Davin : Cause We are Twins

11.1K 822 176
                                    

"Cie yang abis liburan di Puncak."

Devan dan Davin baru saja menduduki kursi tempatnya di kelas. Suara Leon sudah menyapa dengan ramah.

"Padahal ada banyak tugas. Eh kalian enak-enakan malah liburan." Rafi mencibir.

"Nggak papa kali, Raf. Sekali-kali ini," balas Leon, membela Devan dan Davin.

Si kembar belum berniat memberi balasan. Dua temannya itu memang bacot dari dulu.

Devan mengeluarkan sekotak panjang dari dalam tasnya. Takut isinya akan penyok atau berantakan. Ia pun mengelus dadanya, setelah melihat kotak panjang itu baik-baik saja.

Devan melirik Davin yang sedang menatapnya. Mereka berbicara dengan isyarat.

Devan mengangkat kedua alisnya. Dan dibalas oleh Davin dengan tindakan yang sama, setelah itu Davin mengangguk. Baiklah, hanya mereka berdua yang tahu bahasa tersebut.

Devan meraup oksigen banyak. Sebelum ia berteriak kencang. Davin mulai berhitung. "Satu... Dua... Tiga!"

"KUE TALAS BOGOR WOY! KALAU MAU KE MEJA GUE! GRATIS TIS! TIS!" teriakan Devan membuat seisi kelas menjadi heboh.

Leon dan Rafi yang berada di tempat terdekat, langsung mencomot kue dengan topping keju itu. Ia bahkan mengambil alih dengan tempat-tempatnya.

Teman-teman kelas 12 IPA 1 pun berbondong-bondong mendekati meja Si kembar. Mereka bertanya-tanya dimana kue talas yang Devan bilang tadi.

Devan mendengkus. Teman-temannya ini memang laknat ya, sekalinya ada makanan gratis auto mendekat.

Davin yang sedari tadi diam pun mulai bertindak. "Kejar Leon sama Rafi! Tangkep mereka kalau gak mau kehabisan!" Davin berdiri dengan tangan menunjuk dua temannya yang sedang membawa sekotak kue menuju luar kelas.

"ASEMM LO LEON, RAFI!"

"Rafi! Uang kas lo udah nunggak dua bulan! Siniin kuenya anjir!" teriak seorang wanita berkuncir, yang merupakan bendahara kelas.

"SINI LO PADA! Gak gue kasih contekan nih!" ancam seseorang siswa yang mendapat tiga besar di kelas. Untung aja orang itu tidak pelit membagikan jawaban kepada teman-temannya.

Mereka semua yang menginginkan kue itu mengejar Leon dan Rafi sampai keluar kelas.

Devan dan Davin hanya tergelak di temapat duduknya. Katanya kelas unggulan. Tapi kelakuan minus.

Kini ruangan kelas tinggal diisi beberapa orang. Ada yang sudah tertidur. Ada yang sedang mencatat. Lebih tepatnya menyalin jawaban teman. Ada yang sedang membaca buku, ia merupakan anak ambis. Ya, walau tetap Davin menjadi peringkat pertama di kelas ini.

Dan... Ada yang sedang melamun.

Davin mengernyit. "Lo nggak mau kuenya, Sen? Kalau lo nggak keluar pasti nggak kebagian."

Orang itu Sena. Ia tidak melakukan apapun. Hanya berdiam diri.

"Sen?" Devan ikut menoleh ke belakang. "Eh, gue baru sadar lo udah dateng, Sen," katanya.

Sena hanya menyunggingkan senyum tipis. "Gue nggak kepengen aja, Vin."

Ia pusing memikirkan hidupnya yang begitu miris. Setelah Papanya resmi menjadi tahanan, Mamanya ikut menghilang entah kemana. Dan kemarin, Mamanya pulang ke rumah setelah sekian lama tak ada kabar.

Namun dugaan Sena salah. Ia kira, Mamanya akan mendatanginya, dan kembali singgah di rumah itu, bersamanya. Tapi, Mama justru memasukkan baju-bajunya dan barang lain ke dalam koper besar. Ia berkata akan memulai hidup baru bersama pria lain.

Invisible ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang