Devan menoleh ke jam yang terpasang di dinding untuk kesekian kalinya. Lalu beralih ke ponselnya. Berulang-ulang ia lakukan sejak setengah jam lalu.
Pesan yang telah dikirimkannya kepada sang kembaran hanya berakhir centang dua, tak ada pertanda sudah dibaca, ah apalagi mendapat balasan. Membuay Devan heran, tumben sekali Davin seperti ini.
Devan sudah memberi tahukan bahwa ia sudah boleh pulang ke rumah. Dan Davin berkata bahwa ia akan menjemputnya bersama Bunda dan Ayah. Tapi, kenapa sekarang Davin hilang kabar?
Ah, kalau tahu begini Devan jadi nyesel karena sudah mengusir dua cecunguk itu. Siapa lagi kalau bukan Leon dan Rafi. Mereka sudah pulang sejak tadi. Dan kini ia hanya seorang diri. Tanpa ada yang menemani.
Pintu ruangan itu terbuka. Menampilkan kehadiran dokter Rizky. Ia mengambil sesuatu yang tertinggal di sana. Keningnya mengernyit melihat pasiennya duduk seorang diri. "Loh, Devano? Kamu kok belum pulang?"
Devan menatap balik dokter itu. "Iya, Dok. Saya nggak tahu nih. Kak Davin tiba-tiba nggak bisa dihubungin." jawabnya lesu.
"Kok bisa begitu?" Dokter Rizky kembali bertanya.
Devan mendengkus malas. "Saya kan udah bilang nggak tahu. Kenapa masih nanya lagi sih." ujarnya kesal.
Dokter berlesung pipi itu terkekeh. "Ya udah maaf," katanya. Ia duduk di samping Devan, lalu bertanya. "Terus jadinya gimana? Hmm, kamu mau dokter antar?"
Devan segera menegakkan badannya. Ia menggeleng cepat menatap pria berjas putih ini. "Eh, nggak usah, Dok. Saya masih kuat nunggu kok."
"Udah kebiasaan nunggu gebetan yang nggak peka ya kamu. Ah iya, cewek mana yang tertarik sama kamu. Kayaknya nggak ada yaa." Suara gelak tawa Dokter Rizky terdengar setelahnya.
Devan mendelik tak suka. "Enak aja! Mana ada cewek yang nggak tertarik sama saya. Daya tarik seorang Devan itu begitu kuat, Dok. Jadi, nggak ada namanya cewek yang nggak peka kalau sama saya. " jawab Devan percaya diri.
Sang lawan bicara hanya memandang malas remaja di sampingnya ini. "Kayak udah pengalaman aja kamu. Masih kecil juga." Dokter Rizky meremehkan.
"Saya sebentar lagi mau sweet seventeen, loh. Masa iya masih disebut kecil." bantah Devan tak terima.
Dokter Rizky terbahak. "Iya deh yang mau buat KTP."
Devan tak menjawab lagi. Jujur saja, rasa penasaran masih hinggap di kepalanya. Hatinya pun berkata bahwa Davin, bunda, beserta ayahnya tidak akan menjemputnya kesini. Entah kenapa. Apakah kali ini Davin mengecewakannya?
Terjadi keheningan di ruangan itu selama beberapa saat. Dokter Rizky melihat raut sendu di wajah Devan. Ia pun menepuk punggung pemuda itu. "Terus sekarang kamu mau gimana, Devano?" Tanyanya lembut.
Devan menggeleng tak tahu.
"Oh iya, kamu udah ada telepon Ayah atau Bunda belum?"
Devan kembali menggeleng. Mereka saja tidak menjenguknya. Sibuk katanya. Ah padahal, ketika Davin jatuh sakit, seluruh anggota keluarganya ketar-ketir. Ya, Devan harus sadar diri posisinya di lingkungan keluarganya.
"Loh, kenapa?"
Devan menggeleng. Lagi. Lama-lama ia sebal karena dokter ini bertanya ini itu. Devan kurang suka ditanyai mengenai keluarganya.
Devan bangkit dari duduknya. Ia membawa serta tas berisi barang-barangnya. "Saya pulang naik taksi aja, Dok."
"Eh?"
"Saya pamit dulu. Assalamualaikum Dokter Kepo." pamit Devan buru-buru.
Dokter Rizky tidak menahannya. Jika itu maunya Devan, ya sudah. Ia hanya bisa berdoa agar Devan sampai rumahnya dengan selamat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Invisible ✔
De TodoLelaki kembar seiras yang memiliki potret wajah serupa. Devan dan Davin namanya. Namun, kehidupan keduanya berbeda. Tidak tampak tetapi selalu diingat. Jelas terlihat tetapi tak pernah dianggap. Setiap insan memiliki cerita hidup yang berliku-liku...