Lima puluh empat

10 2 0
                                    

New York Presbyterian, saat Bliss tiba jam kunjungan sudah berakhir, bahkan itu tidak penting. Allegra Van Alen sudah keluar saat dia tiba.
"Tapi apa maksudmu dia pergi? Aku baru saja mendapat telepon bahwa ia bangun.... Aku putrinya!" Bliss menangis.

"Schuyler di sini satu jam yang lalu," kata perawat, tampak bingung. "Dia pergi dengan Allegra."

"Maksudku, aku putrinya yang lain. Oh, sudahlah," Bliss berkata, menghentak dan menjatuhkan tetesan hujan di seluruh lantai.

"Dia sudah pergi. Allegra pergi. Dia bahkan tidak berada di sini cukup lama untuk berbicara denganku. Dia tidak peduli padaku. Dia bahkan tidak tahu aku masih hidup. Kau dengar itu, ayah?" Bliss berteriak di dalam kepalanya. "Kau ada di mana?"

Tapi sepertinya tamu itu tahu kalau mereka takkan menemukan Allegra di rumah sakit. Suatu waktu selama mereka terjebak di kemacetan pusat kota, ia telah mundur.

Bliss pulang ke apartemen kosong seperti biasa. Dia memanggang kentang untuk makan malam. Bahkan jika dia tidak merasa benar-benar lapar sulit untuk menghentikan kebiasaan makan tiga kali sehari.

Setelah mengambil beberapa gigitan dia melemparkan kentang itu ke tempat sampah dan pergi ke kamarnya untuk mencoba gaun barunya. Schuyler benar. Dia seharusnya tidak membeli gaun itu. Gaun itu sangat ketat dibagian dadanya dan terlalu pendek. Dan warnanya tidak tepat; Warna ungu gelap membuatnya tampak pucat dari biasanya, dan bentrok dengan rambut merahnya. Dia melihat dari kacamata penjual. Dia melepas gaun itu dan meremasnya memasukannya kedalam tas sehingga dia dapat membawanya ke toko penjualan barang bekas. Mudah-mudahan dia akan mendapatkan sebagian uangnya kembali. Sejak bangkrut, Forsyth menjadi pelit dengan masalah uang sakunya.

Allegra adalah ibunya.... Kebenaran itu menyakitkan seperti ketika kau mendengar apa yang teman-temanmu benar-benar berpikir tentangmu. Dia menelepon Schuyler lagi, tapi tidak ada jawaban.

Bliss menutup matanya dan pergi ke atas Cloisters, mencari temannya. Dia harus memberitahu seseorang. Tapi bukannya melihat Dylan, dia melihat orang lain.

Seorang pria dalam setelan jas putih. Tamunya. Lucifer. Ayahnya.

"Hallo, putriku"

"Dari mana saja kau? Aku pergi ke rumah sakit, tapi dia sudah tidak ada."

"Oh, aku tahu," katanya. "Dia terlalu cepat untuk kita. Dia selalu begitu. Tapi tidak masalah. Kita akan menyusulnya segera. Terlihat bagus di sini. Kau sebut apa tempat ini?"

"Cloisters," kata Bliss.

"Ah, jadi ini tempatmu bertemu dengan teman lelakimu itu. Tapi jangan khawatir; dia tidak akan menganggu kita lagi"

Bliss merasa perutnya kaku. "Apa maksudmu?"

"Aku tahu apa yang telah kau lakukan. Aku tahu semua yang kau tahu. Kau tidak dapat menyembunyikan dariku, Bliss. Aku mendengar setiap pikiranmu. Aku mendengar setiap perkataanmu. Aku tahu bahwa kau telah melihat apa yang ada dalam pikiranku, dan aku senang. Karena kau harus siap."

"Siap? Untuk apa?"

"Mendengar tentang Allegra mengingatkanku bahwa ada urusan yang belum selesai. Putri sialannya Schuyler Van Alen si darah campuran. Seorang teman yang sangat baik yang kau miliki, dari apa yang bisa kukatakan."

"Bagaimana dengan Schuyler?" Bliss bertanya dengan gugup.

"Forsyth tidak bisa membawanya padaku. Leviathan juga gagal. Sungguh menakjubkan bagaimana aku tidak melihat  keuntungan yang ada dalam jangkauanku. Karena kau tidak akan mengecewakanku, putriku. Tidak. Kau akan membawanya padaku"

Bliss menggelengkan kepalanya dan melangkah pergi, hampir ke tepi atap. "Tidak mungkin! Kau gila jika kau pikir aku akan melakukan hal seperti itu."

Wajah Lucifer tampak tenang. "Kenapa? Apa karena kau salah percaya bahwa Schuyler Van Alen adalah seorang teman, Teman macam apa yang meninggalkanmu? Dia tidak pernah menelepon sekalipun, kan? Tidak pernah ingin tahu bagaimana kabarmu. Teman macam apa itu? Bagaimana dia bisa meninggalkanmu sendirian, mengetahui berapa banyak kau menderita?"

Bliss terus menggelengkan kepalanya dengan kuat sehingga dia berpikir itu akan membuat dirinya pusing. "Dia tidak punya pilihan... Dia berlari... Forsyth membuatnya menjadi buronan!"

"Tetap saja, kita masing-masing memiliki pilihan. Setiap dari kita memiliki kebebasan untuk memilih bagaimana kita bertindak, dan dia memilih untuk meninggalkanmu sendirian. Berdua saja denganku." Lucifer tersenyum lagi, dan kali ini Bliss bisa melihat taringnya.

"Tidak. Aku tidak akan. Kau harus melakukannya sendiri jika kau ingin melakukannya."

"Aku sudah mencoba, sayangku," Lucifer menghela nafas. "Jangan lupa, kami telah, seperti yang kaum mudamu katakan, berada di sana, melakukan itu." Bliss menyadari maksud Lucifer berarti dia sudah mencoba untuk menyakiti Schuyler selama dia berada dalam kendalinya, ketika Bliss sepenuhnya tidak sadar. "Dan sejauh ini aku belum bisa benar-benar menyakiti gadis itu. Perlindungan dari Gabriela mengalir dalam darahnya dan hal itu menyadari kehadiranku. Tapi kau, sayangku, kau memiliki darah ibumu dalam dirimu juga. Sama seperti Schuyler. Kau akan dapat memberi tekanan dimana aku tidak bisa."

"Aku tidak akan pernah melakukannya." Bliss mendorong tinjunya ke dalam saku mantelnya. Ayahnya gila jika dia pikir dia akan menyakiti temannya.

"Nah, sekarang kau punya pilihan, kau dapat melakukan apa yang kuminta, atau kau tidak akan pernah melihat pemuda itu lagi."

"Apa peduliku? Dia tidak nyata," Bliss melawan.

"Dia nyata sepertiku. Kau pikir duniamu satu-satunya yang benar? Ada jumlah tak terbatas dunia di alam semesta. Dunia dalam pikiranmu adalah bagian nyata dari dunia di luar itu."

Bliss menunduk dari atas atap museum. Jika dia melompat, jika dia jatuh ke dalam dunianya, dalam pikirannya, bisa dia menyakiti dirinya sendiri. "Apa yang akan kau lakukan? Apa yang kau ingin aku lakukan... Pada Schuyler," bisiknya.

"Sayangku, bukankah sudah jelas? Kau harus membunuhnya."

The Van Alen Legacy (Book 4 Blue Bloods)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang