Dua Belas

15 2 0
                                    

Baron de Coubertin berpakaian seperti Attila The Hun dengan baju perang. Dengan busur dan anak panah dalam posisi miring di atas salah satu bahunya, bersama dengan perisai dan tombak. Di kepalanya, dia mengenakan topi logam runcing dengan wig rambut hitam panjang. Jenggot panjangnya juga palsu. Dia mendekat dengan kerutan menakutkan di wajahnya dan menepuk bahu Schuyler.

"La contesse
voudrait que vous me suiviez, s'il vous plait. (Countess ingin anda mengikuti saya, silahkan)" Kemudian Baron berbalik dengan tumitnya.

Schuyler dan Oliver mulai berjalan mengikuti di belakangnya, tapi Baron menghentikan mereka. "Countess hanya mengizinkan Nona Van Alen untuk menemuinya," katanya dalam bahasa inggris yang sempurna, melihat ke arah Oliver dengan tegas seolah-olah Oliver adalah pengganggu. "Kau tinggal di sini."

Schuyler mengangguk sebagai jawaban atas protes Oliver. "Aku akan baik-baik saja. Aku akan menemuimu setelah itu," katanya. "Jangan khawatir". Schuyler menyadari tamu lain menatap ke arah mereka.

"Dengan siapa baron berbicara?"

"Siapa mereka berdua?"

Mereka berdua menjadi mencolok. Mereka harus mencair sebelum ada yang melihatnya.

"Jangan khawatir? Tapi, kemudian aku akan kehilangan pekerjaan," kata Oliver, mengangkat alisnya.

"Aku bisa mengatasinya," Schuyler bersikeras.

"Itulah yang kukhawatirkan," Oliver menghela nafas. Dia meremas bahu Schuyler yang telanjang. Tangannya kasar dan kapalan, efek dari perjalanan dan pekerjaan mereka. Tangan itu bukan lagi tangan lembut dari seorang anak laki-laki yang menghabiskan sore harinya di museum. Oliver yang dikenal Schuyler tidak pernah tinggal di hotel yang bukan bintang lima selama hidupnya, apalagi hostel seperti tempat yang mereka tinggali sekarang. Schuyler melihat oliver menawar harga mie instan di Shanghai, tawar-menawar yang lebih dari lima sen.

"Aku akan baik-baik saja," schuyler berjanji, kemudian bergumam dengan lembut sehingga baron tidak bisa mendengarnya. "Kurasa ini satu-satunya cara agar aku bisa bertemu countess."

"Biarkan aku bicara lagi padanya, mungkin dia akan mendengarkanku," Oliver berbisik, melihat ke arah baron lalu ke Schuyler. "Jika terjadi sesuatu?"

"Aku tidak akan bisa hidup sendiri," kata Schuyler, menyelesaikan kalimat Oliver. Schuyler melepaskan tangan Oliver dengan lembut. "Aku juga takut, Ollie. Tapi kita sudah setuju. Kita harus melakukan ini."

Oliver mengertakkan giginya. "Aku tidak suka ini" katanya, melihat ke arah baron. Tapi dia membiarkan Schuyler pergi.

Schuyler mengikuti baron keluar dari halaman dan masuk ke aula utama istana. Baron membawanya melalui enfilade yaitu kamar-kamar yang berada dalam satu baris, melewati perpustakaan dan ruang serbaguna. Di ujung lorong yang panjang, Baron membuka pintu ke ruang tamu dan membawanya ke dalam. Sebuah ruangan kecil, penuh dengan mosaik emas, tampak kosong hanya ada bangku beludru merah di tengahnya.

"Tunggu."
Baron pergi, dan mengunci pintu di belakangnya. Schuyler melihat sekeliling. Ada pintu lain di belakang ruangan. Yang pasti menuju ke kantor countess. Schuyler bisa merasakan itu adalah tempatnya, ruang perlindungan. Tidak ada jalan keluar kecuali dua pintu yang terkunci. Salah satu pelajaran dari Lawrence yaitu merasakan perlindungan yang tak terlihat di sekitarnya, sehingga kau bisa mencari tahu bagaimana keluar dari sana.

Melarikan diri adalah sembilan puluh persen persiapan dan sepuluh persen kesempatan, Lawrance suka mengatakan itu. Schuyler menunggu berjam-jam sendirian di ruang kecil. Ruangan itu benar-benar terisolasi dari kebisingan diluar. Dia tidak bisa mendengar apapun dari pesta. Akhirnya pintu terbuka.

The Van Alen Legacy (Book 4 Blue Bloods)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang