Bab 33| Horror Story (2)

167 29 0
                                    

Kisah horor di kampusku ternyata tak hanya ada di kamar mandi seperti yang pernah kuceritakan sebelumnya. Kisah horor maha dahsyat justru berasal dari aula yang ada panggungnya itu. Padahal aula itu nyaris jarang terlihat sepi karena kegiatan mahasiswa sastra banyak dihabiskan di sana. Dari pagi, siang, sore, hingga malam ada saja kegiatan yang dilakukan di sana: kegiatan perkuliahan, pementasan, latihan untuk pementasan, nobar film, dan sebagainya. Oleh sebab itu, aku heran ketika banyak cerita mistis bermuara dari aula itu.

Kisah horor di aula kebanyakan menimpa mahasiswa Sasindo karena mereka lebih sering menggunakan aula di malam hari terutama saat menjelang pementasan teater. Sebutlah kelompok Rizki yang memainkan lakon Kisah Kelam Rumah Sakit Elizabeth. Sudah ceritanya seram eh pemainnya juga tak kalah seram. Pasalnya selama pementasan mereka ketambahan pemain dari dunia gaib.

"Mir, kamu nonton pementasannya Rizki semalem kan?" Tanya Julia padaku di siang hari. Hari itu hari Jumat. Kami sama-sama ada kuliah pagi jadi baru bertemu di kos menjelang waktu salat Jumat.

"Iya, nonton. Kenapa gitu?"

"Kuntinya kamu hitung ga ada berapa?" Tanya Julia lagi.

Aku mengernyitkan dahi. Kenapa jadi tiba-tiba nanyain sesuatu yang begituan sih?

Oh ya, aku jelaskan dulu. Jadi pementasan teater kelompok Rizki ini memuat adegan horor dimana ada dua kuntilanak jadi-jadian yang diperankan oleh Nana dan Deva terbang-terbang di atas panggung. Demi menyukseskan adegan itu, mereka rela merogoh kocek yang lumayan untuk menyewa katrol yang biasa digunakan saat adegan terbang.

"Dua kan? Emang dua kan?"

Julia menggeleng lantas suaranya dibuat seberat mungkin seperti Feny Rose saat akan membawakan acara Silet. Ekspresinya juga dibuat semisterius mungkin.

"Enggak! Kuntinya ada tiga."

Aku bengong.

"TIGA, MIR! TIGA! AKU LIAT ADA TIGA!"

"Eh, copot, copot! Kamu jangan ngagetin dong, Jul." Protesku setelah aku terlonjak gara-gara mendengar suara Julia yang kencang. "Iya, kalo tiga terus kenapa?"

"Lah, padahal yang di-make up kunti cuma dua, Mir, gimana bisa tau-tau ada tiga?"

"Itu karena ada mbak kuntinya juga kali ikutan mentas. Atau mungkin kamu siwer kali matanya jadinya sampe salah ngitung," kataku asal jeplak.

"Ada sebagian orang yang kutanya bilang dua ada yang bilang tiga. Tapi semua yang liat tiga kunti di panggung pasti pada bilang di akhir pementasan mereka denger suara ketawa perempuan gitu."

"Kan emang banyak perempuan yang nonton jadi wajar dong kalo kedengeran suara ketawa perempuan." Aku masih berusaha menepis ketakutan Julia.

"Ih, bukan suara ketawa perempuan yang biasa aja gitu tapi kayak suara ketawanya kunti yang hihihi gitu loh, Mir."

Aku langsung merinding.

Ternyata tak hanya sampai di situ kejadian horornya. Julia menambahkan bahwa saat beberapa hari yang lalu ketika dia sedang latihan di kampus pukul sepuluh malam, temannya ada yang melihat sesuatu yang ganjil.

"Apa?" Tanyaku penasaran.

"Si Itok bilang liat ruang 4 nyala pas malem-malem. Padahal kita semua yang ada di situ, selain Itok, ga ada yang liat ruang kelas manapun nyala. Ya kan anak Sasing mana ada yang kuliah malem. Tapi Itok tetep ngotot kalo dia liat ruang 4 nyala dan ada yang kuliah di ruangan itu."

Aku makin merinding. Ruang 4 terletak di sebelah utara. Seluruh ruangan di koridor utara biasanya dipakai oleh mahasiswa Sastra Inggris sedangkan sisi koridor selatan dipakai oleh mahasiswa Sastra Indonesia dan beberapa di antaranya dipakai oleh mahasiswa Bahasa Mandarin. Ruang 4 ini ruang kelas paling sempit di antara ruang-ruang kelas lain di koridor utara. Oleh sebab itu, hawanya memang paling pengap. Tapi apakah benar hawa pengap yang kurasakan selama ini bisa saja berasal dari hawa gaib?

"Terus, Mir, Si Bayu juga katanya liat pocong di kamar mandi deket panggung."

Astaga.

"Lah, kenapa make kamar mandi di situ? Bukannya kamar mandinya kotor dan jarang dipake?"

"Kata Bayu sih biar cepet. Kalo nyebrang ke kamar mandi yang di sebelah selatan kelamaan."

"Terus, terus, pocongnya muncul di sebelah mana?" Meski rada merinding tapi aku masih penasaran juga.

"Jadi Bayu kan abis make kamar mandi langsung cuci muka dan tangan di wastafel di depan kamar mandi tuh. Tau kan wastafel yang di situ ada cerminnya? Nah, awalnya Bayu nunduk buat cuci muka terus begitu dia tegak lagi tau-tau dia liat dari cermin di belakangnya udah ada pocong lagi nyender di ambang pintu."

Aku speechless.

"Aula kampus kita kayaknya jadi sarang pocong deh, Mir, soalnya selain Bayu yang liat pocong di kamar mandi, Faros juga pernah liat pocong di pojokan belakang panggung gitu."

"Hah? Sembunyi di pojokan gitu maksudnya? Kok bisa keliatan sih?"

"Iya. Ya kan panggungnya serba item gitu sementara warna pocong kan kontras banget makanya jadi keliatan. Apalagi kalo malem. Sekali lewat juga udah keliatan jelas, Mir."

Fyi, panggung di aula kampusku itu tidak dibuat langsung menempel tembok tapi disisakan ruang kurang lebih lima puluh senti sebagai tempat untuk para pemain bersiap di belakang panggung. Meski biasanya para pemain muncul dari tangga di samping panggung (yang terhubung langsung dengan kamar mandi) ada beberapa pemain yang muncul dari belakang panggung karena satu dan lain hal misalnya blocking dan sebagainya.

"Hmm, iya sih. Ngeri ya."

"Aduh, aku kok jadi takut sih, Mir?" Julia bergidik.

"Aku udah takut dari tadi malah, Jul."

Julia memeluk dirinya sendiri. "Ah, aku baru ngeh kalo semalem itu malem Jumat Kliwon ya? Pantesan pentasnya si Rizki kedatengan "tamu" ya." Julia seolah bergumam pada dirinya sendiri sambil menatap nanar ke arah kalender yang terpasang di dinding kamarku.

Aku ikutan menengok ke arah kalender. Iya, benar. Semalam malam Jumat Kliwon. Kenapa aku baru ngeh sekarang? Padahal semalam aku nekad pergi sendiri ke kampus tanpa ditemani Radit karena dia sedang mudik berhubung ada sepupunya yang menikah.

"Oh iya, Mir. Ngomong-ngomong balik soal kunti lagi-"

"Astaga, Jul. Bisa ga sih kita ga usah bahas ini lagi? Udah serem lho yang barusan." Protesku.

"Nggak, Mir, aku cuma mau nanya. Kamu ga liat yang aneh-aneh kan selama perjalanan ke kampus semalem?" Tanya Julia penuh misteri.

"Nggak tuh. Emang kenapa?"

Julia berbisik menambah intensitas ketegangan di antara cerita kami. "Denger-denger lagi nih atap kampus kita sering dihinggapi kunti."

Aku terkesiap. Aku menelan ludah. Semalam aku sempat melihat ke arah atap kampus sebelum memasuki pelataran parkir dan memarkirkan motor di sana. Aku sempat melihat kain putih berkibar-kibar dan aku malah berpikir itu bendera yang lepas dan tersangkut. Namun, kini aku mulai merasa aneh. Apa jangan-jangan itu adalah...

***

Balada Mahasiswa: F R N D S (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang