Devan dan Davin baru saja tiba di rumahnya sejak lima menit lalu. Devan sedang duduk-duduk di ruang tengah. Ia menolak Davin yang menyuruhnya untuk beristirahat di kamar.
Sebetulnya, tubuhnya masih terasa lemas. Ia tidak mau merepotkan Davin saat naik tangga, dimana kakaknya itu harus menuntunnya.
Sementara Davin sudah lebih dulu ke kamarnya. Ia berkata ingin bersih-bersih. Badannya lengket sekali, Davin tidak nyaman.
Kini Devan sedang duduk di sofa. Tangannya sedang memegang benda pipih yang baru saja ia nyalakan. Devan belum sempat mengecek alat komunikasinya pada hari ini.
Saat ponselnya tersambung pada jaringan wifi di rumah ini, banyak notif yang masuk. Ia membuka aplikasi chat, ternyata itu dari grup kelasnya. Dan beberapa teman-temannya yang menanyai kabar.
Devan tidak mengacuhkan semua itu, ia gulir lagi ke bawah. Jarinya berhenti saat ia melihat pesan dari bundanya.
Bunda
Adek, Bunda sama Ayah lagi pergi ke Surabaya
Devan baik-baik ya sama kakakmu di rumah
Jangan sampai telat makan!
Maaf ya, Dek, bunda baru bilang
Bunda sayang Devan😘Devan tersenyum miris. Bunda baru mengabarinya jam tujuh pagi tadi. Terkadang ia bingung, sebenarnya posisinya di rumah ini sebagai apa? Kenapa Devan merasa kehadirannya di rumah ini sama sekali tidak penting?
Lima detik kemudian ia menggeleng. Menepis pikiran buruknya. Sekali lagi, ia tidak boleh berpikiran buruk tentang keluarganya. Apalagi ini orang yang sudah melahirkan dan membesarkannya. Devan hanya tidak ingin menjadi anak durhaka.
Mungkin saja Bunda dan Ayahnya lupa. Lagipula, malam kemarin kan ia sudah bilang ingin tidur lebih dulu—sampai melewatkan makannya. Jadi, salahkan saja dirinya.
Terlalu fokus pada pikirannya sampai Devan tidak sadar kalau Dafa sudah duduk di sofa lain. Entah darimana datangnya pria itu, hm mungkin dari kamar mandi, atau dapur? Entahlah, Devan tidak memperhatikan.
"Kok kalian baru pulang?" tanya Dafa.
Devan mengerjapkan matanya. Sepertinya Davin belum memberi tahu Masnya kalau tadi ia sempat kambuh. Tapi, itu lebih baik.
"Iya, Mas, ada kerja kelompok."
Jadi, Devan bisa mencari alasan.
Dafa menganggukkan kepalanya. Ia meluruskan kedua kakinya. Badannya ia sandarkan pada sofa empuk yang kini didudukinya.
Devan tidak mengerti. Entah ini hanya perasaannya saja, tapi Devan merasa kalau ia bersama Dafa, berdua, dalam satu ruangan, rasanya seperti—canggung.
"Kata Kak Davin tadi Mas nginep ya?" tanya Devan yang berusaha mencairkan suasana.
"Iya." Dafa menjawab singkat.
Tak ada lagi percakapan setelah itu. Devan tidak tahu lagi topik apa yang harus ia bicarakan kepada Dafa. Devan memang pandai mencari bahasan jika berhadapan dengan orang lain. Namun, akan berbeda hal jika ia bersama Dafa.
Dafa, ia terlihat enggan berbicara dengan adik bungsunya itu. Entahlah, hanya Dafa dan author yang tahu apa yang ada di dalam hati dan pikirannya.
Hingga tak lama kemudian, Dafa berdehem panjang sebelum berkata, "hmm, Mas boleh minta tolong nggak?" Devan belum sempat memberi jawaban, tetapi Dafa sudah melanjutkan lagi kalimatnya. "Beliin Mas, sate ayam di ruko situ. Bisa?"
Devan melihat Dafa yang sedang manatap dengan tatapan mohon. Devan melirik punggung tangannya yang terbalut plester. Ia menatap Dafa kembali dan menganggukkan kepalanya.
Hanya di ruko depan komplek. Tidak jauh kok. Makanya, Devan menyanggupinya. Lagipula, mana bisa ia menolak permintaan Dafa? Mau menjadi adik durhaka?!
KAMU SEDANG MEMBACA
Invisible ✔
RandomLelaki kembar seiras yang memiliki potret wajah serupa. Devan dan Davin namanya. Namun, kehidupan keduanya berbeda. Tidak tampak tetapi selalu diingat. Jelas terlihat tetapi tak pernah dianggap. Setiap insan memiliki cerita hidup yang berliku-liku...