Kedua lelaki berwajah serupa itu kini sedang berjalan di koridor sekolah. Mereka baru saja sampai beberapa menit lalu. Tetapi sejumlah orang, menatap kedua lelaki itu intens.
Devan dengan senyum ramahnya, sesekali ia menyapa beberapa orang yang mengenalnya. Davin dengan wajah tegas, berjalan dengan penuh wibawa.
"Hai Kak Devan."
"Woah! Kak Devan cerah banget mukanya, lebih cerah dari pada masa depan gue!"
"Kak Davin cakep anjir. Cuek-cuek jutek gitu juga bikin orang meleleh."
"Kak Davin emang jarang senyum. Tapi sekalinya senyum, manisnya ngalahin gula biang."
"Upin Ipin glow up sedang berjalan."
Bisik-bisik itu mulai terdengar. Biasanya kalimat itu keluar dari mulut adik kelas yang terpesona oleh pasangan kembar tersebut.
Davin dan Devan memang sama-sama terkenal. Bedanya Davin terkenal cuek, dan Devan terkenal dengan keramahannya.
Davin dengan organisasi osisnya. Devan dengan ekskul musiknya.
Mereka tiba di kelasnya. Lalu keduanya berjalan santai menghampiri tempat duduknya berada.
"Udah dateng lo berdua?" tanya Devan ketika sudah bertengger manis di bangkunya melihat dua sahabatnya.
"Wah iya dong kelas dua belas harus rajin. Ye gak?" Suara Leon terdengar semangat pagi ini.
Namun tak ada yang menjawab membuat Leon mendengkus.
"Kambing lo semua." ujar Leon.
Devan tergelak setelahnya. "Anjay juga lo, Le. Bisa rajin juga sirip lele."
"Halah, di mulut doang dia mah. Liat aja tiap belajar malah molor mulu." sahut Rafi.
Mendengar itu, Leon melirik sinis Rafi. "Iri bilang karyawan."
"Jijik ngapain iri sama lo." balas Rafi tak mau kalah.
Leon dan Rafi pun melanjutkan sesi debat tidak bergunanya.
Tak lama setelah itu datanglah Sena. Ia melewati tempat Devan dan Davin. Langkah kakinya berjalan ke depan, tetapi matanya tertuju pada Devan yang duduk di pojok dekat tembok.
"Kenapa lo liat-liat adek gue?" tanya Davin tajam membuat Sena terdiam sejenak.
Sena menghentikan langkahnya, lalu ia menatap Davin. "Gue punya mata." jawabnya sengit.
Sontak Davin berdiri. Mensejajarkan tubuhnya dengan Sena. "Nggak usah gitu juga kali ngeliatnya."
Devan menarik lengan Davin agar duduk kembali. "Kak, udah. Biarin aja." Ia hanya tidak ingin Davin terseret dalam masalahnya.
"Minggir lo!" titah Sena karena Davin berdiri tepat di hadapannya, membuatnya terhalang menuju ke tempat duduk.
"Kak, udah." Akhirnya Devan mendudukkan kakaknya.
Sena kembali berjalan tanpa mempedulikan kedua orang itu.
"Lo nggak usah cari masalah deh sama Sena." kata Devan memelankan suaranya.
Davin menghela napasnya. "Gue nggak suka aja cara dia ngelihat lo gimana tadi."
"Gue aja nggak masalah, kenapa lo yang nggak suka."
Sebenarnya Devan bukannya tidak mempermasalahkan itu. Ia hanya sudah terbiasa. Jujur saja, Devan juga ingin mencolok mata tajam Sena jika melihatnya seperti mengajak berantem tadi.
"Karena gue nggak mau lo kenapa-napa."
Tepat saat itu Devan dibuat bungkam oleh kalimat sederhana Davin. Ternyata kakaknya itu sangat menyayanginya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Invisible ✔
RandomLelaki kembar seiras yang memiliki potret wajah serupa. Devan dan Davin namanya. Namun, kehidupan keduanya berbeda. Tidak tampak tetapi selalu diingat. Jelas terlihat tetapi tak pernah dianggap. Setiap insan memiliki cerita hidup yang berliku-liku...