Bab 48| Guru: Diguyu Lan Ditinggal Turu (1)

147 27 0
                                    

Sudah pernah kuceritakan kan kalau konsentrasi Bahasa dan Sastra Inggris dibagi menjadi 4: linguistik, sastra, penerjemahan, dan  pengajaran? Nah, semester 5 adalah semester dimana para mahasiswa diberikan kesempatan untuk memilih mata kuliah yang sesuai dengan minat mereka agar kelak ketika mengerjakan skripsi mereka sudah tahu arah mereka akan kemana. Salah satu mata kuliah itu adalah Interaksi Belajar Mengajar untuk konsentrasi bidang pengajaran meski sebenarnya aku sendiri tidak terlalu menyukai kegiatan pengajaran. Aku memilih mata kuliah itu karena sebagian besar teman-temanku mengambil mata kuliah itu. Biasalah, namanya juga remaja. Masih labil. Masih kebawa arus.

Dosennya bernama Pak Saiful. Rebellion, yang hobi memberikan julukan pada setiap dosen, menyematkan nama Botak Sula padanya. Entah apa arti 'sula' tapi kalau botak itu memang karena jumlah helaian rambut di kepala Pak Saiful mirip lembaran duit seratus ribu di dompetku kala akhir bulan. Tipis.

Pak Saiful ini sebenernya dosen yang supeeeeerrr baik. Tidak pernah marah, tidak pernah memberi nilai jelek, tidak pernah terlambat- Ah iya, kebiasaan tidak pernah terlambat ini harusnya baik tapi kadang bisa jadi buruk bagi mahasiswa tukang telat seperti Silvi atau Rebellion. Bayangkan saja, Pak Saiful baru terlambat 5 menit saja dia sudah minta maaf padahal dosen lain tidak pernah ada yang begitu. Tapi kalau mahasiswa yang terlambat auto diusir. Harusnya kalau ada dosen yang terlambat para mahasiswa juga berhak mengusir dosen yang terlambat. Ya kan?

Sayangnya, menurut sebagian besar mahasiswa, Pak Saiful dinilai tidak pandai dalam menyampaikan materi karena terlalu textboo*. Sebelas dua belas sama dosen Jerman lah. Oleh sebab itu, Rebellion juga mengatainya Si Radio Rusak. Tapi bagiku sih tidak masalah. Toh, dia tidak ribet urusan nilai. Tinggal duduk manis saja di kelasnya sampai kelas berakhir, belajar dengan baik sebelum ujian, kerjakan soal ujian, dan taraaa~ dapatkan nilai A kemudian. Selesai.

Oh, tapi sebenarnya bukan Pak Saiful inti ceritaku kali ini. Yang barusan hanyalah intermezzo. Inti ceritaku kali ini adalah pada mata kuliah yang diajarnya. Mata kuliah ini mensyaratkan para mahasiswa yang mengambil mata kuliah ini untuk praktik mengajar di sekolah. Nahasnya, sistem praktik mengajar ala IBM tidak seperti sistem praktik magang atau mengajar kebanyakan. Kami justru diharuskan mencari sekolah sendiri dan tidak diberikan surat pengantar apapun. Bukankah itu menyusahkan dan menjengkelkan? Yang membuat kami kalang kabut, ada beberapa sekolah yang menolak didatangi mahasiswa magang atau praktik mengajar karena sudah menjelang akhir semester (kalau bersaing dengan mahasiswa PKL rasanya tidak mungkin mengingat di Purwokerto belum ada universitas yang membuka jurusan pendidikan saat itu) dan ada beberapa sekolah yang sudah punya guru mata pelajaran bahasa Inggris di sekolahnya. Padahal kami diberikan tenggat mengajar selama 6 bulan. Parahnya, entah karena Pak Saiful yang kurang perhitungan atau memang kurangnya waktu bagi mata kuliah ini, izin mengajar itu baru ada setelah kuliah berlangsung selama 3 bulan. Total kami hanya punya waktu 3 bulan saja untuk mengajar yang berarti kami harus memanipulasi lembar laporan pengajaran.

"Harusnya matkul kayak gini tuh dikasih berjenjang. IBM 1 dan IBM 2." Keluh Silvi saat menerima lembar laporan pengajaran yang sudah memuat tabel-tabel materi selama 6 bulan penuh.

"Kalo kayak gini yang pusing kan kita. Gimana caranya kita melengkapi laporannya coba sementara sekolah aja kita belum nemu."

Aku tercenung. Aku menyesal kenapa dulu ga ambil mata kuliah bisnis aja. Kampret emang.

"Bener. Harusnya ada IBM 1 khusus buat penyampaian materi misalnya class management terus nanti di semester berikutnya ada IBM 2 khusus buat praktik ngajar." Sahut Tita.

"Mana ini kita udah nyari sekolah ke sana kemari ga nemu. Waktunya mepet. Kita kudu kuliah yang lain juga tapi kudu mikirin yang ini. Ya Allah..." Aku tak mau kalah berkeluh kesah.

"Eh, gue ada ide!" Tiba-tiba Tita berkata. Ketika melihatnya bilang begitu, aku seolah bisa melihat ada bohlam bersinar di kepalanya.

"Di deket rumah gue ada sekolah SD. Lo mau pada nyobain ke sana ga?"

"Nah, boleh tuh. Kapan?" Aku dan Silvi bersemangat.

"Besok gimana? Lo ada waktu ga?" Tanya Tita.

"Ada kok ada. Iya kan, Vi? Rika aja turu bae lho besok. Awas aja!" Aku menanggapi.

"Rika, rika. Nama gue Silvi bukan rika." Silvi manyun ke arahku. Aku terkekeh. "Siap. Besok jam berapa?"

"Hmm, jam 9 aja gimana?" Usul Tita.

"Oke."

"Eh, Anty ga diajakin nih bareng kita?" Tanyaku. Baru tersadar kalau Anty belum ikut hitungan. Biasanya kami selalu bersama dalam suka dan duka. Halah.

"Sejak sekosan bareng Naras kan Anty jadi rada jauh sama kita, Mir. Lo ga ngerasa emangnya?" Kata Silvi dengan nada sinis.

Aku berpikir. "Masa sih? Eh, tapi emang iya sih. Anty jadi agak beda. Sekarang jadi jarang ngumpul bareng kita lagi."

"Nah kan apa gue bilang waktu itu ke lo, Ta. Naras tuh emang kayaknya ngasih pengaruh buruk ke Anty deh." Silvi yang bawaannya kayak ibu tiri (antagonis maksudnya) mulai menghembuskan kecurigaannya.

"Terus enaknya kita tanyain ga?" Tanyaku.

"Gila lo! Lo mau nanyain ke Anty kenapa dia ga pernah ngumpul lagi sama kita?" Tanya Silvi.

"Ck, bukanlah, Vi. Nanyain dia mau ikut kita apa ga. Mau joinan sama kita apa ga nyari SD." Jawabku.

"Oh, kirain-" Silvi nyengir tengsin.

"Ngg, ga usah deh. Nanti aja kita pastiin dulu mereka nerima mahasiswa buat ngajar praktik di situ ga. Dari kemarin-kemarin kan kita gagal mulu nyari sekolah. Kalo emang udah beneran ada nanti kita baru bilang Anty." Kata Tita.

"Kalo ada, please jangan ngajakin Naras juga. Gue punya feeling ga enak sama dia." Pesan Silvi.

"Eh, aku boleh ajakin Radit juga ga?" Tanyaku sambil pasang ekspresi memelas. "Soalnya tempo hari dia cerita kalo dia belom nemu sekolah juga. Boleh ya?"

"Iya, Mir. Ga papa. Eka juga mau ikutan kok. Pertimbangan gue kan di SD ada 6 kelas jadi kalo buat kita masih ada 3 slot lagi kan? Bisa lah buat Anty, Radit, sama Eka." Kata Tita.

Aku tersenyum senang dan bersiap mengabari Radit soal rencana kami ke SD besok. Omong-omong, Eka adalah salah satu anggota geng Rebellion yang jadi pacar Tita beberapa bulan belakangan ini. Gara-gara anggota Rebellion ada yang punya pacar, Bima mengusulkan agar dibentuk Rebel Girls yang beranggotakan aku, Tita, dan Silvi, serta pacar Andri yang bukan dari anak kampus sastra. Tentu saja ide itu ditolak mentah-mentah oleh kami karena kami tidak mau ketularan absurd seperti mereka. Meskipun begitu tetap saja Bima menyebut kami Rebel Girls. Terserahlah.

***

Balada Mahasiswa: F R N D S (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang