38|Titik Terendah

19.3K 1.1K 355
                                    

Dor!

Dunia seakan berhenti selama beberapa saat setelah mendengar suara mengerikan itu. Di sana. Seorang pemuda jatuh berlutut saat timah panas menembus perutnya. Membuat darah merembes keluar.

"Arghh ..."

Devan.

Lelaki itu terjatuh karena sebuah peluru yang masuk ke dalam perutnya. Bagian itu terus mengeluarkan darah merah. Bahkan baju biru muda yang ia kenakan sudah berubah warna menjadi merah pekat.

"A-adek ..." Davin memanggil lemah. Ia berlari menghampiri Devan yang sudah tak sanggup menahan tubuhnya.

Ia memangku kepala Devan hati-hati. Napas Devan tersengal karena sakit yang ia rasakan. Dadanya naik turun tidak teratur.

Vicktor pun tertawa puas melihat Devan kesakitan. Setelah itu, ia benar-benar menyerahkan dirinya. Tangannya sudah diborgol dan diseret keluar.

"Panggil ambulans cepat!" perintah seorang polisi kepada rekannya.

"Kak ... Shhh sa-sakit ..." Devan terus mendesis. Tangan kanannya ia pakai untuk memegang perutnya itu sudah dipenuhi oleh darah.

Davin tercekat melihat keadaan kembarannya. "Iya, Kakak tahu." Tangan bergetarnya menutupi luka mengerikan itu. Agar darah yang keluar segera berhenti.

Seorang polisi lainnya pun datang mendekat. Menepis perlahan tangan bergetar Davin, lalu seorang polisi itu menutupi luka tembaknya dengan kain yang entah dari mana datangnya. Davin terdiam tidak terlalu memperhatikan, ia hanya memangku adik kembarnya ini dengan banjir air mata.

Devan memejamkan mata. Keningnya mengerut dalam. Merasakan sensasi peluru panas itu membakar perutnya. Sungguh ia tidak kuat menahan sakit ini.

Devan membuka matanya yang mulai berat. Ia dapat melihat Davin yang menangisinya. "Kakak, maaf ..."

Davin semakin terisak. Di saat seperti ini, kenapa kata maaf yang Devan keluarkan. "Adek nggak perlu minta maaf. Harusnya Kakak yang minta maaf. Maaf. Maaf, nggak bisa lindungi Adek."

Devan menggeleng. Hatinya bertambah sakit melihat air mata Davin jatuh menyentuh pipinya. "J-jangan hhh... nangis ..."

Setelah mengucap dua kata singkat itu, Devan terbatuk hebat. Darah muncrat keluar dari mulut Devan. "Uhuk uhuk..."

Mata Davin semakin panas, air mata terus berdesak berjatuhan. Tanpa rasa jijik, Davin mengusap area mulut Devan agar bersih dari noda merah pekat itu. "Adek harus bertahan. Kakak di sini. Kakak nggak akan ninggalin adek lagi," ucap Davin lembut. Ia menggenggam erat tangan Devan. Seakan menyalurkan kekuatan yang Davin punya. Devan pun membalas genggaman Davin dengan lemah.

Napas Devan semakin tersengal. Oksigen seakan tak mau ia hirup sehingga mulutnya terbuka. Rasanya sesak sekali. Matanya tertutup lalu kembali terbuka dengan lemah. Hanya berkedip pun, Devan kesusahan.

Davin membulatkan matanya. Ia semakin kalut merasakan genggaman Devan melemah. "Adek, Kakak mohon. Jangan tutup mata Adek ya? Kakak mohon ... Adek harus bertahan ya? Oke? A-adek kuat kan?"

Devan menggeleng lemah. Rasa sakit ini membuatnya kalah. "M-maaf hhh ..." Devan bersusah payah mengeluarkan suara. Namun yang terdengar hanya bisikan. "Adek capek, Kak," lanjut Devan tanpa suara, namun Davin tetap menangkap maksudnya.

Manik itu semakin berat. Tarikan napasnya sudah melambat. Matanya mengerjap lemah. Devan tak kuat lagi. Hingga pada akhirnya, ia mendengar jeritan Davin memanggil namanya sebelum kegelapan panjang menjemputnya.

<<<>>>

Davin duduk bersandar di depan ruang ICU. Sejak tadi, ia tak bersuara. Pemuda itu tak peduli pada pakaiannya yang penuh dengan darah. Tak hanya itu, tangan dan anggota tubuh lainnya pun penuh oleh darah yang sudah mengering. Tapi Davin sama sekali tak ada pikiran untuk membersihkannya.

Invisible ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang