Bab 55| KKN: Nyaris Jadi Tragedi

129 26 0
                                    

Kedatangan kami sebagai mahasiswa dari kota tentu saja menarik perhatian para warga tak terkecuali para pemuda desanya. Beberapa kali aku dan teman-teman cewek seposko mendapati beberapa pemuda desa nongkrong di jalan depan posko kami sambil merokok. Kadang pagi, kadang siang, bahkan kadang di malam hari. Sampai-sampai kami merasa risih karena keberadaan mereka yang tak kenal waktu itu. Mereka emang ga ngapa-ngapain sih tapi tetap meresahkan.

"Kalian suka bertanya-tanya ga kenapa mereka rajin banget nongkrong di depan posko kita?" Tanya Widya. Akhirnya ada yang menyuarakan isi hatiku juga. Sebab kulihat Puspa, Christy, Sherly, dan Wulan santai saja.

"Emang biasa buat nongkrong kali ah. Namanya juga di kampung. Jalan depan rumah mah milik siapa aja." Tukas Christy cuek.

"Ga, Chris. Ini terlalu sering mereka nongkrong di depan posko kita. Kita aja sampe ga pernah nongkrong depan rumah kan saking mereka yang sering nempatin. Inget ga yang waktu kita pernah duduk-duduk depan situ nungguin abang siomay, tau-tau aja mereka nyamperin kita terus duduk di sana tanpa rasa bersalah." Widya masih bersikeras dengan kecurigaannya.

"Iya, bener. Mereka malah nanya-nanya kita segala kan?" Kataku menambahi.

"Yailah, Mir, nanya-nanya doang mah ga papa kali." Sahut Puspa.

Aku melirik Puspa dengan pandangan sengit. Pengen aku cubit ginjalnya. Pasalnya dia mengatakan itu dengan ekspresi yang menyebalkan. Ya, semua ekspresi Puspa emang menyebalkan buatku. Namanya juga ga suka.

"Tapi kita juga perlu tau intention mereka apa. Mereka masa nanya-nanya udah punya pacar belum, mau diajakin jalan-jalan ga, dan lain-lain yang aneh gitu. Terus mereka minta nomer hape segala. Buat apa coba?" Kataku lagi.

"Nah kan." Widya setuju dengan perkataanku.

"Ya yang penting kita hati-hati aja. Jangan terlalu menjauhi juga nantinya kita dicap sombong. Ga baik kalo sampe orang-orang desa musuhin kita karena kita dianggap sombong. Ga mau berbaur. Tapi kita perlu waspada juga barangkali mereka punya niat macam-macam." Nasihat Sherly yang biasanya diam.

"Bener tuh. Kita patut waspada." Sahut Puspa.

Aku memutar bola mata. Hilih, sok bijak, batinku.

Keesokan harinya tiba-tiba saat rapat di malam hari Mas Eko melontarkan ide yang langsung ditentang oleh semua anggota kelompok terutama para cewek.

"Aku ga mau. Aku ga setuju." Widya yang pertama kali mengajukan keberatan. "Kalo Mas mau, Mas aja yang ngajar sana." Widya berkata dengan ketus.

"Emang kenapa sih?" Tanya Mas Eko.

Hmm, sudah pernah kubilang kan sebelumnya kalau Mas Eko itu agak mudah disetir oleh orang lain. Dia memang terlalu baik yang cenderung membuatnya terlalu bodoh. Itu sebabnya kami sempat tak setuju karena kormades terpilih adalah Mas Eko, satu-satunya mahasiswa angkatan tertua di kelompokku. Tapi karena yang memilih kormades, kormacam, dan kormakab adalah LPPM maka kami tak bisa protes. Apalagi pihak LPPM beralasan bahwa pilihan kormades, kormacam, dan kormakab  itu memang sengaja agar kami semua belajar menjadi dewasa. Sementara yang terpilih bisa belajar menjadi pemimpin yang baik. Nyatanya, banyak kormades, kormacam, dan kormakab yang ampas karena pemilihannya hanya berdasarkan undian saja.

"Astaga, Mas!" Widya mulai gemas dengan kepolosan Mas Eko. "Kamu itu emang beneran polos atau bego?"

Dikatai telak begitu pun Mas Eko masih nyengir kuda. Benar-benar tidak merasa tersinggung. Entahlah, aku bahkan ga tau lagi harus ngomong apa kali ini.

"Mas." Akhirnya Bambang yang bicara karena Widya sudah dilingkupi kemarahan.

"Aku ga ada maksud melangkahi kamu sebagai pimpinan di sini tapi di sini kamu punya anak buah. Sembilan jumlahnya kalo kamu lupa. Ada enam perempuan dan tiga laki-laki. Sekarang coba kamu tanya mereka satu satu apa ada yang setuju dengan ide ini?"

Mas Eko tidak mengatakan apapun tapi pandangan matanya berganti-ganti dari satu orang ke orang lainnya. Tak ada satu orang pun yang menjawab tapi ekspresi kami jelas menunjukkan keberatan.

"Apa kamu tau kejadian apa yang bisa saja terjadi kalo kamu tetep mengabulkan permintaan mereka?" Tanya Bambang.

"Sekarang pikir lagi. Seorang pemuda yang mengaku dari Karang Taruna ngirim pesen ke nomer kamu. Terus mereka minta jadi warga BA tapi mereka minta yang ngajar cuma yang cewek dan jam belajarnya jam sembilan malem. Itupun di balai desa yang tempatnya agak jauh dari sini dan deketnya justru sama persawahan. Apa kamu pernah mikir ada maksud apa di balik permintaan itu?"

"Aku bahkan ga ngerti bisa-bisanya mereka dapet nomer Mas Eko?" Sambar Widya masih dengan emosi.

"Ya, katanya sebagai pendatang kan kita wajib mengakrabkan diri sama warga sekitar jadi aku emang beberapa kali sih main-main sama pemuda sini terus tukeran nomer gitu." Jawab Mas Eko dengan santai.

Widya cuma bisa mendesah kesal.

"Mas, apa kamu ga curiga sama para pemuda itu? Apa maksud di balik permintaan mereka?" Tanyaku.

"Mereka bisa kirim pesan lewat hape loh, Mas, masa mau jadi warga BA? Buat apa? Mereka bahkan udah melek teknologi." Christy menimpali.

"Kan beberapa warga kita juga ga murni BA, Chris." Mas Eko membela diri. "Apa salahnya kalo kita memalsukan sedikit keadaan mereka demi laporan yang bagus? Mereka bilang mereka bakal ngumpulin banyak orang buat ikut jadi warga BA. Cuma emang jam belajarnya malem karena mereka kan harus kerja dari pagi sampe sore."

Widya mendecak sebal. "Udahlah, Chris, ngasih tau orang bebal emang susah."

"Kalian ini kenapa sih?" Mas Eko jadi jengah sendiri karena semua anak buahnya menentang keputusannya menyetujui permintaan pemuda Karang Taruna itu.

"Mas, langsung aja deh ya. Kalo hal itu sampe terjadi ada kemungkinan justru temen-temen kita yang cewek ini jadi korban tindak kejahatan, Mas. Pemerkosaan massal misalnya. Seperti dulu ada kasus yang sama kan? Dimana, Wid?" Rio akhirnya yang menjelaskan dengan gamblang.

"Ga tau dimana aku lupa. Tapi aku pernah denger cerita dari kakakku kalo ada sekelompok mahasiswi KKN yang jadi korban pemerkosaan massal oleh oknum kepala desa dan para pemuda setempat dengan modus yang hampir sama. Para mahasiswi ini diperdaya sampe akhirnya mereka tidak sadarkan diri karena di bawah pengaruh obat bius lalu dijadikan pelampiasan napsu biadab mereka." Terang Widya. Kali ini dia sudah agak bisa mengendalikan diri.

"Oh ya?" Mas Eko terkejut. "Wah, serem juga ya."

"Makanya itu, Mas, sebelum ini kejadian sama temen-temen kita mending kamu tolak aja permintaan mereka. Bilang aja jam sembilan malem itu waktunya orang istirahat bukan ngajar. Kalo mereka ngancem atau gimana kita balik lapor aja. Kamu jangan hapus SMS mereka di hape kamu. Itu bisa jadi bukti." Kata Rio lagi.

"Kalo ada apa-apa jangan diputuskan sendiri. Kita kan di sini berkelompok. Kalo ada masalah yang sekiranya butuh rembugan ya dirembug dulu sama temen-temen yang lain biar ada pandangan lain juga." Saran Bambang.

"Oke, oke." Mas Eko mengangguk patuh. "Maaf ya, aku ga tau. Apalagi tadi Widya langsung emosi pas jelasinnya jadi aku ga paham."

Widya mendengus sebal. "Itu kamunya aja yang ga ngerti sampe sana, Mas."

Kami semua tertawa kecuali Widya dan Mas Eko yang cemberut. Yah, kormades kami memang sedikit agak naif. Semoga aja dengan menjadi kormades membuatnya benar-benar menjadi lebih baik.

***

Balada Mahasiswa: F R N D S (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang