Bab 17| Mana Tahan

270 29 0
                                    

Aku ini orang yang agak susah BAB. Mungkin karena aku tidak begitu suka makan sayur dan buah. Apalagi sejak menjadi anak kos membeli buah bagaikan membeli sebuah barang mewah. Aku selalu berpikir lebih baik membeli nasi daripada membeli sekilo buah karena uang yang dipakai untuk membeli sekilo buah bisa dipakai untuk membeli tiga sampai lima porsi makan sekaligus.

Sementara sayur adalah hal langka yang bisa ditemukan di dalam seporsi nasi rames yang biasanya hanya berisi oseng tempe atau tahu dan mi goreng. Lagipula menurutku sayur itu rasanya pahit. Oleh sebab itu, aku memang jarang sekali makan sayur atau membeli makan dengan lauk sayur. Aku hanya mau makan sayur sop atau bayam. Itupun harus buatan ibu. Praktis aku hanya makan sayur saat libur semester saja.

Tak heran akhirnya aku BAB cuma dua sampai tiga hari sekali. Jadi ketika aku kebelet aku harus buru-buru membuangnya. Kalau tidak maka aku akan sembelit lagi sampai dua-tiga hari ke depan. Ternyata hal ini menimbulkan ketidaksenangan di hati ibu kos.

"Lo kalo pup jangan pas ibu kos lagi mandi dong, Mir." Tegur Anty suatu hari.

"Kenapa emang?" Aku masa bodo.

"Ya ga sopan lah. Kan bau."

"Ya ampun, Ty, namanya berak pasti bau lah. Berak kan sama aja kayak sampah. Lo tau kan sampah pasti bau dong."

"Iya, tau. Tapi maksud gue timing-nya yang harus dipasin gitu loh. Jangan pas ibu kos lagi mandi di sebelah juga."

Oh ya, sebagai pencerahan, rumah indekosku itu punya kamar mandi dan WC yang dipisah. Sebenarnya kamar mandi dan WC tipe ini agak menyulitkanku karena aku sering sekali kebelet pup mendadak saat mandi. Kalau ini di rumah aku bisa saja nyelonong ke WC sebelah tanpa pakai apapun atau cuma menutup tubuh dengan handuk. Tapi aku tak mungkin melakukan hal itu di rumah indekos karena ada penghuni laki-laki disini.

"Masalahnya, Ty, timing kebelet itu bukan aku yang mau. Itu terjadi tiba-tiba aja gitu dan entah kenapa selalu bertepatan dengan si ibu kos mandi."

Anty tak menyahut jadi aku menambahkan.

"Kamu kan tau aku tuh paling susah kalo BAB. Jadi sekalinya kebelet harus buru-buru dikeluarin biar ga jadi penyakit. Apalagi aku ga suka ngeden karena takut jadi wasir. Nongkrong kelamaan buat nunggu bisa pup dengan sendirinya juga nanti diprotes banyak orang. WC-nya kan cuma satu. Serba salah kan jadinya."

Anty menatapku nelangsa. "Iya sih ya."

"Emang kenapa sih tiba-tiba kamu ngomong gitu? Ibu kos curhat gitu ke kamu?" Aku menyelidiki.

Anty awalnya merasa tak enak hati tapi akhirnya mengangguk. "Iya. Tempo hari ibu kos cerita kalo dia sering banget nemuin lo pup pas dia lagi mandi. Dan dia ngerasa kebauan di kamar mandi sebelah."

"Lah, terus emang jadi salahku kalo kotoranku bau? Kotoran dia juga pasti bau kali. Dan aku juga ga akan protes kalo dia pup pas aku lagi mandi kok. Lagian aku selalu langsung nyiram kotoranku begitu keluar biar baunya ga kelamaan ngendap di udara."

Anty menggaruk kepala. "Yah, gimana dong? Gue cuma kebagian nyampein ini doang ke lo, Mir."

Aku mendecih sebal. "Kalo dia punya keluhan ke aku kenapa ngadunya ke kamu? Kenapa ga langsung ngomong ke aku aja?"

Anty mengedikkan bahu tanda tak mengerti. "Gue juga ga paham. Mungkin dia sungkan mau ngomong ke lo langsung makanya dia bilangnya lewat gue."

"Justru aneh kan? Maksudnya dia kan ibu kos disini. Dia juga lebih tua. Posisinya lebih tinggi daripada aku yang cuma numpang tinggal disini dan jauh lebih muda. Kalo dia punya keluhan lebih gampang ngomong ke akunya langsung kan daripada lewat orang lain. Malah bisa jadi kalo disampein orang lain jadi salah paham."

"Iya juga sih." Anty setuju dengan pendapatku. "Oh, mungkin wajah lo serem kali, Mir. Jutek. Makanya ibu kos males ngomong sama lo. Takutnya emosi." Anty tertawa mendengar kesimpulannya sendiri.

"Sialan!"

Sempat jeda diam sejenak sampai kemudian aku melanjutkan lagi, "Lagian kalo aku BAB kudu nunggu sampe ibu kos kelar mandi keburu keluar duluan. Ibu kos kan mandinya sebelas dua belas sama Mbak Parti. Sama-sama lama."

"Iya emang."

"Kenapa juga sih kamar mandi sama WC dipisah segala? Kan repot gini jadinya." Aku memprotes. Sementara Anty diam saja.

"Kita udah setahun ngekos disini, Ty. Kamu masih betah? Masih mau ngekos disini lagi ga?" Tanyaku tiba-tiba.

"Nah, itu dia yang mau gue omongin ke lo, Mir." Sahut Anty. "Gue tuh diajakin Naras nyari kosan. Gue juga kepikiran pengen nyari kos baru."

"Naras yang ngekos depan lapangan SD itu?" Tanyaku mengkonfirmasi.

Anty mengangguk. "Iya. Dia pengen pindah kosan katanya."

"Kenapa? Kayaknya enak sih disitu? Kan kamarnya misah sama pemilik kos."

"Kosan disitu kan campuran. Ada yang cowok juga. Dia ga enak katanya ngekos campur gitu. Terus ada anak kecil juga jadi agak ga nyaman karena kadang keganggu sama suara berisik anak-anak terus kadang mereka suka nyelonong gitu aja masuk ke kamar." Terang Anty.

"Oh." Aku ber-oh ria saja. "Terus ada bayangan bakal nyari kosan dimana?" Tanyaku.

Anty mengangkat bahu. "Belum tau. Tapi yang jelas masih di sekitaran kampus lah biar deket. Gimana?"

"Kapan mau mulai nyari?"

"Hari Minggu ini. Lo mau ikut?"

Aku mengangguk. "Aku ikut kalo gitu. Kalo kamu pindah aku juga ikut pindah."

Anty berkata, "Gue tuh ngerasa makin lama makin ga nyaman disini. Pertama, karena kamar kita serumah sama yang punya kos. Kedua, ada Mas Joko. Ketiga, gue lama-lama ga tahan sama kebiasaan Mbak Parti dan tetangga yang suka nyetel musik kayak ada hajatan. Keempat, gue makin ga enak sejak kejadian tempo hari itu-"

"Tapi kan kamu udah putus sama Maul?"

Iya, usia pacaran Anty dan Maul memang tak lama. Cuma bertahan tiga bulan. Entah kebetulan atau memang sudah takdir, hubungan Tita dan Bowo juga tak lebih langgeng. Mereka bahkan sudah putus di bulan kedua.

"Tapi kejadian itu kan tetep membekas di gue, Mir. Bukan ga mungkin kan kalo gue punya pacar lagi terus bakal ada kejadian kayak gitu lagi kan?"

"Mmm, iya juga sih."

"Dan kelima, lo ngerasa ga sih makin lama ibu kos makin rese? Ribet? Cerewet gitu? Yang masalah jemuran lah. Inget ga yang kita ga boleh nyuci barengan karena takut ga kebagian tempat ngejemur baju. Yang masalah air panas lah. Lo ga boleh minta air panas banyak-banyak padahal tadinya lo selalu dikasih jatah setermos-"

Aku menjentikkan jari. "Bener banget. Dan sekarang ini. Aku ga boleh berak pas dia lagi mandi. Give me a break!"

"Nah, makanya itu gue kepikiran buat pindah kos. Gue makin ga nyaman disini. Gue udah bilang sama ortu gue dan mereka setuju aja."

"Mmm, kalo aku mending nemuin kos penggantinya dulu kali ya baru bilang ortu. Biar jelas gitu kalo ditanya."

"Terserah lo aja sih itu mah. Yang jelas kita bilang ke ibu kos kalo kita mau pindah pas udah nemuin kosan baru aja."

"Oke." Aku menyetujui rencana Anty.

Akhirnya kami mulai bergerilya mencari kosan baru bersama Naras tiap hari Minggu karena itu satu-satunya hari libur kami di antara jadwal kuliah kami yang padat. Butuh waktu nyaris satu bulan untuk mencari kosan baru yang sesuai dengan keinginan kami semua. Akhirnya pencarian kami berakhir di satu perumahan. Meski akhirnya aku jadi tak satu kos dengan Anty lagi- karena Anty lebih cocok dengan rumah yang dipilih Naras- tapi tempat kos kami bersebelahan sehingga memungkinkan aku berkunjung ke kos Anty tiap saat. Dan dimulailah ceritaku di tempat kos baru.

*** 

Balada Mahasiswa: F R N D S (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang