Di semester 4 aku mendapat mata kuliah Pengantar Kebudayaan Inggris yang sering disingkat PKI sama temen-temen sekelas dan menimbulkan syak wasangka orang-orang saat kami membicarakannya di luar kampus. Mungkin orang-orang mengira ada kampus yang mengajarkan kuliah tentang komunisme di negara Pancasila ini atau mahasiswa di kampusku adalah anggota partai komunis yang dulu terkenal di Indonesia.
Omong-omong dosen mata kuliah PKI ini bernama Ehsan Karim. Pak Ehsan ini lulusan Inggris. Jadi kalo ngomong lebih mirip kumur-kumur daripada ngomong pake bahasa Inggris. Aksen British campur nggremeng Mr. Bean itu belum ada apa-apanya dibanding aksen "kumur-kumur" ala dosenku.
Suatu ketika Pak Ehsan berkata di depan kelas. "I require all the students here to understand the British culture by learning English Cultural Understanding [Saya mensyaratkan semua mahasiswa disini agar paham mengenai budaya Inggris dengan mempelajari Pengantar Kebudayaan Inggris]. One of the most important thing from the British culture is their dining etiquette [Salah satu hal penting dari budaya Inggris adalah etika makan mereka]."
Silvi yang duduk di sebelahku berbisik, "Pak Ehsan ngomong apa sih, Mir?"
Silvi ini emang bolotnya keterlaluan. Bolotnya sebelas dua belas sama Anty. Makanya kalo pas ujian listening nyontek mereka berdua pasti wassalam. Semester berikutnya pasti ngulang karena dijamin dapet nilai jeblok. Aku mending percaya sama jawaban sendiri aja daripada nyontek mereka. Seenggaknya kalo ngulang di semester depan aku ga perlu nyalahin orang lain.
"Bentar dulu. Ini dia masih ngomong basa-basi."
"Ngomong basa-basi panjang bener? Kan basa-basi bahasa Inggrisnya chit-chat?"
Aku memutar bola mata.
"Therefore, I initiate an activity in order to introduce you to the British eating culture. I have discussed about this with the other lecturers, Mr. Agus and Miss Neina, and they all agree to conduct table manner in a hotel. [Oleh sebab itu, saya menginisiasi sebuah kegiatan untuk memperkenalkan kalian pada budaya makan orang Inggris ini. Saya telah berdiskusi dengan dosen-dosen lain, Pak Agus dan Bu Neina, dan mereka semua sepakat untuk mengadakan acara table manner di hotel]."
Seisi kelas bertepuk bergemuruh dan beberapa di antara mereka bersorak girang.
"Wow. It's cool. Table manner, Man!."
"Beuh, asik ieu aya table manner."
"Cocote lah! [Mulutmu lah!- semacam bentuk ekspresi seruan] Table manner koh. [Table manner loh.] Bakal keren kie lah mestine mbok? [Bakal keren ini lah mestinya kan?] Kaya film-film bangsawan Eropa kae. [Kayak film-film bangsawan Eropa itu.]"
"Anjir! Table manner. Gua harus ikutan pokoknya."
"Ma' lebur onggu ye [Kok keren banget ya]. Badha table manner [Ada table manner]. Aruwa se ngakan-ngakan raddin kan? [Itu tuh yang makan-makan cantik itu kan?]"
"Jinjja? [Benarkah?]"
"Sugoi! [Keren!]"
Berhubung kami anak bahasa maka seruan-seruan yang muncul juga beraneka ragam bahasa. Bahasa Inggris, Sunda, Madura, Jawa ngapak, Korea, Jepang, mungkin beberapa ada yang menggumam bahasa lain lagi tapi tidak terdengar sehingga tak kutuliskan.
"Ieu aya naon sih? [Ini ada apa sih?]" Silvi lama-lama kesal juga karena hanya dia yang ga mudeng seisi kelas sedang membicarakan apa.
"Ini loh, Vi, Pak Ehsan mau bikin acara table manner di hotel buat mata kuliah ini."
"Hah? Kapan?" Silvi lalu bersemangat.
"Ya belom tau. Ini makanya mau dikasih tau."
Lalu terdengar suara Pak Ehsan lagi setelah riuh rendah suara teman-temanku berhenti.
"Since this activity is mandatory, you have to follow without exception. You have to pay 100.000 rupiahs because it will be held in Dynasty Hotel. [Karena kegiatan ini bersifat wajib, kalian semua harus ikut tanpa kecuali. Kalian juga harus membayar sebesar 100.000 rupiah karena acaranya akan diselenggarakan di Hotel Dynasty.]"
"When will the table manner be held, Sir? [Kapan acaranya, Pak?]" Tanya Amel dengan antusias.
"As soon as possible. We, I and other lecturers and campus authority, must prepare all the things we need. But I'll give you deadline until next week for payment. [Sesegera mungkin. Kami, saya dan dosen-dosen lain dan pihak kampus, harus menyiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan. Tapi saya akan beri tenggat waktu pembayaran sampai minggu depan.]" Jawab Pak Ehsan.
Teman-teman sekelasku mengangguk mengerti kecuali Silvi. Dia masih saja tak paham dengan omongan Pak Ehsan. Dia menowel-nowel lenganku tapi aku menepisnya. Silvi jadi agak kesal. Aku memberinya kode untuk tenang dengan menempelkan telunjukku di bibir. Barulah Silvi jadi jinak.
Aku mengacungkan tangan dan bertanya. "Sir, how about the rules of table manner? Should we wear suit and ties for boys and dress for girls or anything? [Pak, bagaimana dengan peraturan table manner? Apakah kami harus memakai setelan dan dasi untuk cowok dan gaun untuk cewek?]"
"Good question! [Pertanyaannya bagus!]" Kata Pak Ehsan. "Yes, of course you should. [Ya, tentu saja.] But I think we will discuss about it later if our preparation has already done. [Tetapi saya rasa kita akan mendiskusikannya nanti kalau persiapan kami sudah selesai.]"
Aku mengangguk.
"Apa?" Silvi bertanya padaku dengan gerak bibir. Sementara kudengar Pak Ehsan mulai membuka kelas hari itu setelah informasi tadi sudah cukup dimengerti oleh para mahasiswanya.
"Jadi, Vi, kita bakalan ada table manner di Hotel Dynasty tapi belum pasti waktunya kapan. ASAP sih. Nah, kita kudu bayar cepek maksimal minggu depan buat acara ini. Gitu." Aku menjelaskan pada Silvi sambil membuka buku diktat kuliah karena Pak Ehsan menyuruh kami mempelajari bab tentang housing. Aku sempat membaca bab ini di kosan tapi masih tak paham dengan istilah semi-detached house dan detached house yang tertulis di situ meski sudah ada gambarnya. Aku perlu bertanya pada Pak Ehsan apakah rumahku di perumahan itu bisa disamakan dengan tipe rumah orang-orang Inggris ini?
"Oh, terus kita kudu pake baju apa gitu ga?" Tanya Silvi.
"Itu juga yang jadi pertanyaanku tadi, Vi, makanya aku ngacungin tangan." Aku mulai memelankan suaraku karena suasana kelas tiba-tiba hening. Sayup-sayup kudengar Shinta yang duduk di kursi depan paling pojok membaca paragraf di buku diktat. Sepertinya disuruh Pak Ehsan. Biasanya setelah ini akan ada diskusi.
"Oh." Silvi mengangguk-angguk. "Berarti-"
"Intinya nanti akan ada diskusi lagi soal peraturan dan segala macemnya sebelum table manner-nya diadakan," aku memutus pertanyaan Silvi. Untungnya Silvi cukup puas dengan penjelasan terakhirku itu sehingga dia tidak mengajukan pertanyaan lainnya. Lagipula Pak Ehsan mulai menyisir pandangannya ke penjuru kelas untuk memastikan semua mahasiswanya mendengarkan penjelasannya setelah Shinta selesai membaca. Kalau sampai ketahuan ada yang mengobrol Pak Ehsan biasanya akan mengajukan pertanyaan.
Hari itupun seisi kelas jadi heboh membicarakan soal table manner. Maklum, kami merasa excited dengan pelajaran praktik seperti ini karena ini hal baru buat kami. Aku juga sudah tak sabar ingin buru-buru mencicipi menu makanan di hotel. Ya, tujuanku ikut table manner ini tentu saja tak jauh-jauh dari urusan makanan. Kapan lagi bisa mencicipi makanan hotel? Apalagi aku harus membayar seratus ribu hanya untuk urusan perut. Jumlah yang sangat cukup, bahkan lebih, untuk biaya makanku seminggu.
Hmm, pasti menyenangkan, batinku sambil membayangkan acara itu nantinya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Balada Mahasiswa: F R N D S (TAMAT)
General FictionPersahabatan bagai kepompong Mengubah ulat menjadi kupu-kupu . . . Meski aku benci kupu-kupu tak apalah karena mereka adalah teman-teman ajaib yang membuatku beruntung mengenal mereka.