Tak sampai satu tahun Tita indekos bersamaku dan Anty di rumah Bu Ndari. Dia hengkang dari kosan di bulan ketujuh.
"Nyokap memutuskan pindah rumah ke Purwokerto," begitu jawab Tita saat aku dan Anty bertanya perihal kepindahannya.
"Bukan karena Mas Joko atau kejadian marahnya ibu kos tempo hari kan, Ta?" Tanyaku.
Tita menggeleng. "Ga lah. Kekanakan banget sih gue pindah gara-gara gitu doang. Serius, nyokap gue emang mau pindah rumah ke Purwokerto. Makanya gue belum bisa ikut kalian hangout dulu sementara ini karena kudu bantuin nyicil bawa barang."
Aku dan Anty mengangguk paham. Namun, meski kami tak lagi satu kosan, hubungan kami tetap seperti biasa. Aku, Anty, Tita, dan Silvi bagaikan empat sekawan yang tidak terpisahkan.
Seperti siang ini selepas kuliah Reading 2. Aku, Anty, Tita, dan Silvi bersama-sama menuju kamar mandi. Sebenarnya Anty yang kebelet karena dia emang cenderung lebih beser daripada aku, Tita, dan Silvi.
"Gue masuk duluan yak," kata Anty lalu buru-buru nyelonong ke dalam kamar mandi yang kosong tanpa menunggu konfirmasi dari yang lain.
"Aku juga ah," kataku yang langsung memilih kamar mandi di sebelah Anty yang juga kosong. Sementara Tita dan Silvi menunggu diluar karena hanya ada dua kamar mandi di sana. Tita dan Silvi sibuk nyanyi-nyanyi dengan suara fals mereka. Untung saja keadaan di sekitar kamar mandi sedang sepi. Kalau saja ramai mungkin sudah banyak orang yang tergeletak tak bernyawa karena pecah gendang telinga mendengar suara fals duet Tita dan Silvi.
Setelah puas buang hajat, aku dan Anty lalu keluar dari kamar mandi. Giliran Tita dan Silvi yang menggunakan kamnar mandi. Lalu aku melipir ke bangku di depan ruang 8 yang agak jauh dari kamar mandi karena mendapat panggilan telepon dari ibu yang mengatakan sudah mengirim uang bulanan dan obrolan anak-ibu yang lain. Sementara Anty kulihat sedang bercermin di depan kamar mandi. Tiba-tiba Anty tergopoh-gopoh berlari ke arahku dengan wajah panik. Aku yang kebetulan sudah selesai menerima telepon dari ibu tak kuasa bertanya, "Kamu kenapa?" pada Anty.
"A-ada hantu!" Anty mengatakan dua kata itu dengan susah payah.
"Hantu?" Aku sedikit mendecih.
"Demi Allah, Mir!" Anty sampai bersumpah. "Gue liat sendiri tadi."
"Dimana?" Tanyaku masih tak percaya. Tentu saja. Ini masih siang bolong mana mungkin ada hantu. Bukannya hantu identik muncul di malam hari?
Anty menunjuk depan kamar mandi. "Disitu."
Lalu Tita dan Silvi keluar dari kamar mandi bertepatan dengan Anty menunjuk ke arah mereka.
"Kenapa?"
"Ada apa nih?"
Tita dan Silvi sama-sama bertanya. Mereka bingung melihat ekspresi Anty yang seperti habis melihat sesuatu yang menakutkan.
"Anty abis liat hantu katanya," aku menjelaskan.
"Hantu?" Tita dan Silvi saling pandang.
"Dimana?" Tanya Silvi.
"Disitu. Di depan kamar mandi." Anty menunjuk-nunjuk cermin yang tadi dipakainya untuk mematut diri.
"Ah, yang bener lo?" Tita ikut takut.
"Bentuknya apa, Ty?" Silvi justru penasaran.
"Jadi tadi tuh abis gue keluar kamar mandi kan Samira terima telepon di depan ruang 8 sana, gue disini sendirian. Gue lagi ngaca. Terus gue sempet nengok bentar ke arah Samira karena gue pikir dia pergi dari sana kan. Nah, pas gue balik ngaca lagi tiba-tiba di belakang gue ada anak kecil Cina gitu cilukba ke gue. Pas gue nengok ke belakang ga ada siapa-siapa." Anty bercerita sambil bergidik ngeri.
"Anak Cina?" Silvi mengerutkan kening.
"Iya. Anaknya gendut putih gitu pake baju Cina yang merah itu loh. Terus dandanannya kayak vampir-vampir lucu di film Cina jaman dulu. Inget kan lo?" Terang Anty.
"Kok bisa ya?" Silvi masih penasaran. "Maksud gue apakah kampus ini dulunya bekas pendudukan Cina apa gimana atau mungkin bekas makam Cina apa gimana gitu."
Aku mengedikkan bahu. Tita menggeleng. Sedangkan Anty masih syok. Sepertinya ini pengalaman mistis pertamanya sehingga membuatnya tak bisa berkata-kata.
"Eh, aku pernah denger cerita dari siapa gitu ya. Katanya kalo kita lewat kampus sini pas tengah malem gitu terus liat atapnya ada Mbak Kunti nangkring. Terus ada yang bilang juga pohon beringin di lapangan sebelah kampus yang depan SD itu juga angker. Depan SD-nya juga angker. Pernah ada kepala gelinding gitu. Terus-"
"Stop, stop, stop!" Anty memutus ceritaku. "Gue abis liat hantu pake mata kepala gue sendiri, Mir. Gue masih syok. Kenapa lo langsung nambahin cerita yang lebih horor lagi?"
"Sorry," aku meringis lalu memberi isyarat merisleting mulut dengan jari.
Sebagai gambaran singkat, kampusku ini terletak di dekat jalan raya. Di sebelah kampusku ada jalanan menurun yang menuju ke sebuah lapangan yang ada pohon beringinnya. Lapangan ini ada di depan sebuah bangunan SD.
"Ga usah terlalu dipikirin, Ty. Wajar sih orang kadang suka diliatin gitu. Anggep aja buat cerita lo ke temen-temen yang lain suatu saat nanti." Kata Silvi yang emang orangnya easy going.
"Tapi ini pengalaman pertama gue, Vi, liat yang begituan. Selama ini gue cuma tau hal-hal gaib gitu dari cerita orang. Sekarang pas udah kejadian beneran sama gue gimana ga serem coba?"
Kami semua terdiam.
"Ya udah deh. Mending kita makan siang aja dulu. Kita dari tadi disini lumayan lama loh. Ntar keburu ga sempet makan padahal kita ada kuliah lagi abis ini. Mana Samira kan kalo makan lama banget." Tita akhirnya menengahi.
"Setuju!" Aku menyahut.
Akhirnya semua sepakat meninggalkan kampus dan berjalan ke arah warung mi ayam di seberang kampus untuk makan siang. Anty masih belum bisa melupakan kejadian horor yang dialaminya sampai beberapa hari kemudian tapi semuanya tetap baik-baik saja. Gara-gara kejadian itu pula Anty paling ogah kalau harus ke kamar mandi sendiri apalagi bercermin di depannya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Balada Mahasiswa: F R N D S (TAMAT)
General FictionPersahabatan bagai kepompong Mengubah ulat menjadi kupu-kupu . . . Meski aku benci kupu-kupu tak apalah karena mereka adalah teman-teman ajaib yang membuatku beruntung mengenal mereka.