Devan memandangi Davin yang sedang tertidur pulas tanpa berkedip. Ruangan serba putih itu tampak sepi. Hanya ada mereka berdua di dalamnya. Sementara, ayah, bunda, dan masnya sedang dalam perjalanan menuju rumah sakit.
Devan ambil tangan Davin yang terasa hangat. Ia kecup lama tangan itu. Menyalurkan kekuatan yang ia punya.
Ceklek...
Ketiga orang itu datang mendekat. Semua terlihat cemas melihat Davin terbaring lemah di ranjang rumah sakit dengan wajah pucat dan infus yang melekat pada tangannya.
Devan bangkit dari duduknya. Ia memberi ruang kepada mereka—Fani, Ardi, dan juga Dafa—yang baru sampai.
"Kakak kenapa bisa begini, Dek?" Fani bertanya lirih.
Meskipun pihak sekolah sudah memberi tahu kejadiannya, tetap saja ia butuh penjelasan yang mendetail. Penjelasan dari Bu Risma—wali kelasnya— yang mengatakan bahwa ada kericuhan di depan gerbang sekolahnya. Yang menjatuhkan beberapa korban luka-luka. Davin adalah salah satunya. Kalimat terakhirnya membuat Fani terpukul.
Ia tatap Devan yang menunjukkan wajah sendu. Sorot mata itu tampak kelam dan hilang arah.
"T-tadi Kak Davin kena balok k-kayu." jawab Devan terbata-bata. Ia memejamkan mata karena bayangan kejadian tadi kembali berputar di pikirannya.
"Astaghfirullah, Nak." Air mata Fani mulai menetes. Ia memeluk tubuh Davin.
"Kenapa kamu bisa baik-baik aja? Sedangkan Davin begini? Kenapa bisa begitu Devano?" Dafa bertanya.
Devan terdiam sejenak. Mencerna perkaraan Dafa yang menuntut penjelasan. Detik itu juga Devan sadar, bahwa kehadirannya di sini memang tidak berarti.
Hadirnya bukanlah apa-apa.
Rasanya sangat sesak. Meskipun begitu, Devan tetap menjawab jujur. "Maaf, i-ini semua salah aku. Kak Davin begini k-karena selamatin aku."
Tepat setelah Devan berkata itu, tak disangka, Ardi menarik pergelangan tangannya paksa. Langkah tegasnya membawa Devan keluar ruangan. Devan hanya bisa mengikuti. Tenaga Ardi tidak main-main.
Plak!
"Apa yang kamu lakukan, Devano?"
Perlahan, Devan membalas tatapan tajam Ardi meski panas dari bekas tamparan sang Ayah masih begitu kentara. "A-ayah ... Maaf ..." ucapnya lirih. Matanya berkaca-kaca. Jelas terlihat bahwa Devan merasa sangat bersalah.
"Kenapa kamu nggak bisa jaga dirimu sendiri sampai-sampai kamu buat Davin terluka? Kenapa?!"
Untung saja koridor itu sedang sepi. Tapi tetap saja aturan rumah sakit itu tidak boleh membuat keributan.
Suara Ardi meninggi, membuat Devan tersentak. Devan menggeleng lemah. Tidak ada yang menginginkan ini terjadi. Termasuk dirinya. "Maafin aku. Maaf, Yah. Maaf..."
"Kenapa kamu nyusahin terus hah?!"
Devan menggeleng. Tak kuat mendengar bentakan Ardi yang terus menyudutkannya. Ia semakin terisak.
"Ayah! Cukup! Devan nggak salah. Jangan marahi dia."
Tiba-tiba suara Bunda terdengar, menghentikan pergerakan Ardi yang sudah mengangkat tangannya ke wajah Devan. Satu tamparan rasanya belum cukup bagi Ardi. Air mata yang sedari tadi menumpuk kini sudah mencair, membasahi pipi Devan.
Fani membawa tubuh rapuh anaknya ke dalam pelukan hangat. Devan balas rengkuhan sang Bunda lebih erat. Bahu Devan bergetar. Fani pun menepuknya, berharap dengan begitu anaknya bisa tenang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Invisible ✔
AléatoireLelaki kembar seiras yang memiliki potret wajah serupa. Devan dan Davin namanya. Namun, kehidupan keduanya berbeda. Tidak tampak tetapi selalu diingat. Jelas terlihat tetapi tak pernah dianggap. Setiap insan memiliki cerita hidup yang berliku-liku...