"Van?"
Davin terkejut melihat Devan tertidur di sofa dengan posisi yang sangat tidak enak dilihat. Pasti setelah ini Devan akan merasa pegal pada lehernya.
Rasa tidak tenang yang Davin rasakan tadi, seakan menghilang begitu saja—seperti teman yang datang hanya butuh pertolongan, saat kita membutuhkannya mereka menghilang tanpa jejak.
Keadaan adiknya sepertinya sudah lebih baik. Suhunya sudah normal kembali. Wajahnya pun sudah cerah, walau masih sedikit pucat.
Kedua matanya mengedar. Mencari keberadaan Dafa. Namun yang ia dapat hanyalah sepi. Bahkan jam yang berdentang pun dapat ia dengar.
"Devano? Hey?" Davin menepuk pelan pipi tirus kembarannya. Ia harus membangunkan, meski tidak tega. Davin tidak mau Devan akan bertambah pegal nantinya.
Devan melenguh kecil. Ia mengerjap pelan. "Lo udah pulang?" tanya Devan dengan suara serak.
Devan mendudukkan tubuhnya. Ia mengucek matanya kasar, yang langsung ditahan oleh Davin. "Masih pusing, hm?"
Devan mengangguk pelan. "Sedikit."
"Mas Dafa kemana?"
Devan bergeming sesaat. Nyawanya sudah terkumpul penuh. Sepertinya ia harus berbohong kali ini. Kalau Davin tahu yang sebenarnya kalau Dafa pergi tanpa memberi alasan yang jelas, pasti Davin akan marah dan bertengkar dengan Dafa.
"Dek?" Davin kembali bertanya ketika tak mendapat jawaban.
"Hm, itu Kak, lagi ada urusan gitu. Tapi Mas Dafa tadi—"
"Hishh, kebiasaan deh ngelayap mulu." potong Davin.
Kan benar. Devan kini melihat Davin berdecak sebal. "T-tapi Mas Dafa udah rawat gue kok. Buktinya gue udah nggak apa-apa."
Ampuni Devan Ya Allah :(
Devan jelas berbohong. Bahkan ketika ia membuka matanya di pagi hari tadi, Dafa malah menulis pesan di stikcky notes tanpa memberi penjelasan.
Tidak sepenuhnya bohong sih, kan Dafa sudah membelikannya bubur tadi. Justru seharusnya Devan berterima kasih karena sudah merawatnya. Ya, walaupun hanya membelikan bubur.
"Ya udahlah." balas Davin singkat. Ia menyandarkan tubuhnya ke belakang.
"Kak? Gue mau ke kamar."
"Sok."
Ah, Davin ini tidak peka memang. "Bantuin gitu. Nanti kalau gue jatuh gimana?" gerutu Devan.
Davin terkekeh setelah melihat wajah masam Devan. Ia melepas tasnya, lalu ia pasangkan kepada Devan yang terlihat bingung. "Lo ngap—"
"Sini gue gendong." Davin tiba-tiba sudah merendahkan tubuhnya. Ia memunggungi Devan.
Devan speechless sejenak. "Emang nggak berat?" Nada Devan mengecil ketika bertanya itu.
"Berat sih. Keberatan dosa lo mah," ujar Davin lalu ia tertawa. "Udah buruan. Gue tinggal nih."
Mau tidak mau Devan menaiki punggung kembarannya. Kedua lengannya melingkar pada leher Davin. Sedangkan kedua tangan Davin berada di bokong, menahan bobot tubuh adiknya.
Devan jadi flashback waktu mereka kecil. Dimana Devan terjatuh setelah ia berlari dikejar anjing—karena Devan melemparinya dengan batu. Untung saja pemilik anjing itu segera mengambil hewan peliharaannya. Dan Davin lantas menggendong adiknya yang menangis— karena lututnya berdarah—sampai rumah.
Davin menaiki tangga dengan hati-hati. Ia membawa dua nyawa. Jatuh bisa bahaya. Davin tersenyum tipis saat merasakan Devan menggesekan wajahnya ke punggugnya. Seperti kucing. Dasar manja!
KAMU SEDANG MEMBACA
Invisible ✔
RandomLelaki kembar seiras yang memiliki potret wajah serupa. Devan dan Davin namanya. Namun, kehidupan keduanya berbeda. Tidak tampak tetapi selalu diingat. Jelas terlihat tetapi tak pernah dianggap. Setiap insan memiliki cerita hidup yang berliku-liku...