"Lo ngapain sekolah tolol muka pucet begitu?"
"Karena gue anak rajin." jawab Devan. Ia mengecilkan suhu agar tidak kedinginan.
Leon menghela napasnya. Ia mengendarai kendaraan roda empat kali ini. Lelaki itu sebenarnya lebih menyukai motor dibanding mobil. Lebih praktis katanya. Sayang sekali, motor yang biasanya ia pakai sedang diservis.
"Keluarga lo kok pada tolol semua ya? Kenapa pada nggak sadar lo lagi sakit begini?" tanya Leon sarkas, pandangannya lurus ke depan. "Terutama si Davin."
Devan menoleh. "Lo nggak boleh gitu, Le. Dia juga Kakak gue," Cicit Devan pelan. "Lagian, emang kemarin itu salah gue. Wajar aja kalau dia kesel sampe sekarang." sambungnya lalu membuang muka.
Leon menghela napas. "Tapi, Van, lo itu nggak sengaja dan keadaan lo lagi sakit. Jadi, lo nggak salah. Gue minta sama lo, berhenti salahin diri lo sendiri!" Leon memberi nasihat.
"Bahkan, kalau gue boleh bilang, masalah kemarin itu salah dia sendiri, Van. Udah tahu adeknya sakit, malah cuek bebek gitu. Padahal dulu kalau lo lecet dikit aja dia udah kesetanan." lanjut Leon.
"T-tapi kan Kak Davin lagi benar-benar sibuk." Devan terus membela Davin.
Leon hanya mendelik. "Terserah deh."
Keadaan hening beberapa saat. Devan terlampau malas untuk berdebat dengan Leon. Ia harus menghemat tenaganya. Jangan sampai ia tumbang di sekolah nanti.
"Lo ada masalah apa sebenarnya? Nggak usah dipendam sendiri, tolol. Apalagi sampai ngeluakain diri lo dengan ngiris-ngiris. Gue pecat lo jadi sahabat!" kata Leon sarkas.
Leon melirik. Devan menutup matanya. Entah karena ngantuk, atau menghindari sesi wawanara. Tapi, yang Leon yakini adalah opsi kedua; Devan menghindar untuk ditanya-tanya.
"Gue tahu, Van, gue emang bukan Davin seperti yang lo harapkan. Gue bukan Davin yang selalu menjadi obat lo di saat lo sakit. Gue bukan Davin yang selalu temani lo sejak lama," ungkap Leon. Di tempatnya, Devan memasang kuping, mendengarkan Leon berbicara, walau ia terlihat tidur.
"Gue adalah Leon. Gue sahabat lo. Kalau lo butuh gue, bilang aja. Lo ada masalah, cerita ke gue. Gue lebih suka lo nangis-nangis curhat ke gue daripada lo diem-diem sayat tangan lo."
Detik itu juga, Devan membuka matanya perlahan. Ia melihat Leon dengan wajah serius menatap ke jalanan di hadapannya. Terharu. Satu kata yang mewakilkan Devan saat ini.
"Gue takut, Le."
"Apa yang lo takutin?"
Devan terdiam sejenak. Memikirkan apakah ia harus mengatakan hal ini pada Leon, atau tidak.
"Gue sahabat lo kan, Van?" Leon kembali bertanya. Ia berusaha meyakinkan sang sahabat agar tak ragu menceritakan keluh kesahnya.
Devan menarik napasnya yang terasa sedikit sesak, lalu mengembuskannya perlahan. "Akhir-akhir ini gue lagi diteror, Le. Gue nggak tahu siapa dia."
Alis Leon tersambung. "Maksud lo?"
"Ada yang ngirimin gue pesan-pesan ancaman. Gue bener-bener nggak ngerti maksudnya dia apa."
"Contohnya?"
"Dia bilang bakal ganggu gue terus. Nggak bakal biarin hidup gue tenang. Anjing lah, emang dia pikir selama ini hidup gue tenang?" kata Devan kesal mengeluarkan uneg-unegnya.
Leon sempat tertohok mendengarnya. Namun ia mengubah raut wajahnya lagi.
"Lo udah cerita sama Davin?" tanya Leon. Ia tahu Davin mungkin sedang marah pada Devan. Tapi jika Devan memiliki masalah besar, pasti Davin akan membantunya mencari jalan keluar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Invisible ✔
RandomLelaki kembar seiras yang memiliki potret wajah serupa. Devan dan Davin namanya. Namun, kehidupan keduanya berbeda. Tidak tampak tetapi selalu diingat. Jelas terlihat tetapi tak pernah dianggap. Setiap insan memiliki cerita hidup yang berliku-liku...