Aku mendekati Fanny. Kulihat bahunya berguncang pelan tanda dia sedang menangis.
"Fan, maaf kalo kata-kataku keterlaluan. Aku ga ada maksud-"
"Kamu bener kok, Mir." Potong Fanny cepat. "Aku juga mulai mikirin hal ini. Tapi akal sehatku selalu ketutup rasa kasihan sama Rizal."
Aku mendesah. Aku juga begini sama Radit. Bedanya, akal sehatku bukan ketutup sama rasa kasihan tapi sama rasa ga enakan. Akhirnya aku berusaha mengalah ketika dituduh bersalah. Misalnya kayak kejadian nilai di KHS waktu itu. Untungnya aku sekarang bisa bodo amat menghadapi sikap Radit yang absurd itu.
"Aku selalu nanya ke diriku sendiri apa aku udah bener nolong dengan cara kayak gini. Tapi kenapa kayaknya aku ngerasa dimanfaatkan? Tapi aku mikir lagi buat apa dia manfaatin aku? Dia baik banget sama aku selama ini. Dia yang selalu ada buat aku, Mir."
Aku menepuk-nepuk pundak Fanny.
"Aku tau, Fan, perasaan kamu sekarang. Kamu berusaha mengingkari itu karena kamu udah ngerasa ketergantungan sama dia. Jadi kamu beranggapan bahwa dialah satu-satunya penolong, satu-satunya orang yang bisa baik sama kamu. Aku curiga ini semua Rizal yang bikin kamu kayak gitu. Semakin kamu bergantung sama dia semakin dia mudah mempengaruhi kamu dan memanfaatkan kamu untuk kepentingannya. Maaf, Fan, kalo ini kedengerannya kejam tapi kenyataan kadang emang bisa sejahat itu."
Fanny tak menyahuti apapun. Tangisnya sudah mereda tapi isaknya masih terdengar.
"Mohon maaf nih, Fan, motor yang selalu dibawa Rizal itu juga punya kamu kan?" Selidikku lagi.
Fanny mengiyakan dengan anggukan. Aku mendesah.
"Tuh liat. Motor kamu aja dia yang terus-terusan bawa. Jangan-jangan STNK kamu titipin sekalian sama dia nih?"
"Emang iya, Mir." Tangis Fanny berubah kencang lagi.
Waduh, ga sekalian sama BPKB-nya nih?
"Fan, gimanapun juga Rizal itu tetep orang lain. Statusnya masih pacar. Barang kamu yang berharga gitu jangan dititipin sembarangan ke dia dong. Kalo dia jual motor kamu terus bawa kabur duitnya gimana hayo? Manusia bisa aja jahat kan kalo ada kesempatannya."
Fanny tenang lagi. Guncangan di bahunya sudah berangsur berkurang.
"Kamu tau ga sebenernya kita semua kesel liat perlakuan Rizal ke kamu."
"Tau kok." Fanny menyusut hidungnya. "Tapi aku selalu aja milih Rizal karena kasian sama dia. Dia ga punya temen, Mir, di kampus selain aku. Kalo aku ga ada dia mau sama siapa?"
"Itulah kenapa dia bikin kamu bagai katak dalam tempurung. Dia ga mau dunianya dia hilang. Kenapa dia ga melepaskan kamu dan biarin kamu bergaul sama temen-temen kamu dan dia juga ngelakuin hal yang sama ke dirinya sendiri?" Sambarku dengan kesal.
Fanny diam lagi.
"Dia itu posesif, over protektif, matre! Sudah seharusnya kamu lepas dari dia."
Fanny tercenung. Entah apa yang dia pikirkan saat itu. Yang jelas beberapa hari kemudian Radit tergopoh-gopoh datang ke kosanku dan mencari Fanny bukannya aku. Ekspresinya panik luar biasa.
"Fanny ada, Mir?"
"Ga nyari aku lagi nih sekarang?" Godaku.
"Serius! Fanny ada ga?" Radit malah tampak gusar.
"Dia belom balik dari kampus kayaknya. Kenapa emang?" Aku jadi ingin tahu.
"Bilangin dia kalo udah balik ke kosan. Suruh ke Margono. Rizal tadi percobaan bunuh diri di kosan."
"Hah? Percobaan bunuh diri?"
"Iya. Udah dulu ya. Aku ke Margono lagi. Jangan lupa sampein ke Fanny nanti." Radit buru-buru turun dari balkon kosan lalu menaiki motornya dengan tergesa.
Iya, Radit dan Rizal memang sekosan jadi tak heran kalau Radit tahu hal-hal yang berkaitan dengan Rizal selama di kosan.
"Dit. Radit." Saat aku memanggil Radit untuk meminta penjelasan lebih lanjut, Radit sudah memacu motornya kencang.
Celaka dua belas.
Aku buru-buru mengirim pesan teks ke nomor Fanny.
Fan, ditunggu Radit di Margono. Rizal percobaan bunuh diri di kosan katanya. Kata Radit, kamu disuruh nyusulin ke sana.
Setelah beberapa saat pesan teks terkirim, aku mendapat balasan yang sangat singkat dari Fanny.
Iya.
Tanpa ada embel-embel kenapa, gimana, dan pertanyaan-pertanyaan lainnya.
Pukul 23.00 Fanny kembali ke kosan. Aku sengaja menahan kantuk karena rasa penasaranku yang tak tertahankan sudah tak bisa dibendung lagi.
"Besok aja ya, Mir, ceritanya. Aku capek banget." Tolak Fanny saat melihatku di ambang pintu kamarnya. "Aku mau istirahat. Ga papa kan?"
Aku pun mengangguk dan tersenyum. "Met tidur, Fan," lalu menutup pintu kamarnya.
Keesokan harinya barulah Fanny bercerita padaku dengan wajah kuyu dan sembap. Sepertinya dia menangis semalaman dan bukannya tidur.
"Aku ga bisa tidur semalam, Mir."
Nah kan bener apa kataku.
"Aku keingetan Rizal terus. Gimana perasaannya yang hancur itu gara-gara aku mutusin dia."
"Kamu mutusin dia?" Tanyaku tak percaya.
Fanny mengangguk. "Iya. Dua hari lalu. Setelah itu aku hubungin dia ga bisa. Ga taunya dia malah percobaan bunuh diri di kamarnya. Kenapa aku bisa sejahat ini?" Fanny menangkupkan kedua telapak tangannya menutupi wajah.
"Dia mau bunuh diri dengan cara apa?"
"Dia nyilet nadinya sendiri. Dia hampir kehilangan banyak darah kemarin. Keadaannya masih kritis sampe sekarang. Aku ga berani hubungin ortunya. Biar aku aja yang tanggung semua biaya rumah sakitnya."
Aku mendesah. "Kalopun Rizal mati karena dia bunuh diri itu juga bukan kesalahan kamu, Fan." Tegasku.
"Tapi, Mir-"
"Fan, semua orang punya masalah. Semua orang punya caranya masing-masing untuk menyelesaikan masalah itu. Mau pilih dihadapi atau dihindari. Mau diselesaikan dengan kepala dingin atau dengan gegabah. Itu semua kita yang atur kendalinya. Sekarang aku tanya berapa banyak orang yang patah hati di dunia ini setiap harinya? Pasti banyak. Berapa orang yang memilih bangkit lagi dan berapa orang yang memilih mati di tangannya sendiri? Aku ga mau menghakimi orang yang lebih memilih bunuh diri karena aku ga tau seberapa berat beban hidup yang harus dia tanggung. Tapi bukannya setiap ada badai pasti ada matahari? Tuhan ga mungkin ngasih cobaan ke umat-Nya dengan takaran yang ga sesuai. Jadi sebetulnya ga ada cobaan yang terlalu berat hanya saja kita yang kurang sabar menunggu datangnya matahari itu."
Fanny meresapi perkataanku.
"Please, jangan salahkan diri kamu sendiri sendiri atas keputusan yang orang lain ambil. Ini bukan salah kamu, Fan. Ini murni keputusan keputusan Rizal."
Fanny tetap diam jadi aku melanjutkan.
"Kamu punya keputusan. Rizal punya keputusan. Harusnya ini dibicarakan baik-baik. Aku yakin pasti ada jalan tengahnya. Tapi Rizal udah telanjur begini. Tunggu dia sembuh baru nanti bicarakan lagi dengan kepala dingin."
Tangis Fanny pun pecah. Aku tak tahu apa yang dia tangisi. Sedikitpun aku merasa ini bukan kesalahan Fanny jadi harusnya Fanny tak perlu merasa bersalah. Tapi cinta memang bisa membuat orang kehilangan logika. Seperti yang Agnes Monica bilang: Cinta ini kadang-kadang tak ada logika.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Balada Mahasiswa: F R N D S (TAMAT)
General FictionPersahabatan bagai kepompong Mengubah ulat menjadi kupu-kupu . . . Meski aku benci kupu-kupu tak apalah karena mereka adalah teman-teman ajaib yang membuatku beruntung mengenal mereka.