42|We Always Together

16K 1K 210
                                    

"Assalamualaikum, Yah. K-kenapa?"

Ardi terdiam sesaat mendengar suara Davin yang terdengar serak. Sepertinya anaknya itu baru menangis. Ardi semakin tak tega untuk memberitahu kabar ini.

"Ayah?"

Ardi terkesiap mendengar suara Davin. "E-eh iya, Vin. Waalaikumsalam."

"Ayah kenapa telepon aku?"

Ardi melirik Fani yang mengangguk lemah, seakan menyuruh suaminya itu untuk melakukan apa yang seharusnya.

Ardi nenghela napas panjang sebelum menjawab, "Kamu siap-siap ya, ke rumah sakit sekarang. Sebentar lagi Mas Dafa jemput kamu."

"Kenapa harus dijemput, aku bisa—"

"Ayah mohon ... Jangan membantah ya?"

"A-apa yang terjadi, Yah?"

"Nggak papa, Nak. Ayah minta kamu harus kuat ya?" jawab Ardi dengan mata terfokus ke dalam, mengintip putranya yang sedang diberikan pertolongan medis.

"Maksud Ayah apa bicara gitu?!"

"Keadaan Devan menurun lagi, Vin."

<<<>>>

Davin membuka pintu itu perlahan. Tadi Ardi berkata bahwa kondisi Devan menurun. Untung saja, tidak begitu buruk sampai harus dibawa ke ruang ICU. Tapi, dokter berpesan untuk terus berhati-hati karena kini kondisi Devan bisa kembali drop kapanpun.

Davin menguatkan dirinya untuk berjalan mendekati sang kembaran. Ia tidak menangis lagi. Entahlah, air matanya sudah habis mungkin. Terlalu banyak yang ia keluarkan sejak hari itu.

"Hai, Dek! Kakak ke sini lagi..." sapa Davin saat menjatuhkan tubuhnya di kursi.

Davin mengambil jemari Devan. Hatinya teriris merasakan jari-jari adiknya semakin kurus hingga menonjolkan tulang. "Kapan Adek mau bangun, hm?"

Davin tahu kalimatnya tak akan terbalas. Namun ia tak berhenti berceloteh. Dokter juga berpesan untuk sering mengajak Devan berbicara. Karena sesungguhnya Devan dapat mendengar semuanya, walau ia tak bisa memberi respons.

"Adek tuh solimi banget yaa sama Kakak! Kakak udah sering-sering ke sini, sampai nggak tidur kadang. Tapi—tapi kenapa Adek malah diemin Kakak begini?" tanya Davin dengan kekeh yang ia paksakan.

"Ah, bukan Kakak aja. Ada Bunda, Ayah, dan Mas Dafa juga loh, Dek. Kita ganti-gantian jagain Adek di sini..." ujar Davin terus menatap wajah pucat Devan. "Karena apa? Adek mau tahu nggak?" Davin bertanya setelahnya.

"Karena kita semua sayang sama Adek," sambung Davin.

Davin mengambil napasnya yang terasa berat. Setiap ia berada di ruangan ini, dadanya begitu sesak melihat Devan yang hanya terbaring lemah seperti ini.

"Oh iya, Kakak hampir lupa," seru Davin saat mengingat sesuatu.

Tangan kirinya mengambil sesuatu dari saku jaket yang dikenakannya. "Tada! Ini gelang dari siapa hayoo?"

Gelang tersebut ia ambil dari sakunya. "Lihat! Kita couple-an loh, Dek. Udah kayak pasangan aja," Davin tertawa hambar.

Kalian harus tahu, betapa menyakitkannya tertawa di saat hati menangis keras.

Invisible ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang