Satu malam sebelum hari pertama sekolah. Sudah seminggu sejak Dylan muncul dihadapannya tapi kadang-kadang Bliss yakin dia hanya bermimpi tentang Dylan. Mimpi yang indah, tapi hanya sebuah mimpi. Tapi kemudian Dylan terus datang kembali dan berbicara dengannya, menceritakan hal-hal yang tidak Bliss ketahui (yang tidak pernah terjadi di dalam mimpi: entah bagaimana Bliss selalu tahu dia hanya berbicara dengan alam bawah sadarnya), dan Bliss akhirnya memutuskan Dylan yang berbicara dengannya, atau setidaknya versi dari Dylan.
Bliss tidak pernah tahu kapan Dylan akan kembali, kadang-kadang dia menutup matanya, menunggu dan tidak ada yang terjadi. Di lain waktu saat dia sedang melakukan sesuatu yang lain, memesan kopi atau mencoba sepatu, dia harus keluar secepat mungkin dan menemukan tempat dia bisa sendirian. Hari itu dia mengatur buku-bukunya untuk kelas besok. Dia menyukai bau buku teks baru, dan suka menelusuri jarinya di halaman yang mengkilap. Awal tahun ajaran selalu menjanjikan banyak hal baik. Dia senang bisa kembali.
"Aku juga suka," kata Dylan, Bliss melihat ke belakang bahunya. Membuatnya terkejut melihat Dylan berdiri di sebelahnya, dengan tangan di atas mejanya.
"Ya Tuhan, kau menakutiku"
"Maaf, sulit untuk berada didepanmu. Aku harus membuatmu melihatku, meskipun sekarang kau tahu, aku disini, ini menjadi sedikit lebih mudah?" Dylan terus menoleh ke belakang bahu Bliss. "Apa yang kau ambil tahun ini?"
"Seperti biasa, sekelompok kelas AP dan kelas kehormatan (mengacu pada kelas eksklusif dengan tingkat lebih tinggi dan berjalan lebih cepat). Aku mungkin juga akan memeriksa kelas Kesenian pribadi." Dylan mengangguk dan mengangkat dirinya ke tepi meja sehingga kaki panjangnya berayun diatas lantai.
"Ingin melihat sesuatu yang keren?"
"Tentu"
Dan tanpa peringatan, tiba-tiba Bliss duduk dengan Dylan di atap Cloisters, sebuah museum di bagian paling atas Manhattan. Tentu saja mereka hanya ada dalam pikiran Bliss atau dalam pikiran Dylan. Kenyataannya Bliss masih duduk di kursinya, di mejanya di apartemen. Dylan menjelaskan bahwa ingatannya yang membawa mereka ke sana. Bliss tidak pernah ke Cloisters. Dylan menjelaskan bahwa mereka bisa berada di mana saja. Mereka tidak harus berada dalam kehampaan yang gelap, tanpa apa pun di sekeliling mereka, atau di mana pun Bliss saat itu terjadi. Mereka bisa pergi ke mana pun selama salah satu dari mereka sudah pernah berada di sana. Rasanya seperti memiliki paspor ke mana saja dari masa lalu mereka. Dan Dylan menyukai Cloisters. Pemandangan dari atap cukup menakjubkan.
"Uh-oh," Bliss berkata. "Dia kembali."
Dylan melihat dari atas bahu Bliss, awan badai yang tiba-tiba berkumpul di atas kota. Bahkan dalam gelembung mereka sendiri, mereka tidak bisa melarikan diri dari tamu itu. "Kau tahu apa yang harus dilakukan," kata Dylan.
"Apakah aku," Bliss bertanya. Tapi Dylan sudah pergi, dan Bliss telah meninggalkan saat-saat bahagia mereka di atap.
Tamunya telah mengambil alih, dan menyelinap ke dalam kegelapan, Bliss berasumsi sebagai patung yang hening. Sementara di luar, tubuhnya mondar-mandir di ruangan, meneriakkan perintah pada Forsyth. Dan dewan.
"Barlow telah menyetujui resolusi yang menawarkan Charles Force untuk memimpin rapat lagi, jika dia kembali," kata Forsyth dengan gugup. "Dia bersikeras"
Sang kobra gemetar, menutupinya. "Ini mengganggu. Michael! Mereka selalu beralih pada Michael! Mereka lupakan siapa yang membawa mereka ke surga!"
Forsyth melonggarkan dasinya dengan cemas. "Ah... Dan tentang Paris. Leviathan telah mengkonfirmasi bahwa tak ada lagi gerbang di Lutetia. Hanya Leviathan yang luput tersedot ke dalamnya. Itulah mengapa subvertio tidak berfungsi, karena tidak ada gerbang untuk dihancurkan. Kami ditipu. Charles telah membuat jebakan untuk kita. Tapi Leviathan melepaskan white death ke persimpangan menjadikan waktu berhenti."
