43|Adek Sayang Kakak dan Semuanya

18.7K 1K 210
                                    

Sudah dua hari semenjak Devan membuka kedua matanya, keadaan anak itu berangsur-angsur membaik. Bahkan masker oksigennya sudah diganti menjadi nasal kanula.

Devan sudah bisa bergerak bebas, walau hanya gerakan pelan. Karena jika tidak pelan, akan berimbas pada nyeri di perutnya. Dokter bilang itu hal wajar. Lama kelamaan juga akan menghilang.

Devan juga sudah menerima satu per satu anggota keluarganya. Mulai dari Bunda, Mas Dafa, lalu Ayah.

Betul apa yang dikatakan Davin. Keinginan sederhana yang ia dambakan sejak lama, sudah berada di depannya. Devan tak ingin menyia-nyiakan itu semua. Maka dari itu, sehari setelah Devan siuman, ia memanggil satu per satu anggota keluarganya masuk ke dalam. Melalui bantuan Davin.

Ya, walau terkadang Devan masih kaku jika berada bersama mereka. Terlebih lagi bersama Mas Dafa dan Ayah.

Seperti sekarang ini, Devan dan Ardi berada di ruangan VVIP itu berduaan saja. Davin masih sekolah. Fani dan Dafa baru saja pulang ke rumah.

"Devano ..." panggil Ardi.

Lelaki yang sebelumnya sedang menonton TV, kini menatap Ardi sedikit ragu, saat namanya dipanggil. Seperti yang ia bilang tadi, Devan masih kaku. Pelan-pelan ia mengusahakan untuk menghilangkan rasa takut dalam dirinya.

Jantung Ardi berdenyut nyeri melihat putranya sendiri seperti ketakutan melihatnya. "Jangan takut, Nak. Ini Ayah," ujar Ardi dengan senyum teduhnya. Berharap dengan senyumnya, Devan berani menatapnya lebih bebas.

Ardi menggenggam jemari Devan. Membuat Devan lebih berani menatap manik sang ayah. "Terima kasih ... Terima kasih sudah mau maafkan Ayah. Terima kasih sudah mau kembali kepada kita ..." ucapnya tulus.

Devan membalas genggaman Ardi. Ia menarik napas panjang, berusaha mengusir sesak di dada.  "A-aku udah maafin Ayah sejak lama."

Ardi tak tahu lagi bagaimana perasaannya. Putranya yang dulu selalu ia beda-bedakan. Yang selalu ia kasari. Yang selalu mendapat cacian. Sudah memaafkan dirinya yang kotor ini dengan mudah.

"Ayah janji, Nak. Ayah akan menyayangimu sama seperti Ayah menyayangi kedua kakakmu. Ayah nggak akan banding-bandingkan kamu lagi. Ayah akan beri kamu kebebasan untuk memilih cita-cita yang kamu inginkan, Sayang ..."

Devan tersenyum haru mendengar semua permohonan yang dulu selalu ia panjatkan kepada Allah di sepertiga malamnya. Inikah jawaban atas doa-doanya?

"Ayah akan menuruti semua kemauanmu, selama itu bersifat positif. Ayah akan selalu mendukungmu, Devano," ucap Ardi lembut sembari menyisir rambut Devan yang sudah menutupi alisnya.

"Makasih, Yah."

Devan tak dapat berkata-kata. Ia sangat bersyukur jika keluarganya yang dulu sangat ia idamkan—namun terasa jauh untuk digapai—kini sudah berada di genggamannya.

"Ayah sayaaang sekali sama putra kecil Ayah ..." ungkap Ardi tulus menciumi kening Devan.

Ceklek ...

"Assalamualaikum Dev—"

Suara riang Davin terhenti karena ia melihat Ardi sedang berlaku manis kepada adik kembarnya. "—vano," lanjutnya pelan. Sontak saja, Ardi beralih kepada sumber suara di sana.

Davin tak datang sendiri, ia bersama tiga temannya. Iya tiga. Leon, Rafi, dan Sena.

"Ups, kayaknya Kakak datangnya kurang tepat," ucap Davin. Sementara teman-temannya hanya bisa tersenyum senang merasakan suasana hangat pada ruangan ini.

Ardi bangkit dari duduknya. "Kamu ini!" ucap Ardi lalu mengacak rambut Davin.

Davin tertawa puas. Ya, tawa kebahagiaan itu sudah muncul sejak Devannya kembali.

Invisible ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang