"Eunghh ..."
Kedua orang itu lantas menegakkan tubuhnya mendengar suara lenguhan kecil. Dilihatnya seseorang yang sedari tadi terbaring lemah di brankar kini sudah membuka matanya.
"Akhirnya lo bangun juga, Van." ujar Leon penuh kelegaan.
"Minum dulu nih. Haus kan lo?" tanya Rafi dengan membantu Devan duduk untuk minum air.
Setelah merasa tenggorokannya sudah basah, Devan menjauhkannya. Rafi meletakkan kembali gelas itu di nakas.
"Gue—"
"Nggak usah banyak bacot! Lo di RS, tadi lo pingsan di sekolah," Leon memotong kalimat Devan. Ia sudah menduganya, pasti Devan akan bertanya dimana dirinya berada. "Lo kenapa demen banget buat gue panik sih anjrit?"
Rafi menyenggol lengan Leon, seakan menegur pemuda itu. Rafi tahu Devan akan lebih sensitif saat-saat seperti ini.
"Sorry, Le. Lagi-lagi gue nyusahin lo. Lo juga Raf."
"Nggak, Van. Lo nggak nyusahin kita kok. Leon nggak maksud begitu," balas Rafi.
Keheningan melanda ruangan itu. Devan hanya berpikir, mengapa saat pertama kali ia membuka mata, bukan Davin yang ia lihat? Ah, Devan lupa. Sekarang Davin kan lagi marah padanya.
Apakah mulai sekarang Devan harus membiasakan dirinya tanpa Davin? Tapi, kalaupun iya, apakah Devan sanggup?
"Hmm, Van?"
Suara Leon membuyarkan lamunan Devan. "Kenapa?" Ditatapnya Leon yang sedang memasang wajah serius.
Leon tidak tahu ini waktu yang tepat atau bukan untuk membicarakannya. Tapi Leon sudah kelewat penasaran. "Apa kejadian tadi ada hubungannya sama yang lo ceritain?"
Sedangkan Rafi menyimak. Ia tidak paham maksud Leon. Tapi ia mencoba untuk mendengarkan semua hingga tuntas.
Setelah menggantungkan pertanyaan Leon, Devan pada akhirnya memberi anggukan. "Bahkan, Le. Sepertinya gue udah tahu siapa Si Brengsek itu," jelas Devan. "Kayaknya ini hadiah menggemparkan yang dia maksud."
"Harusnya lo lacak, Van, Si Brengsek itu. Gue mau kok bantu cari dia."
Rafi sepertinya mulai menangkap. "Van, apa lo dapat pesan ngaco yang isinya ancaman itu?"
Devan beralih kepada Rafi. "Lo tahu?"
"Davin cerita ke gue kalau dia akhir-akhir ini kayak diteror gitu." jelas Rafi. "Apa dia orang yang sama?"
Devan menegang. Jadi, bukan dirinya saja? Kakak kembarnya pun mendapat hal sama.
"Tapi kalau gue baca pesan itu. Lebih ke nyudutin lo, Van. Cuma, kadang Davin juga diancam."
"L-lo serius, Raf?"
"Lo pikir hal kayak gini pantas dijadiin lelucon?"
Tiba-tiba saja Devan turun dari brankar. Membuat Rafi mencegahnya. "Lo mau ngapain?"
"Mau pulang," jawab Devan. "Gue nggak mau di sini lama-lama. Lo pada pulang aja ke rumah." sambungnya.
Leon berdecak dan berkata, "Lo masih lemas gini. Nggak usah batu."
"Gue oke." Devan membantah. Bodoh memang. Anak bayi pun sadar bahwa tubuhnya terlihat lemas tak bertenaga.
Sebenarnya bukan itu saja yang Leon takutkan. Ia tahu keadaan keluarga sahabatnya itu dapat dipastikan sedang tidak memihak Devan, setelah kejadian di sekolah tadi. Leon hanya takut, jika Devan pulang ke rumah, nanti malah—ah semoga saja tidak terjadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Invisible ✔
RandomLelaki kembar seiras yang memiliki potret wajah serupa. Devan dan Davin namanya. Namun, kehidupan keduanya berbeda. Tidak tampak tetapi selalu diingat. Jelas terlihat tetapi tak pernah dianggap. Setiap insan memiliki cerita hidup yang berliku-liku...