"Kamu nggak apa-apa kan, Kak?" Bunda bertanya khawatir melihat sang putra terlihat lemas.
"Nggak apa-apa kok, Bunda. Tenang aja." balas Davin lembut, berharap bisa meredakan rasa khawatir berlebihan bundanya.
Lagi pula dirinya tidak apa-apa kok. Masih sehat. Ya, walau terasa lemas. Tapi kenapa dua orang ini—Devan dan Fani—bersikap berlebihan?
"Kak Davin batu banget tau, Bun. Untung aja tadi ada aku yang maksa Kakak buat istirahat sama makan dulu sebentar. Kalau enggak ... Tepar dah tuh si Kakak."
"Emang tadi kakakmu ngapain aja?" tanya Fani.
"Ngurusin degem baru masuk, Bun. Hari ini juga ada demo ekskul. Nah, Kak Davin jadi ketua pelaksana. Makanya sok sibuk sampai lupa tubuh sendiri."
Telinga Davin rasanya pusing mendengar Devan tak hentinya mengomel sejak tadi. Kini ia malah kompor di depan bundanya. Devan sialan!
"Berisik deh lo." Davin melirik sinis.
"Tapi Devan juga udah makan kan, Dek?" Kini Bunda beralih kepada putra bungsunya. Devan ini tidak berkaca diri. Padahal dirinya juga sama-sama kepala batu. Kadang kalau tidak nafsu makan bisa-bisa tidak ada yang masuk ke dalam perutnya seharian, jika tidak dipaksa.
Ah, mungkin Devan lupa jika ia punya maag. Sudah kronis bahkan. Makanya, Bunda dan Davin seringkali mengingatkan Devan agar tidak sampai telat makan. Kalau tidak, Devan akan berakhir pingsan dan opname. Padahal ia mengaku benci tempat bau obat-obatan itu.
Devan mengangguk. "Udah kok, Bun."
"Bagus deh. Kamu jangan segitunya sama Kakak. Kamu ini ya suka lupa diri. Kamu juga sering kok di posisi si Kakak." kata Bunda lalu ia tertawa pelan.
"Mampus!" Davin tersenyum puas.
"Davin mulutnya." tegur Bunda. Davin pun menyengir polos kepada Fani setelah ia meledek adiknya.
"Ya udah kalian mandi dulu sana. Bunda mau ngedrakor dulu."
Setelanya Fani beranjak pergi menuju kamarnya. Meninggalkan kedua lelaki ini di ruang keluarga.
"Mas Dafa kok nggak keliatan ya?" Devan celingukan mencari keberadaan Kakak pertamanya.
"Paling juga lagi hibernasi." Davin menjawab malas.
Devan terkekeh. "Iya juga tuh benar."
"Apa hibernasi-hibernasi?" Suara Dafa tiba-tiba terdengar. Ia baru saja menuruni tangga lalu menghampiri kedua adiknya.
"Kak Davin Mas bukan aku ya." Devan membela dirinya.
"Suka banget ngomongin yang enggak-enggak tentang Masnya." Dafa duduk di dekat mereka.
"Dih pengin banget diomongin." sahut Davin.
"Kamu kira Mas nggak dengar?"
"Berisik ah, Mas. Mending aku ke kamar," balas Davin. "Ayo, Van." Davin melirik adiknya, bermaksud berjalan bersama menuju kamar.
Devan ikut bangkit. Langkah kakinya mengikuti pergerakan Davin yang agak lambat.
<<<>>>
"Mas mau martabak. Tapi malas keluar." ucap Dafa sambil bersandar di sofa.
Ketiga bersaudara itu kini berada di ruang keluarga. Setelah menyelesaikan makan malamnya, entah mengapa Dafa masih ingin mengunyah sesuatu.
"Emang masih belum kenyang?" Devan bertanya. Kebetulan Devan memakan banyak tadi, karena Bunda memasak makanan favoritnya.
Devan sih bersyukur saja akhir-akhir ini nafsu makannya meningkat. Duh, bisa-bisa abs di perutnya menghilang—Tunggu! Devan boro-boro punya roti sobek seperti itu. Perutnya kan datar. Mengingat hal itu Devan sedih sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Invisible ✔
RandomLelaki kembar seiras yang memiliki potret wajah serupa. Devan dan Davin namanya. Namun, kehidupan keduanya berbeda. Tidak tampak tetapi selalu diingat. Jelas terlihat tetapi tak pernah dianggap. Setiap insan memiliki cerita hidup yang berliku-liku...