"Leviathan sendiri hampir tertarik ke dalamnya. Tapi kabar baiknya, dia yakin jebakan Charles juga akan melenyapkan dirinya sendiri. Archangel telah dihancurkan."
"Dia bisa membuktikan ini?"
"Tidak, tuanku. Tapi tidak ada tanda-tanda dari Charles Force sejak kejadian di Paris."
"Begitu. Michael sedang bermain-main dengan kita juga," Pengunjung itu merenung. "Aku pernah berada di sana, kau tahu, hari dia memalsukan kunci gerbang. Pada hari dia memberi upacara peminyakan dirinya sendiri sebagai penjaga."
"Dia aneh, tuanku. Michael tidak pernah bisa dipercaya."
"Dia memang licik. Tapi sekarang kita tahu. Gerbang tidak lagi di Lutetia. Dia pasti menemukan cara untuk memindahkannya."
Sang tamu merenung sejenak. "Resolusi Barlow ini harus dihancurkan. Tapi dilakukan dengan cara lembut. Kau harus meyakinkan mereka, tidak ada yang bisa berlanjut tanpa mengisi posisi tersebut. Roh perkumpulan menginginkan Regis. Mereka akan berpaling, setelah minggu atau sebulan berlalu dan Charles tetap tidak ada. Kau akan menolak pada awalnya, tetapi mereka akan menekanmu untuk menerima. Kau akan diberi nama Regis.""Baiklah kalau begitu, tuanku."
"Setelah selesai, pekerjaan kita yang sebenarnya bisa dimulai. Tanpa Charles, tanpa Lawrence, mereka akan mencari pemimpin baru. Kau harus masuk ke ruang hampa. Mereka akan kembali padaku. Mereka akan memohon agar aku sekali lagi membimbing mereka, dan melalui engkau, Forsyth, pekerjaan kita yang sebenarnya dapat dimulai...."
Tanpa peringatan, Bliss tiba-tiba terdorong kembali ke kekosongan. "Apa yang terjadi?" Tanya Dylan. "Kenapa kau kembali ke sini?"
"Aku tidak tahu... aku kesal... dia pasti merasakan sesuatu...." Bliss mengatakan kepada Dylan apa yang dia dengar.
"Kau harus kembali ke sana. Kembali menjadi dirimu. Lakukan."
Bliss berkonsentrasi. Dia berusaha sekeras yang dia bisa. Dia merenggut garis yang memisahkan dirinya dari dunia nyata memaksa dirinya untuk melihat dunia lain seperti yang dilakukan tamu itu.
Dan kali ini, dia benar berada dalam pikirannya. Tapi dia tidak berbicara dengan Forysth lagi.
Sebaliknya Bliss melihat apa yang dilihat oleh tamu itu. Tubuh. Mayat. Saling bertumpuk. Anak-anak, lebih tepatnya. Mereka berbaring di auditorium. Mereka telah meminum sesuatu. Sebuah ramuan. Racun. Dicampur oleh iblis. Dia melihat seorang anak spektral kurus memegang gitar, dan seorang gadis cantik dengan penampilan kasar dengan rambut gelap, dan anak laki-laki lain, tampan dan rapi, mereka khawatir. Mereka semua yang berdiri melawan kekacauan ini. Pembantaian tak berdosa. Begitu banyak anak-anak... Darah merah... dibantai.
Lalu dia melihat iblis: seorang anak laki-laki berbentuk anak yang lain. Seorang anak tampan tapi dengan seringai jelek di bibirnya. Dia yang menyebabkannya. Anak lain dari Lucifer.
Gambar-gambar itu berlanjut, satu demi satu: kematian, kehancuran, kebencian, perang. Perbuatan iblis. Lalu, tiba-tiba, penglihatan itu berhenti. Bliss bangun. Dia duduk di mejanya, sendirian. Dia sangat gemetar dia menjatuhkan penanya.
Apa yang terjadi dengan Charles Force? Apakah dia telah hancur seperti yang mereka pikir? Apa yang mereka bicarakan? Gerbang apa yang ingin dihancurkan tamu itu? Dan penglihatan yang dilihatnya siapa anak-anak itu? Apakah itu masa depan? Dan apa yang akan pengunjung lakukan setelah Forsyth menjadi Regis? Apa yang mereka rencanakan? Horor bahkan tidak cukup menggambarkan apa yang dia rasakan. Dylan benar: dia harus menemukan cara menghentikan hal itu, apapun itu, dari kejadian itu.
Blis menutup matanya, "Dylan?" Panggilnya, "kau disana? Dimana kau?"
Tapi tidak ada jawaban, didalam ataupun diluar.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Van Alen Legacy (Book 4 Blue Bloods)
VampireTerjemahan Buku keempat dari seri Blue Bloods Hanya mencoba menerjemahkan, novel ini bukan milik saya Apabila ada kekurangan dan kesalahan dalam penerjemahan mohon maaf, terjemahan ini hanya untuk kesenangan semata. Author : melissa de la cruz Bahas...