Mengajar warga BA adalah hal yang paling menyenangkan bagiku karena sekaligus bisa menjadi hiburan. Aku bisa melihat banyak hal terutama soal kehidupan manusia di pedesaan. Tingkah laku mereka sungguh unik. Misalnya saja Bu Utri yang punya kebiasaan latah yang parah.
"Ibu-ibu, niki huruf napa? Tasih sing wonten apal? [Ibu-ibu, ini huruf apa? Ada yang masih hapal?]" Tanyaku pada seisi kelas yang hanya beranggotakan sepuluh orang ibu-ibu itu. Meski terhitung jumlahnya paling sedikit, tapi warga BA di RT 1 ini termasuk yang paling semangat belajar. Apalagi kalau bukan karena ada Bu Utri sebagai penggembira. Kelas di sini bukan seperti kelas di sekolah. Kelasnya berupa salah satu rumah warga di RT 1 yang ruang tamunya dijadikan tempat belajar dadakan.
"A eh A. Kuwi huruf A. Eh A. A opo B sih kuwi? [A eh A. Itu huruf A. Eh A. A atau B sih itu?]" Jawab Bu Utri dengan latah seperti biasa.
"Kuwi huruf H, Yu. [Itu huruf H, Mbak.]" Goda ibu-ibu yang lain.
"H? Opo iyo H? Iki eh tumplek tumplek tumplek. [H? Apa iya H? Ini eh tumpah tumpah tumpah.]" Bu Utri makin latah begitu melihat ada seorang bocah nyelonong masuk begitu saja lalu menumpahkan segelas teh manis panas milik Bu Utri.
"Eh panas panas panas." Bu Utri masih heboh ketika cairan teh itu mengenai kulitnya. "Le, le. Mbok nek mlaku ki ndelok-ndelok to yo. [Le, le. Kalo jalan tuh liat-liat dong.]" Protes Bu Utri pada si bocah yang dijawab cengiran ndablek saja.
Selain Bu Utri yang latah dan heboh, ada pula Bu Mar yang indera pendengarannya kurang.
"Kuwi opo mau? [Itu apa tadi?]" Tanya Bu Mar begitu aku selesai menerangkan.
"B-U-K-U. Buku, Yu. [B-U-K-U. Buku, Mbak.]" Sahut ibu-ibu yang lain.
"Opo? [Apa?]"
"Buku, Yu. Buku."
"Opo? [Apa?]"
"Oalah, budeg sampean! [Oalah, kamu budeg!]" Ibu-ibu yang tadi menjawab jadi emosi. Seisi kelas jadi pecah karena tawa membahana dari semua warga BA. Bu Mar juga ikut nyengir meski sepertinya dia tidak sadar bahwa dia yang menjadi sumber tawa.
Aku dan Bambang juga terkadang membuat sesi intermezzo di antara sesi belajar. Sesi ini kami isi dengan permainan, membuat sesuatu yang membutuhkan kreativitas, atau membuat hidangan yang praktis misalnya sup buah.
Saat menuju RT 5, kami menenteng beberapa macam buah dalam dua plastik besar. Setibanya kami di rumah warga yang dijadikan tempat belajar, kami disambut warga BA dengan sukacita. Beberapa orang bahkan membawakan barang kami. Saat kami mengatakan bahwa hari ini ada sesi intermezzo (yang kusebut dengan istilah ngaso atau laut untuk merujuk pada istilah yang mereka gunakan untuk mengatakan istirahat), mereka langsung bersemangat. Sesi belajar selama empat puluh lima menit jadi tidak terasa lama karena mereka tidak sabar untuk segera lanjut ke sesi intermezzo itu.
"Arep gawe opo kiye, Mas, deneng kayane gawa sing seger-seger? [Mau bikin apa nih, Mas, kok kayanya bawa yang seger-seger?]" Tanya seorang bapak-bapak.
"Oh, nggih, Pak. Niki mangke badhe ndamel sup buah. Pancen seger, Pak. Napa malih nek didhahar pas panas-panas ngeten. Joss pokoke. [Oh, iya, Pak. Ini nanti mau bikin sup buah. Emang seger, Pak. Apalagi kalo dimakan pas panas-panas gini. Joss pokoknya.]" Promosi Bambang yang membuat para warga BA jadi makin penasaran.
"Niki, Bu, Pak, mangke saget dados ide mbok menawi wonten sing purun sadean es. Kadose teng mriki dereng wonten nggih sing sadean sup buah. [Ini, Bu, Pak, nanti bisa jadi ide siapa tahu ada yang mau jualan es. Kayaknya di sini belum ada ya yang jualan sup buah.]" Sambungku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Balada Mahasiswa: F R N D S (TAMAT)
General FictionPersahabatan bagai kepompong Mengubah ulat menjadi kupu-kupu . . . Meski aku benci kupu-kupu tak apalah karena mereka adalah teman-teman ajaib yang membuatku beruntung mengenal mereka.