar kepada orang lain. Hanya karena masalah uang. Padahal, sekarang ini perusahan yang telah dirintisnya sudah sukses.
Masalahnya, kenapa harus dilampiaskan kepada anak dari musuhnya? Juga, kenapa harus melalui Sena? Anak itu baik, walau keliahatan seperti berandal.
"Aku minta tolong sama Om, bantu aku nanti."
Vicko menghela napas kasar. Ia melihat Sena menatapnya dengan mohon. "Jadi, apa lagi rencana Papamu?"
<<<>>>
Malam ini terasa mencekam. Devan mengendarai motor hitamnya dengan cepat. Ia menyalip sana-sini. Tak peduli jika orang lain mengklakson, atau memberi umpatan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Invisible ✔
RandomLelaki kembar seiras yang memiliki potret wajah serupa. Devan dan Davin namanya. Namun, kehidupan keduanya berbeda. Tidak tampak tetapi selalu diingat. Jelas terlihat tetapi tak pernah dianggap. Setiap insan memiliki cerita hidup yang berliku-liku...