Seperti biasa, keluarga kecil yang harmonis itu sedang melakukan sarapan pagi. Sang kepala keluarga sudah siap dengan setelan kantornya, sedangkan putra kembarnya sudah rapi dengan seragam putih abu-abu lengkap dengan dasi dan topinya.
Hari pertama masuk sekolah ini kedua anak itu terlihat bersemangat. Terlebih lagi kini mereka sudah berada di jenjang paling tinggi di sekolah menengah atas.
Waktu begitu cepat berlalu. Rasanya baru kemarin ia main layang-layang bersama sang ayah dengan bunda yang menyuapinya makan.
"Kalian sekelas lagi tahun ini?" Ardi bertanya setelah meneguk minumannya.
Dengan cepat Devan mengangguk. "Wah iya jelas, Yah. Aku sama Kak Davin tidak terpisahkan. Iya nggak, Kak?" Devan merangkul bahu Davin yang berada di sebelahnya. Padahal ia sendiri belum tahu, karena pengumumannya nanti di sekolah. Tapi, kemungkinan 99,9% sih Devan yakin. Mereka pasti akan sekelas lagi. Dan duduk sebangku lagi. Botakin saja Devan jika salah.
"Yang ada gue bosen tau dari TK sama lo mulu," jawab Davin. Ia menggeleng kemudian. "Enggak! Bukan dari TK aja, malah dari zigot." lanjut Davin seraya melepas rangkulannya.
Fani dan Ardi terkekeh. "Kalau nggak ada Adek juga kamu kesepian kan, Kak?" tanya Fani. Ia paham betul anak kembarnya itu selalu menempel kemana-mana.
Davin tidak menjawab. Karena pertanyaan yang diajukan oleh Bundanya itu memang betul. Jujur saja Davin kesepian jika tidak bersama Devan. Tapi masa ia mengaku di depan Devan? Anak itu langsung salto pasti jika Davin mengakuinya.
"Ah kakak. So sweet ..." Ia mencubit pipi Davin dengan manja.
"Udah sana kalian berangkat. Malah manja-manja." suruh Fani.
Davin berdiri dahulu setelah menepis tangan haram Devan yang berani menyentuh pipi mulusnya. Ia menyalimi punggung tangan Ardi dan Fani bergantian. "Aku pamit dulu, Yah, Bun."
Begitu pula Devan. "Aku juga pamit dulu, Yah, Bun. Jangan kangen ..." Ia pun melakukan kiss bye seperti bayi.
Fani yang mendengar hanya geleng-geleng kepala. Anak bungsunya itu memang suka begitu.
"Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
<<<>>>
Upacara sudah dilakukan. Salah satu kegiatan yang dibenci oleh banyak murid. Berjemur di lapangan dengan teriknya matahari. Siapa yang suka?
Setelahnya, untuk kelas 11 dan 12 dipersilakan untuk melihat kelas barunya masing-masing yang terpasang di mading. Sedangkan kelas 10 masih ada pengarahan oleh kepala sekolah.
Setelah mencari keberadaan kelasnya mereka berdua masuk ke dalam. Sesekali menyapa temannya yang dulu pernah sekelas. Hanya Devan, karena Davin hanya berikan senyum tipis. Itupun jika orang duluan yang menyapanya.
Kedua anak itu memilih untuk duduk di barisan ketiga pojokan. Ralat. Itu pilihan Devan. Davin mah iya-iya aja. Mau duduk dimana aja juga sama, menurutnya.
"WEH KITA SEKELAS LAGI BRO?!" sapa orang yang baru saja masuk bersama satu orang lainnya.
"Gila tiga tahun barengan si kembar. Sampe bosen gue." sahutnya yang lain.
Kedua orang itu—Leon dan Rafi—memilih duduk di belakang Davin dan Devan.
"Yoi mamen!" ucap Devan bersalaman ala lelaki kepada Leon dan Rafi.
Davin mah tos biasa saja sudah cukup. Jujur, dia bosan berteman dengan yang itu-itu saja. Tapi, sudah nyaman. Tapi teman-temannya itu bobrok semua. Tapi ya namanya juga sudah nyaman. Tapi kan bosan. Tapi—
KAMU SEDANG MEMBACA
Invisible ✔
DiversosLelaki kembar seiras yang memiliki potret wajah serupa. Devan dan Davin namanya. Namun, kehidupan keduanya berbeda. Tidak tampak tetapi selalu diingat. Jelas terlihat tetapi tak pernah dianggap. Setiap insan memiliki cerita hidup yang berliku-liku...