07|Keras Kepala

8.3K 860 9
                                    

Setelah melaksanakan sholat zuhur tadi, Devan tampak berbeda. Orang yang selalu ceria kini terlihat lebih diam dari biasanya.

Kini mereka sudah di kelas masing-masing. Karena bel sudah berdering lima belas menit lalu.

Guru pengajar pun sudah bertengger manis di singgasana. Semua murid di kelas itu juga sudah duduk rapi di tempatnya masing-masing. Tidak ada yang berbicara satu pun, atau ia akan kena semprot dari guru di depan. Lagi pula, siapa yang berani kepada Pak Mul?

Guru Fisika yang ditakuti semua siswa siswi. Melakukan sedikit kesalahan pasti akan kena hukuman. Auranya juga menyeramkan.

"Van, lo kenapa?" Davin berbisik pelan tanpa mengalihkan pandangannya sedikitpun kepada papan tulis. Pak Mul sedang menjelaskan Bab pertama pada semester ini. Guru yang usianya hampir setengah abad itu memang tidak suka buang-buang waktu.

"Nggak papa." jawab Devan singkat. Tangannya sibuk mencengkeram erat perutnya.

Devan terkadang memang seperti betina. Jika ditanya kenapa, jawabannya tidak apa-apa. Padahal kenyataannya ia kenapa-kenapa bukan?

Masih dengan posisi tegapnya, Davin perlahan mengambil telapak tangan Devan. Ia merasakan hangat menjalar setelah Davin menyentuhnya.

Ini yang dibilang nggak papa?

Devan pun menjauhkan tangan Davin. Nagapain kakaknya itu pegang-pegang? Dasar jomblo!

Ah, Devan mengutuk dirinya sendiri. Ia jadi menyesal tidak mendengarkan peringatan Davin tadi karena Devan menuangkan lima sambal pada baksonya tadi. Sekarang perutnya terasa sakit.

"Sekarang kumpulkan PR kalian ke meja saya!" Tiba-tiba Pak Mul memberi titah. Yang membuat semua yang berada di kelas itu ke depan, membawa buku tulisnya untuk dikumpulkan.

Davin menoleh ke samping. Memperhatikan Devan mengacak tasnya.

"Kok nggak ada sih?" Devan bertanya sendiri.

"Nggak ada apanya?"

"Buku gue. Perasaan udah gue taro tas deh. Kok nggak ada ya. Apa ketinggalan?"

Davin menghela napasnya. "Kok bisa ketinggalan?"

Devan membalas tatapan Davin. Ia menggeleng tak tahu. Kemana benda itu? Buku tugas yang sudah ia kerjakan bersama Davin semalam.

Habislah ia. Sepertinya sebentar lagi ia akan berakhir di UKS karena Pak Mul pasti akan menghukumnya lari di lapangan pada siang bolong ini. Sudah kepalanya terasa pening, perutnya sakit. Lengkap sudah kesialannya.

"Kurang dua lagi. Siapa yang belum mengumpulkan?" Pak Mul bertanya.

Davin berpikir keras. Dengan tergesa, ia meminta lable nama pada teman ceweknya yang biasa membawa. Ia menempelkannya pada cover bukunya, lalu diganti menjadi nama Devan. Meskipun nama Davin dan Devan hanya berbeda tiga huruf.

"Nih, pakai punya gue aja." Davin memberikan buku tulisnya kepada Devan.

Devan menganga. "Hah?" Ia melihat nama di covernya menjadi nama dirinya.

"Udah lo pakai buku gue aja. Sana kumpulin, keburu Pak Mul marah."

"Tapi, lo?"

"Gampang. Udah ini bawa aja!"

"Siapa yang belum mengumpulkan?" Pak Mul kembali bertanya.

Devan pun bangkit. Ia berjalan dengan pelan menuju meja guru berada. Diikuti oleh Davin dengan tangan kosong.

Devan meletakkan buku itu ke dalam tumpukkan tinggi. Setelahnya ia berbalik, berjalan kembali ke bangkunya berada.

Pak Mul mengerutkan kening melihat Davin maju dengan tangan kosng, tidak membawa buku tugasnya. "Buku kamu kemana?"

Invisible ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang