Aku mengetuk-ngetuk kaca jendela kamarku. Nuya yang sedang mengepel lantai teras balkon menoleh. Aku mengacungkan kedua jempolku yang dijawab Nuya dengan kibasan tangannya yang bermakna apaan-sih-ah-lebay.
"Kamu udah ngepel aja jam segini?" Aku buru-buru menyusul Nuya ke pintu depan. Aku meregangkan tubuh lalu menguap lebar. Hari Minggu emang enaknya bangun siang kayak gini.
"Nyuci baju, nyapu, ngepel, ngerjain skripsi. Selesai tepat jam setengah tujuh." Nuya mendirikan tongkat pelnya dengan pandangan puas pada kilauan lantai balkon.
"Kamu bangun jam berapa?" Tanyaku penasaran.
"Jam lima. Tapi ga tidur lagi kayak kamu."
Aku nyengir sambil garuk-garuk pantat.
"Godaan terbesar pas solat subuh emang kasur, Nuy. Jadi abis solat subuh ya tidur lagi."
Nuya mendecak.
Oh iya, sejak beberapa minggu lalu Nuya resmi jadi teman satu kosku karena Fanny memutuskan pindah kosan sejak dia berhasil menyelesaikan tes komprehensifnya. Katanya sih biar deket sama kosan Keenan. Iya, Fanny emang bucin parah. Nuya menempati bekas kamarku sedangkan aku pindah ke kamar yang dulu ditempati Fanny. Sepertinya aku perlu udara segar dan sinar matahari agar tidak dapat pria-pria ampas lagi.
Nuya ini kecil-kecil cabe rawit. Kalo urusan rajin, dia rajin banget. Bangun tidur pasti ada aja yang dikerjain. Ga kayak aku yang bangun tidur malah bengong ngumpulin nyawa bisa sampe tengah hari. Nuya memang bangun solat subuh lebih telat daripada aku tapi dia pantang tidur lagi setelah solat. Setelah menunaikan ibadah wajib, Nuya biasanya mengerjakan revisi skripsinya setelah merendam baju-baju kotornya. Setelah rendamannya dirasa cukup, dia biasanya menghentikan sebentar aktivitas mengerjakan skripsinya untuk mencuci dan menjemur pakaian. Beberapa hari sekali dia juga mengepel lantai. Pokoknya dia ini rajin banget. Andaikan aku cowok aku pasti akan naksir Nuya.
Nuya ini juga tipe orang yang pantang menyerah. Segala hal bisa dia selesaikan sendiri. Dia juga tidak manja padahal dia adalah anak bungsu di keluarganya. Nuya berbeda seratus delapan puluh derajat dariku yang lebih senang bermalas-malasan.
Nuya pernah bercerita bahwa dia satu-satunya anak yang kuliah di keluarganya.
"Kamu kuliah pake duit sendiri?" Tanyaku.
Nuya menggeleng. "Ga segitunya sih, Mir, tapi aku punya tekad buat sekolah tinggi. Seenggaknya aku ga bodoh karena aku sekolah. Jangan kayak saudara-saudaraku yang lain yang pasrah aja sama keadaan. Kalo ga boleh sekolah ya udah. Untung aja orang tuaku setuju. Tapi aku jadi harus hemat pengeluaran karena biaya buat kuliah ga sedikit."
Nuya memang cenderung hemat dalam pengeluaran. Dia makan dengan porsi sedikit. Dia juga biasa memasak nasi di kosan dengan penanak nasi ukuran kecil yang dibawanya dari rumah yang bisa untuk dua hingga tiga kali makan. Lauk-pauknya dia beli di warung yang bisa untuk dua kali makan.
Semangat Nuya dalam belajar memang patut diacungi jempol. Meski bahasa Inggrisnya selalu tercampur dengan logat ngapak ala Cilacap-nya, dia tetap pede. Kemampuan grammar dan Syntax-nya pun bagus. Nuya sebenarnya pandai dalam mata kuliah apapun juga. Dia juga mahasiswa yang cukup kritis. Dia berani bicara dalam diskusi jika ada hal yang menurutnya memang perlu ditanyakan atau diperdebatkan.
Suatu hari kulihat Nuya sedang gundah gulana.
"Kenapa, Nuy?" Tanyaku basa-basi sebagai teman yang baik meski dalam hati aku berdoa semoga dia risau bukan karena uang.
"Aku lagi galau, Mir." Dia mengotak-atik tetikus komputernya.
"Karena?"
"Ini kok hasil penelitian beda sama hipotesisnya ya?" Dia menggaruk-garuk kepalanya.
Aku mendekat ke arahnya. Melihat apa yang diketiknya di komputer. Aku melihat grafik-grafik dan entah apa lagi yang tak kumengerti.
"Kamu ngerjain skripsi dari jurusan kita apa dari jurusan lain sih, Nuy?"
"Punyaku kan pengajaran, Mir, jadi beda lah sama yang sastra dan linguistik." Katanya. "Ada itung-itungannya juga soalnya kan punyaku bentuknya kuantitatif."
"Oh." Aku mengangguk-anggukkan kepala sok paham.
Yang kuingat kuantitatif itu adalah penelitian dengan menggunakan metode hitung-hitungan misalnya seperti studi kasus yang membutuhkan kuesioner dan sebagainya seperti milik Nuya ini. Skripsiku menggunakan metode kualitatif sehingga bentuknya deskripsi tanpa adanya dukungan grafik, diagram, atau tabel untuk menyuguhkan data.
"Tapi malah jadi pusing. Kenapa hasilnya begini?" Dia membolak-balik sebuah bendelan kertas yang sudah lecek karena sering dibukanya.
"Tanya aja besok sama dosbing kamu. Pak Ehsan kan? Kalo hasilnya begini gimana."
"Tapi aku takut disuruh ngulang lagi dari awal. Padahal kan aku udah niatan bisa wisuda Maret ini soalnya aku udah janji sama diriku sendiri aku harus nyelesein skripsi dan wisuda tepat waktu. Aku harus bisa wisuda Maret ini pokoknya, Mir."
"Kan belom konsultasi. Konsultasi aja dulu. Berdoa aja yang terbaik." Hiburku.
Keesokan harinya wajah Nuya kembali ceria. Semangatnya kembali berkobar seperti biasa.
"Gimana skripsi?" Tanyaku.
Nuya nyengir dulu baru kemudian jawabnya, "Ternyata ga papa, Mir, kalo hasilnya begitu. Kata Pak Ehsan, hipotesis itu kan asumsi awal aja. Kalo hasilnya ga sama ya ga papa namanya juga asumsi. Asumsi kan ga selalu bener."
"Oh, bagus deh kalo gitu. Bisa wisuda Maret dong ya?" Candaku.
"Insya Allah. Kata Pak Ehsan malah aku bisa bikin teori baru karena penemuanku itu."
Aku bertepuk tangan. "Nah, bagus itu. Patenin aja dari sekarang. Siapa tau kamu juga dapet gelar S2 langsung atau bahkan doktor atau profesor."
Nuya menanggapinya dengan tawa. "Bisa aja kamu, Mir. Tapi aku aminin deh. Siapa tau aku beneran bisa kuliah S2 atau jadi doktor dan profesor."
"Amin." Sahutku.
Tak sia-sia perjuangan Nuya karena akhirnya dia juga berada di titik tes komprehensif dan berhasil mendaftarkan diri untuk ikut wisuda di bulan Maret bersamaku.
"Akhirnya, Mir, semua kelar juga. Tinggal ngurus berkas buat wisuda doang." Matanya berbinar bahagia. "Aku berhasil nunjukin ke keluargaku, ke orang tuaku, kalo aku mampu kuliah."
"Selamat ya, Nuy." Kataku. "Halo, Calon Sarjana."
"Halo juga, Calon Sarjana.
Kami pun tergelak bersama-sama.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Balada Mahasiswa: F R N D S (TAMAT)
Narrativa generalePersahabatan bagai kepompong Mengubah ulat menjadi kupu-kupu . . . Meski aku benci kupu-kupu tak apalah karena mereka adalah teman-teman ajaib yang membuatku beruntung mengenal mereka.