06|Kegilaan Seorang Devan

9K 857 10
                                    

Perlahan namun pasti, Davin melangkahkan kakinya menuju kamar Devan. Devan bermain di kamarnya sudah sering bukan? Nah sekarang gantian. Waktunya Davin bermain di sana.

Tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu, Davin menerobos saja. Membuat sang empunya kamar terkejut.

"Haish! Gue kira siapa. Ternyata lo." ujar Devan. Ia mengusap dadanya pelan.

Davin tersenyum. Ia menghampiri adiknya yang lebih muda lima menit itu. Devan sedang mengatur ulang senar gitarnya.

"Kaget banget kayaknya."

Devan bergeser sedikit karena Davin yang duduk di sebelahnya. Padahal kasurnya masih luas.

"Lah lo nggak ngetuk dulu," jawab Devan. "Mau ngapain ke sini? Tumben banget."

"Lo aja sering bertamu ke kamar gue. Masa gue nggak boleh."

Devan menghela napasnya. Suka-suka Davin lah. Ia melanjutkan memutar-mutar tunner pada gitarnya agar menghasilkan nada yang tepat.

"Kak, nyanyi bareng kuy!" ajak Devan.

"Nggak ah. Suara gue mahal." tolak Davin yang membuat Devan berdecih.

"Hilih, nggak usah sombong. Suara macam tikus kejepit aja bangga."

Karena kesal, Davin menyentil kening Devan dengan sangat ikhlas.

Davin melihat sekeliling. Kamar Devan memang tidak serapi, sebersih, seglowing kamarnya. Tapi, masih cukup nyaman untuk berada di ruangan bercat abu-abu itu.

"Btw, lo udah ngerjain tugas belum?"

Pertanyaan Davin membuat Devan malas. Ia pun menjauhkan gitarnya dari pangkuannya.

"Gue nggak ngerti anjir. Makanya nggak gue kerjain." jawab Devan disertai dengan kekehannya.

Davin mendengkus keras. Ia pun membuat suatu penawaran. "Kerjain dulu! Sini gue ajarin. Kalau udah selesai ayo nyanyi bareng."

Mata Devan berbinar. "Wah, beneran?"

Davin mengangguk sebagai jawaban. Terkadang kalau Ayahnya atau siapapun itu membandingkan dirinya dengan Devan dalam hal ilmu, pasti Davin akan menang. Ia paham, Devan yang mendengarnya pasti akan bersedih. Tapi raut wajah Devan selalu menunjukkan bahwa anak itu selalu baik-baik saja.

Lagi pula, setiap orang memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing bukan? Kenapa mereka seakan tidak menerima kekurangan yang ia miliki?

Devan mengambil buku tulis dan paketnya. Tak lupa ia mengambil beberapa alat tulis lainnya. Devan bawa ke kasurnya dekat Davin.

Dengan posisi tengkurap, Davin mengajarkan pelan-pelan kepada Devan. Devan pun mendengarkan dengan baik agar ia bisa cepat paham.

"Nah coba lo kerjain yang nomor empat belas. Ntar kalau misal ada yang salah cara gue kasih tahu."

"Aye-aye captain!" Ia mengerjakan soal Fisika pada nomor yang disebutkan Davin.

Meskipun agak lama, tapi Devan dapat menjawab benar. Setelah Davin memeriksanya ia memberi seulas senyum pada adiknya.

"Tuh kan apa gue bilang. Lo itu sebenarnya pintar Devano! Makanya jangan males."

Devan meringis pelan. Entahlah, ia hanya merasa Davin itu berlebihan. "Iya deh, Kak." Lebih baik mengiyakan biar cepat.

"Nomor terakhir tuh nanggung. Kerjain buruan!"

Devan dengan segera menyelesaikan nomor terakhirnya. Jenis soalnya sama seperti nomor sebelumnya. Menjadi lebih mudah baginya, walau angka-angka pada nomor terakhir nominalnya lebih besar.

Invisible ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang