"Panas banget badannya."
Leon yang mendengar ucapan Lidya pun semakin gusar. Takut terjadi sesuatu yang buruk kepada sahabatnya itu. Apa yang harus ia lakukan?
"Ke RS aja yuk?" ajak Lidya. Ia tidak bisa menelantarkan anak orang begitu saja.
Leon menggeleng. Bukannya tidak mau. Tapi, setidaknya mereka meminta persetujuan dari Devan lebih dulu. "Nanti dulu deh, Ma. Tunggu Devannya bangun." jawab Leon sambil memandangi dalam Devan yang terpejam dengan alis mengerut tak nyaman.
"Ya udah. Sekarang kamu ambil handuk kecil sama air di baskom sana! Mama mau kompres Devan dulu."
Leon mengangguk dan bergegas keluar. Menyiapkan sesuatu yang Mamanya perintahkan tadi.
Selepas kepergian Leon, Lidya mendengar lenguhan kecil dari Devan. Ia mendekati orang itu. Lidya usap lembut puncak kepalanya. "Devano?"
Mata indah itu perlahan membuka. Hal pertama yang Leon rasakan adalah pusing pada kepalnya. Tubuhnya lemas. Napasnya terasa sesak. Devan yakin karena tendangan maut Sena yang dilayangkan tepat di dadanya. Intinya seluruh tubuhnya sakit. Dan ... Dimana ia?
Devan baru sadar bahwa di sini ada wanita cantik yang memperhatikannya sejak tadi. Detik itu juga ia tahu bahwa tempat yang diabringkannya ini adalah kamar sang sahabat.
Devan pun mencoba untuk bangun duduk. Melihat hal tersebut, Lidya segera menahannya. "Kamu butuh apa? Hm?"
"Aku haus, Tante." jawabnya.
Lidya dengan senang hati memberi Devan segelas air mineral yang sudah disiapkannya. Ia membantu anak itu untuk minum.
Tak lama kemudian datanglah Leon dengan peralatan untuk mengompres. Leon mempercepat langkahnya saat melihat Devan sudah sadar.
"Heh kutil onta! Lo buat gue panik anjir lah!"
Devan mencoba untuk tersenyum. Lagi-lagi ia merepotkan orang lain dan membuat cemas. "Maaf, Tante. Maaf, Le. Maaf udah ngerepotin."
Lidya memukul pelan lengan anaknya, bermaksud menegur. "Kamu ini!" kata Lidya. Ia beralih kepada Devan. "Enggak, Van. Kamu nggak ngerepotin sama sekali kok. Nggak."
Devan tersenyum saja. Tadi Devan memang benar-benar tidak tahu harus kemana. Yang pasti pulang ke rumahnya bukan pilihan yang tepat. Pada akhirnya ia memilih rumah mewah Leon sebagai tujuannya.
"Kamu ada masalah apa, Sayang? Kenapa tadi datang kesini basah-basah gitu? Wajah kamu juga ada lebamnya. Liat tuh, sekarang langsung sakit kan?" tanya Lidya khawatir.
Devan bergeming. Ia tidak mungkin menceritakan masalahnya kepada mereka. Maka jawaban yang Devan berikan adalah gelengan lemah dua kali dan berkata, "aku nggak apa-apa."
Lidya menghela napasnya. Ia tidak ada kuasa untuk memaksa sahabat dari anaknya itu untuk bercerita. "Ya udah, kamu makan dulu ya. Kamu pasti lapar kan."
Devan ingin menolak. Ia memang belum makan seharian ini. Dan juga, ia tidak merasa lapar sejak tadi. Masalahnya, perutnya ini melilit sejak tadi. Perih. Maagnya sudah dipastikan sedang kambuh.
"Sini Tante suapin ya?" Lidya mengambil piring berisikan makanan yang ia buat tadi.
Devan menimang-nimang permintaan Lidya.
"Udah nurut aja! Gue tau maag lo lagi kambuh. Nggak usah ngeyel gue bilang!"
Devan menghela napasnya yang terasa panas. Ia mengangguk pelan. Menerima ajakan Ibu dari sahabatnya itu untuk menyuapinya makan.
Dapat dilihat, Devan mengunyah makanannya dengan malas. Padahal makanan itu merupakan makanan favoritnya. Apa lagi jika Bundanya yang memasak.
Ah, Devan jadi kangen Bundanya di rumah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Invisible ✔
RandomLelaki kembar seiras yang memiliki potret wajah serupa. Devan dan Davin namanya. Namun, kehidupan keduanya berbeda. Tidak tampak tetapi selalu diingat. Jelas terlihat tetapi tak pernah dianggap. Setiap insan memiliki cerita hidup yang berliku-liku...