Bab 47| Kabar Duka (2)

137 26 0
                                    

Belum kering kesedihan para mahasiswa Bahasa dan Sastra atas kepergian Galih, tiga bulan kemudian kabar duka kembali datang. Kali ini Kadek Ayu, seorang mahasiswi Sastra Inggris angkatan 2006, yang dipanggil ke haribaanNya setelah mendapat kecelakaan tragis.

Kabar duka itu sampai padaku dari Radit yang mendapat kabar dari Rahmet, teman sekelas Kadek Ayu yang menjadi teman nge-band Radit.

"Tau Kadek Ayu kan, Mir?" Tanya Radit setelah mengantarku pulang ke kosan. Kami baru saja pulang dari membeli makan.

Aku mengangguk. "Tau. Tapi ga begitu kenal. Yang anak kelas D itu kan?"

Radit mengiyakan dengan anggukan.

"Kenapa gitu?" Tanyaku penasaran. Tumben-tumbenan Radit membahas teman sekampus yang tidak begitu banyak kontroversi.

"Dia meninggal barusan." Kata Radit yang membuatku langsung kaget.

"Innalillahi wa inna ilaihi roji'un." Aku otomatis mengucap kalimat istirja'. "Ini serius?"

"Ya serius lah, Mir. Masa boongan? Ya kali aku becandaan matinya orang. Ngawur kamu."

Aku mendecak. "Ya bukan gitu. Maksudnya siapa tau aja beritanya salah. Mungkin yang meninggal bukan Kadek Ayu temen kita tapi Kadek Ayu yang lain gitu."

Radit menyerahkan ponselnya padaku. "Nih, baca sendiri. Aku dapet SMS dari Rahmet barusan doang."

Innalillahi wa inna ilaihi roji'un. Telah meninggal dunia rekan kita dari kelas D Sastra Inggris 2006 Kadek Ayu Puspita. Besok almarhumah akan dimakamkan pukul 09.00.

Begitu pesan dari Rahmet yang kubaca di ponsel Radit.

"Sakit apa?" Tanyaku sambil mengembalikan ponsel Radit pada pemiliknya.

"Sakit? Kadek Ayu? Dia bukan meninggal karena sakit kok tapi kecelakaan." Terang Radit.

"Astagfirullah. Galih meninggal karena kecelakaan. Sekarang Kadek Ayu meninggal kecelakaan juga."

"Iya ya. Apa ini suatu kebetulan?" Kata Radit sok misterius.

"Kebetulan yang mengerikan dong kalo gitu." Aku bergidik sementara Radit mengedikkan bahunya.

"Apa jangan-jangan ini tumbal kampus bahasa yang baru ya?" Duga Radit.

"Hush. Ngaco kamu ah! Temen meninggal bukannya didoain yang baik-baik malah diduga jadi tumbal." Aku memukul bahu Radit.

"Kan namanya juga dugaan, Mir. Semoga aja sih bukan begitu. Soalnya kebetulan banget mereka meninggal di waktu yang berdekatan, penyebabnya sama-sama kecelakaan, dan kampus bahasa pas lagi bikin kampus baru. Biasanya kan kalo yang gitu-gitu kan suka minta tumbal."

"Minta tumbal itu kalo ada yang ga beres sama pembangunannya. Misalnya mau bangun bisnis kotor. Lah ini bangun kampus masa minta tumbal?"

Radit mengedikkan bahu lagi. "Kan namanya juga dugaan, Mir."

Oh ya, kampus Bahasa dan Sastra memang sudah ada wacana pindah ke daerah Karangwangkal dari kampusku yang di daerah Berkoh sekarang. Wacana itu ada karena kampus S1 akan digabungkan dengan kampus D3 untuk mempermudah urusan perkuliahan karena kebanyakan dosen D3 diambil dari kampus S1. Ah iya, aku lupa memberikan informasi sebelumnya bahwa jurusan kami sebenarnya terbagi menjadi 2 tingkatan yakni S1 (biasanya disebut kampus sastra) dan D3 (biasanya disebut kampus bahasa). Integrasi kampus S1 dan D3 juga mulai dicanangkan karena kampus S1 sudah mulai diinvasi oleh mahasiswa FKG. Beberapa ruangan yang biasa ditempati mahasiswa Sastra Indonesia dan Bahasa Mandarin diambilalih sebagai ruang praktik milik mahasiswa FKG. Oleh sebab itu, para mahasiswa Bahasa dan Sastra agak sebal ketika melihat para mahasiswa FKG itu. Ada semacam dendam pada mereka karena mereka, yang notabene mahasiswa jurusan baru di Unsoed, sudah menyabotase ruang kelas. Kami sering menyebut mereka sebagai dogi alias dokter gigi yang bisa juga diartikan sebagai- Yah, kamu tahulah. Aku tak mau berkata kasar. Aku mau seperti Biksu Tong Sam Cong yang suci. Amitaba.

Balada Mahasiswa: F R N D S (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang