Bab 19| Pacar Pertama

207 31 0
                                    

Aku belum pernah pacaran. Miris? Tidak. Tragis? Tidak juga. Menyedihkan? Tidak sama sekali. Selama ini aku bahagia saja meski tak punya pacar. Pun ketika Anty dan Tita sudah lebih dulu punya pacar sementara aku masih setia menyendiri bagiku itu bukan masalah. Namun, semua berubah ketika aku kenal Radit. Dia teman sekelasku. Dia tidak tampan sih dan jauh dari kesan pangeran sempurna yang tersemat pada pria-pria di cerita romansa ala remaja tapi cukup menyenangkan untuk diajak mengobrol.

Radit suka musik dan bisa main alat musik. Radit punya band di kampus dengan anak kelas lain. Dia seorang drummer. Aku suka cowok yang bisa ngedrum. Waktu SMP dulu aku pernah naksir teman sekelasku yang drummer. Sayangnya cintaku bertepuk sebelah tangan karena dia jadian dengan anak kelas sebelah padahal aku sudah sering memberinya kode. Yah, itulah kenapa sebetulnya cewek ga perlu pake kode ke cowok. Pertama, cowok ga peka. Kedua, cowok ga ngerti bahasa kode. Kita kasih kode morse, mereka menerjemahkan dengan kode Caesar atau kode Atbash. Apalagi bahasa kode perempuan. Yang para cowok tahu, cewek cuma bisa bilang terserah yang menurut mereka bisa multitafsir.

Radit suka musik bergenre rock. Aku lebih suka dengan musik bergenre RnB dan musik-musik upbeat lainnya. Tapi bagiku itu bukanlah suatu hal yang patut dipermasalahkan. Bukankah musik bisa menyatukan banyak orang? Bukankah musik adalah bahasa paling indah yang bisa mempersatukan semua manusia di muka bumi? Siapa coba yang ga suka musik?

Aku lupa bagaimana kita bisa jadi dekat terus jadian. Sepertinya itu berawal dari keadaan kami yang merupakan teman sekelas dan sering satu mata kuliah terus kita jadi sering ketemu. Dia sering milih tempat duduk yang deket aku. Aku bukannya ga tau. Aku cuma pura-pura ga tau kalo dia lagi pedekate. Aku cuma ga mau geer. Ya kan bisa aja dia pengen ketularan pinter kayak aku makanya dia duduk deketin aku terus. Uhuk. Maap kepedean.

"Mir, abis kuliah Filsafat nanti kamu ada waktu ga?" Tanyanya suatu hari.

Aku mengangguk. "Emang kenapa gitu?"

"Ga papa. Aku cuma mo ngomong sesuatu aja sama kamu."

"Kenapa ga sekarang aja?"

"Ga papa. Nanti aja. Aku tunggu di luar kelas ya nanti." Dia pun berlalu. Aku pun pergi ke kantin, acuh dengan kata-katanya.

Alah, palingan juga ngomong ga penting, batinku.

Aku benar-benar tidak punya firasat apapun soal topik yang ingin dibicarakannya denganku nanti. Aku juga tidak mau terlalu memikirkannya. Begitu aku keluar dari kelas Filsafat, dia sudah menunggu di depan Ruang 3 tempat aku ikut kuliah. Oh ya, kebetulan di kelas besar seperti Filsafat kami memang tidak sekelas karena absennya jauh di bawahku. Kami sekelas hanya di kelas-kelas kecil.

"Hai!" Sapanya gugup.

"Kamu kenapa?" Tanyaku ga peka.

"Oh, ga papa. Yuk kita duduk di situ." Dia mengajakku duduk di kursi depan Ruang 3. Lama kami terdiam sambil melihat lalu lalang mahasiswa lewat. Sekilas aku melihat Tsubasa di koridor seberang.

Ah, dia masih keren seperti dulu, batinku. Dia ngeh ga ya kalo yang ngirim surat cinta jaman ospek dulu itu aku? Aku mulai melamun.

"Aku mau ngomong sesuatu, Mir." Aku gelagapan saat Radit tiba-tiba bersuara. Lamunanku tentang Tsubasa tiba-tiba buyar. Tapi mataku masih mencari keberadaannya di antara keramaian koridor seberang. Aku melihatnya bersandar ke dinding dan di mataku dia terlihat dua kali lipat lebih keren.

"Kamu ngeliatin apa sih?" Radit kepo saat dilihatnya aku tidak fokus pada ucapannya.

"Oh, eh, eng-enggak kok. Cuma liat keadaan aja. Hari ini hari apa sih? Kok kayaknya rame banget kampus. Hahaha..." Aku menjawab dengan gugup. Mampus dah kalo ketauan aku ngelamunin orang lain pas mo ditembak, batinku. Hah? Ditembak? Emang beneran Radit mau nembak aku? Kegeeran banget aku ini. Siapa tau dia sebenernya mau minjem duit. Ya kan?

"Oh gitu..." Kami diam-diaman lagi.

"Anuuu-kamu ngomongnya masih lama ga? Soalnya aku udah laper banget nih. Apa mo pindah ngobrol di kantin aja?" Aku memecah keheningan.

"Oh iya, eh anuuu...Duh, gimana mulainya ya?" Radit garuk-garuk kepala. Entah karena bingung atau belum shampoan.

"Ehmm...Anuuu...Kita kan selama ini udah lumayan deket, Mir. Dan aku rasa kamu tuh cewek yang asik. Aku pengen kenal lebih deket sama kamu. Aku pengen kamu jadi pacar aku. Kamu mau ga?" Radit tiba-tiba sudah lancar berkata. Ah, mungkin hafalannya sudah diinget lagi.

Aku terlihat berpikir lalu, "iya!" Jawabku sambil tersipu. Tersipu karena tebakanku soal dia mo nembak aku bener.

"Apanya yang iya?"

"Iya."

"Iya apanya?"

"Iya, aku jawab iya."

"Iya kita jadian maksudnya?"

Aku mengangguk sambil meringis. Perutku keroncongan. Perih.

"Yes!" Radit mengepalkan tangannya ke atas. "Maka..."

"Kita ke kantin yuk, Dit," aku buru-buru memotong ucapan terimakasih Radit sebelum dia membuat ucapan sambutan atau selebrasi aneh-aneh lainnya.

"Ah, i-iya. Ayo!"

Radit berusaha menggandeng tanganku tapi aku buru-buru menepisnya dengan halus. Itu membuat kami jadi kikuk. Lalu akhirnya kami berjalan bersisian tanpa gandengan tangan menuju kantin.

Dan akhirnya kami resmi jadian sejak saat itu. Radit pacar pertamaku. Iya pacar pertama. Oleh sebab itu, aku ga tau harus bersikap bagaimana ketika orang baru pertama kali ditembak. Aku ga tau bagaimana rasanya punya pacar. Apakah menyenangkan? Atau justru menyengsarakan? Jujur saja aku gugup saat pertama kali Radit menyatakan cintanya padaku. Aku selalu takut menjalin hubungan dengan cowok selama ini karena aku merasa aku belum mampu punya hubungan semacam itu. Diri sendiri saja belum sepenuhnya bahagia masa mau membahagiakan orang lain? Tapi kali ini aku merasa mungkin ini sudah saatnya. Ya, mungkin ini saatnya aku punya pacar seperti teman-teman yang lain. Namun, aku melupakan satu hal yaitu kata bijak milik Chu Pat Kai Si Babi Murid Tong Sam Chong. Cinta deritanya memang tiada akhir.

***

Balada Mahasiswa: F R N D S (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang