16|Tanpanya

8.5K 823 25
                                    

Davin mengurut tengkuk adiknya. Devan terus memuntahkan cairan bening yang keluar dari mulutnya. Padahal belum ada makanan yang masuk untuk dicerna di lambungnya.

Devan menjauhkan wadah itu. "Udah?" tanya Davin yang dijawab oleh anggukan kepala oleh Devan.

"Minum, Kak." pinta Devan lirih. Tenggorokannya sakit sekali. Oh, bukan itu saja. Seluruh tubuhnya terasa sakit.

Davin pun memberikan gelas berisi air putih kepada Devan. Ia turut membantu anak itu yang sedikit kesusahan.

Setelah merasa cukup, Devan memberikan gelas kaca itu kepada Davin. Lantas, Davin meletakkan kembali gelas itu ke atas nakas di dekatnya.

"Kak?" panggil Devan lemah. Ia memperhatikan Davin yang mengusap area bibirnya dengan tisu. Benar-benar telaten.

"Kenapa, Dek? Pusing? Apanya yang sakit, hm?" tanya Davin beruntun. Davin berlih mengusap lembut rambut adiknya yang lepek.

"Kalau capek tidur aja." jawab Devan. Ia tidak mau mengganggu jam tidur kakaknya, walau ia sudah melakukannya.

"Gimana bisa tidur, kembaran gue sakit begini. Lo aja tidur duluan. Gue mau bersihin itu." Devan menunjuk lantai basah karena muntahan adiknya.

Davin beranjak keluar. Ia ambil kain yang biasa dipakai untuk lap. Setelah membersihkannya, Davin kembali ke kamar Devan. Adiknya itu terus memperhatikan pergerakannya.

"Kak?"

Davin berdehem. Ditatapnya mata sayu Devan. Sungguh, ia tidak suka melihat mata adiknya yang menahan kesakitan.

"Maaf ngerepotin lo."

Davin menggeleng cepat. "Gue sama sekali nggak ngerasa direpotin kok."

"Tidur, Kak sini samping gue." Devan menepuk tempat di sampingnya. Ia sedikit bergeser agar kakaknya bisa kebagian tempat. Padahal kasurnya cukup luas.

Davin menurut saja. Bohong bila ia tidak lelah. Bohong bila ia tidak mengantuk. Davin rela menahan semuanya demi menjaga Devan.

"Tidur aja lagi Dek, kalau lo pusing. Sini, gue pijit kepala lo biar enakan." kata Davin.

Devan mengangguk. Ia menutup kedua matanya perlahan, sehingga kegelapan menghampirinya. Ia pun merasa jemari kekar Davin bertengger di kepalanya. Mengurut bagian itu dengan lembut, membuat Devan merasa sangat nyaman.

"Makasih ya, Kak. Dan maaf gue ngerepotin lo," Davin berdecak. Pergerakan tangannya terhenti sesaat. Ia baru akan membantah, namun Devan kembali berkata, "lo juga cepetan tidur, Kak. Gue nggak mau lo kecapekan."

Tak lama kemudian suara dengkuran Devan terdengar. Davin memperhatikannya. Ia menghela napas lega karena tarikan napas Devan sudah tidak terlalu berat seperti sebelumnya .

Davin melirik jam yang bertengger. Sudah jam dua pagi. Ia masih memiliki waktu tiga jam lagi untuk beristirahat.

Setelahnya, Davin ikut menutup matanya. Ia tertidur pulas dengan posisi memeluk kembarannya.

<<<>>>

Pagi ini Davin sudah bersiap kembali ke sekolah. Ia kini sedang memakan masakan ala kadarnya. Nasi dengan telur mata sapi sudah cukup baginya. Jangan salah, meskipun lelaki, skill memasaknya tidak perlu diragukan. Saat ini ia hanya ingin memasak yang tidak ribet. Yang penting, ia tidak melewatkan sarapannya.

Tiba-tiba Dafa muncul dan duduk di hadapannya. Matanya fokus melihat Davin yang memasukkan sendok berisi nasi dan telur itu.

Risih, Davin pun berkomentar, "kenapa sih?" tanyanya sinis.

Invisible ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang