Devan merasa tidak enak badan sejak semalam. Kepalanya pusing sekali. Untuk menarik napas pun, terkadang kesulitan. Bodohnya, ia memaksakan untuk masuk sekolah.
Jika dulu, Bundanya akan bertanya cemas. Maka kini yang ia dapatkan hanyalah tatapan datar. Devan tidak tahu mengapa Bundanya menular sikap buruk sang Ayah. Tapi, memang Devan sudah dapat menduga hal ini akan terjadi. Jadi, ia tidak terlalu kaget.
Siang ini, Devan hanya bisa menelungkupkan kepalanya di atas meja. Padahal sudah ditawarkan untuk tiduran di UKS oleh Miss Via, tapi Devan menolak. Ah, untung saja guru kesayangannya itu mau mengerti keadaannya. Devan diperbolehkan tidur di kelas selama pelajaran berlangsung.
Sebetulnya ada alasan mengapa Devan menolak istirahat di UKS. Karena tidak ada yang menemaninya. Ada sih paling Leon dan Rafi. Tetapi, kalau boleh memilih, Devan maunya sama Davin saja.
Sayangnya, yang Devan rasakan sejak tadi ialah, Davin sama sekali tidak cemas atau khawatir kepadanya.
"Van, ayo gue temanin ke UKS. Lo makin panas begini deh. Heh, Davin! Temanin bego kembaran lo!" seru Leon setelah menghampiri Devan dan menyentuh dahinya. Davin hanya bergeming di tempat. Ia sedang sibuk dengan kertas-kertas di depannya. Entah apa yang ia susun.
Rafi datang kemudian, ia membawa obat pereda sakit kepala untuk diberikan kepada Devan. Devan pun menerimanya dan menggumamkan terima kasih kepada Rafi.
Devan membuka obat itu dengan tangan bergetar. Lalu ia masukkan pil pahit itu ke dalam mulutnya. Devan ingin mengambil air di botol minumnya. Ia pun memutar tutupnya, lalu mengangkatnya. Namun—
"Bangsat! Apa yang lo lakuin?!"
Botol minum Devan tumpah karena tangan bergetarnya tak kuat mengangkat. Lalu, obat itu tertelan tanpa bantuan air. Yang menjadi fokusnya saat ini ialah, Davin dan kertas-kertasnya.
Lagi-lagi Devan berbuat masalah kepadanya.
Sekarang map berisikan kertas-kertas—yang Devan tidak ketahui isinya apa—sudah basah oleh air. "Ka-kak ..."
Davin melihat map berisikan kertas-kertas itu dengan nanar. "Mau lo apa sih, hah?! Lo tau? Gue ngerjain ini sampai nggak tidur! Sekarang dengan gampangnya lo buat itu basah semua." sentak Davin. Padahal seharusnya ia akan menyerahkan hasil itu nanti. Tetapi semua sirna. Gara-gara Devan.
Dengan mata berkaca-kaca, Devan terus menggeleng, pertanda bahwa ia juga tidak menginginkan hal ini terjadi. "M-maaf ..."
Bahkan kelas yang sebelumnya ramai sedang karaoke, kini menjadikan meja Devan dan Davin sebagai pusat perhatian. Keadaan menjadi hening.
Leon tak tinggal diam. Ia menarik Devan keluar. "Udah gue bilangin kan sama lo. Harusnya lo istirahat aja di UKS."
Rafi tidak ikut serta. Perannya saat ini ialah menenangkan Davin. Rafi tidak tahu sepenting apa kertas-kertas itu. Namun, mendengar dari bentakan Davin tadi, Rafi tahu bahwa Davin sudah mengerjakan semuanya susah payah.
"Nggak seharusnya lo bentak Devan tadi, Vin."
Davin menatap sinis Rafi. "Lo nggak ngerti, Raf," ucapnya pelan. Lalu ia menjambaki rambutnya. Apa yang harus ia bilang kepada Pak Budi—si pembina osis—nanti?
Rafi mendekatinya. Ia menepuk punggung Davin. "Sabar, Vin. Ya, walau tadi emang Devan yang numpahin, tapi dia nggak sengaja. Sumpah! Gue lihat tangannya getar gitu."
Davin mengangkat kepalanya, menatap Rafi. "Adek gue emang kerjanya nyusahin."
Kedua orang itu tak sadar, ada seseorang lain yang tersenyum miring saat melihat saudara kembar itu tak akur.
KAMU SEDANG MEMBACA
Invisible ✔
RandomLelaki kembar seiras yang memiliki potret wajah serupa. Devan dan Davin namanya. Namun, kehidupan keduanya berbeda. Tidak tampak tetapi selalu diingat. Jelas terlihat tetapi tak pernah dianggap. Setiap insan memiliki cerita hidup yang berliku-liku...