Hari ini, Devan sudah siap dengan seragam Seninnya. Ia melihat pantulan dirinya di cermin. Devan menyisir rambutnya rapi, namun setelahnya diberantakin lagi.
Menurut Devan, ia tidak cocok berpenampilan rapi. Ia lebih suka menjadi pria bad boy. Ya, Devan memang suka tebar pesona.
"Astaghfirullahalazim, gue berdosa banget." gumam Devan.
Devan menyunggingkan senyum. Mencoba memberi sugesti pada dirinya sendiri bahwa hari ini kan datang lebih indah dibandingkan kemarin.
Devan memakai almet biru kebanggan sekolahnya. Lalu menyampirkan tas gembloknya. Ia beranjak pergi, lalu menutup pintu kamar.
"Devano!"
Langkah Devan terhenti kala telinganya menangkap suara Davin. Ia pun berbalik dan melihat Davin yang berpakaian rapi sama dengannya.
Devan sempat terdiam sejenak sebelum akhirnya mengulas senyum kepada Davin. "Eh, Kak."
Davin mengerutkan keningnya, namun sedetik kemudian ia melangkah mendekati sang kembaran dengan senyum merekah. Ia mengira Devan marah padanya. Mengingat sejak kemarin, keduanya saling diam.
Devan sadar, pasti Davin bingung dengan sikapnya. Maka, Devan inisiatif untuk membuka pembicaraan terlebih dahulu. "Lo kok udah sekolah aja? Emang udah kuat?" tanya Devan sembari memegangi pegangan tangga. Kakinya melangkah perlahan menuju lantai bawah. Diikuti oleh Davin di belakangnya.
"Udah kok. Gue udah baik-baik aja." jawab Davin. Ia mengulum senyum. Senang karena Devan tidak mendiamkannya seperti kemarin.
Mereka berdua langsung duduk kursi ruang makan. Seperti biasa, keluarga itu melakukan kegiatan rutinnya—sarapan bersama. Minus Dafa kali ini, karena ia sudah tidak berada di sini.
"Kamu yakin kan, Vin, udah baik-baik aja?" Fani bertanya.
"Iya, Bunda. Aku udah nggak apa-apa kok. Hari ini wajib masuk, nanti ada ulangan. Ya kan, Van?" tanya Davin kepada Devan yang diangguki mantap oleh Devan. "Lagi pula, nanti aku ada rapat osis." sambungnya.
"Loh, Vin? Nggak bisa izin dulu? Kamu jangan kecapekan dulu beberapa hari ini."
"Nggak papa Bunda. Aku baik-baik aja kok." ujar Devan meyakinkan Fani.
Tak lama kemudian, datanglah Ardi dengan jas kantoran yang melekat di tubuh kekarnya.
"Kamu mau Ayah antar nggak?"
Davin maupun Devan tak menjawab. Bagi Devan pertanyaan itu jelas bukan ditujukan pada dirinya, melainkan Davin. Namun, Davin tidak merasa harus ditanyakan seperti itu, makanya ia tidak menyahut. Lagi pula Ardi tak menyebut nama kan.
"Davin?"
Mendengar namanya dipanggil, Davin menoleh. "Eh? Apa, Yah?"
Ardi mengulangi lagi pertanyaannya dengan sabar. Ia mengunyah roti selai kacang kesukaannya yang sebelumnya sudah dioleskan Fani. "Kamu mau nggak Ayah antar? Nanti pulangnya sekalian dijemput."
"Enggak. Kan bisa naik motor. Kenapa harus diantar jemput segala?"
"Serius loh?" tanya Ardi memastikan. Ia hanya ingin memastikan putranya dalam keadaan baik, mengingat Davin baru saja keluar dari rumah sakit.
Davin mengangguk mantap. "Beneran, Yah. Lagian tumben banget pakai segala antar jemput. Emangnya aku kenapa?"
"Kamu kan baru aja sembuh, Vin. Ayah cuma mau memastikan kalau kamu baik-baik aja." Jelas Ardi.
"Nggak usah berlebihan, Yah. Aku nggak papa kok naik motor kayak biasa." Davin kukuh menolak.
Devan hanya menjadi pendengar. Ia seirngkali jatuh sakit, namun Ardi tak pernah menawarkan untuk mengantar jemputnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Invisible ✔
RandomLelaki kembar seiras yang memiliki potret wajah serupa. Devan dan Davin namanya. Namun, kehidupan keduanya berbeda. Tidak tampak tetapi selalu diingat. Jelas terlihat tetapi tak pernah dianggap. Setiap insan memiliki cerita hidup yang berliku-liku...