Akhir-akhir ini hubungan antara Devan dan Davin sedikit merenggang. Devan sangat menyadari itu. Namun, ia berusaha untuk bersikap biasa saja, karena dari yang ia lihat, Davin justru nyaman dengan keadaan ini.
Semenjak kejadian Devan pulang dari rumah sakit kala itu, Davin tak juga memberi penjelasan. Bahkan Devan merasa, Davin seperti menjaga jarak kepadanya.
Jika dulu, Devan bisa masuk sesuka hati ke dalam kamar sang kakak, kini Devan merasa sungkan. Devan tidak mengerti kenapa, namun yang jelas ia merasa seperti ada jarak yang memisahkan mereka.
Dan di sinilah Devan berada. Tepat di depan pintu putih itu. Devan menatap gamang ke depan. Bingung.
Devan ingin bercerita satu hal, namun ia takut mengganggu waktu sibuk Davin. Karena sejak beberapa minggu ini, Davin lebih sering menolak ajakan Devan.
Devan menghela napas. Ia membalikkan badan dengan kepala menunduk. Namun, langkah kakinya tertahan saat itu juga karena sebuah suara tertangkap liang pendengarannya.
"Devano?" Pintu itu terbuka dan memperlihatkan sang pemilik kamar. Davin mengernyit melihat adiknya berdiri di depan pintu. "Lo ngapain?" tanya Davin datar.
Jantung Devan rasanya sudah lompat jauh. Ia belum siap bertemu Davin. Devan tak juga berbalik untuk menatap orang itu.
"Van? Lo ngapain sih di sini? Mau apa?"
Devan meneguk salivanya susah payah sebelum berbalik menatap Davin dengan gerakan pelan. Di hadapannya, kini terlihat wajahnya yang serupa dengan tegas sedang menatap dalam dirinya. "K-kakak ..."
"Gue tanya sekali lagi," tekan Davin. Ia menarik napasnya sebelum melanjutkan kata-katanya yang belum selesai. "Lo ngapain berdiri di depan kamar gue?"
Devan melirikkan matanya ke segala arah. Apapun itu asalkan bukan Davin. Ia berusaha mencari jawaban yang tepat. Ia pun berdehem panjang sebelum membalas, "g-gue—nggak. Nggak papa, Kak. Gue t-tadi kebetulan lewat sini aja."
Bodoh! Jawaban macam apa itu?
Davin memicingkan matanya kepada adik kembarnya ini. "Aneh banget."
Devan menggigit bibir dalamnya. "I-iya ... gitu."
"Kalau ada apa-apa bilang aja sama gue, Van. Nggak perlu takut gitu kali." ujar Davin. Tapi yang Devan dengar, tak ada kelembutan dan ketulusan di sana.
Ia berlalu begitu saja. Melewati Devan yang mematung di tempat. Memang Davin niatnya ingin ke bawah. Mencari yang segar-segar untuk mulutnya sambil mengerjakan proposal dan tugas lain yang memusingkan.
Devan tak berkedip. Setelah langkah kaki tegas Davin tak tertangkap di telinganya, Devan berpegangan pada dinding. Tangan satunya ia gunakan untuk menyentuh dadanya.
Ia mengembuskan napas lega. "Anjir woy! Lega gue ... Kak Davin kenapa jadi nyeremin gitu sih?" Devan bermonolog.
Rasanya melegakan sekali. Hah ... Devan bisa bernapas dengan tenang.
Setelah menenangkan dirinya, Devan berdiri tegak. Ia tidak ingin berlama-lama di sini. Devan berlari menuju kamarnya sendiri dengan terbirit-birit.
<<<>>>
Devan sedang berada di kamarnya sendiri. Menikmati waktu kesendiriannya dengan nyaman. Sepi. Tenang. Ya, walau Devan ini mempunyai sisi ekstrovert. Lelaki itu kalau sedang menyendiri, entah kenapa rasanya enak juga.
Devan memetik gitarnya, menciptakan nada indah yang keluar dari setiap petikan yang ia lakukan.
Lagu ciptaannya tak lupa turut disenandungkan. Devan baru membuat bagian reffnya. Tapi, tak apa, lagu singkat itu memiliki banyak makna.
KAMU SEDANG MEMBACA
Invisible ✔
RandomLelaki kembar seiras yang memiliki potret wajah serupa. Devan dan Davin namanya. Namun, kehidupan keduanya berbeda. Tidak tampak tetapi selalu diingat. Jelas terlihat tetapi tak pernah dianggap. Setiap insan memiliki cerita hidup yang berliku-liku...