Julia ngekos denganku hanya sekitar satu tahunan. Di tahun berikutnya, yang seharusnya menjadi tahun kedua dia ngekos denganku, Julia justru memutuskan untuk pindah ke kosan lain yang justru agak jauh dari kampus. Dia beralasan ingin dekat dengan teman-teman sejurusannya yang kebanyakan ngekos di daerah kampus pusat. Benar, mahasiswa Sastra Indonesia memang jarang yang ngekos di sekitaran kampus Bahasa dan Sastra. Aku juga tidak tahu alasannya. Mungkin karena rata-rata mahasiswa Sastra Indonesia adalah orang lokal. Kalaupun ada yang dari luar kota mentok ya orang Purbalingga atau Banyumas yang memilih ke kampus dengan sistem pergi-pulang dengan naik motor.
Tapi tak berapa lama Julia pindah kos, aku segera menemukan teman kos baru. Fanny. Ya, teman kos baruku adalah Fanny yang pernah kuceritakan di acara table manner. Sebelumnya dia ngekos di daerah sekitar kampus tapi dia ingin pindah karena teman sekosnya kakak tingkat semua. Hanya dia yang angkatan 2006 sehingga dia merasa canggung.
Fanny ini asli Majalengka. Orang Sunda tulen sehingga tiap ngobrol dengannya kadang aku mengalami roaming karena perbedaan bahasa dan istilah yang kami gunakan sehari-hari. Cita-citanya sungguh mulia: jadi bupati Maja. Orangnya super baik terutama soal makanan. Tentu saja aku bahagia bukan kepalang satu kos dengannya karena dia tak segan memberi setoples kue coklat enak yang dibawanya dari kampung halaman. Apalagi dia punya dispenser air dingin dan panas sehingga aku bisa membuat secangkir teh panas atau segelas Milo dingin sesukanya. Tentu saja Fanny tak pernah meminta patungan galon miliknya karena aku tetap membeli galon sendiri yang kuletakkan di luar kamar. Lagipula aku bukan tipe teman yang tidak tahu diri kok. Aku hanya membantunya menghabiskan persediaan teh dan Milo-nya saja sebelum kadaluarsa.
"Lagi apa, Fan?" Tanyaku iseng sambil melongokkan kepalaku ke kamar Fanny yang ditutup sebagian.
"Eh, Samira. Ga lagi ngapa-ngapain kok. Lagi nonton Meteor Garden aja," jawabnya sambil menunjuk ke arah laptopnya yang menyala.
"Aku masuk yak," kataku meminta izin.
"Sok, mangga atuh."
Akupun masuk ke kamar Fanny. Fanny ini tipe temen kos yang menyenangkan. Selain baik, Fanny ini bersih sekali. Berkebalikan dengan Julia yang cenderung jorok, Fanny justru rapi jali. Dia punya beberapa lemari lain selain lemari baju. Masing-masing untuk menyimpan pakaian dalam, peralatan makan, jilbab, buku-buku, dan persediaan camilan yang nyaris mirip Alfamart. Semua camilan ada: roti dan selai berbagai macam rasa, biskuit, keripik, bola coklat, apapun. Dia juga melapisi lantai kamar dengan karpet karena dia tidak menggunakan ranjang. Siapapun yang ada di situ betah berlama-lama karena semua barang yang ada di kamar Fanny ditata sedemikian rupa dengan rapinya.
"Masih nonton Meteor Garden aja, Fan? Itu kan serial udah lama?" Tanyaku lagi begitu duduk di atas kasur single bed-nya yang dilapisi sprei Monokuroboo.
"Aih, kamu beli sprei ini dimana, Fan?" Teriakku histeris begitu melihat sprei lucu milik Fanny.
"Mau nitip? Nanti kalo aku mudik aku beliin."
Aku berpikir sejenak. "Nanti deh, Fan. Soalnya kasurku di sini kan dua kalinya kasur kamu. Di rumah juga kasurku gede. Nanti mau dipake dimana coba?"
"Beli kasur lagi aja yang kecil," kata Fanny enteng.
"Mau taro dimana?" Aku cemberut. Fanny tertawa.
"Percaya ga, Mir, aku baru nonton Meteor Garden sekarang? Setelah lewat bertahun-tahun dari masa awal penayangannya?"
"Percaya. Aku juga gitu kok." Tanpa sadar tanganku sudah mencomot keripik kentang dari wadahnya yang sudah terbuka. Ini bukan salahku lho ya. Tanganku itu memang semacam punya radar makanan. Dimana ada makanan pasti dia akan beraksi. Apalagi kalo makanannya mahal. Misalnya Pringles yang sedang kukunyah ini.
"Waktu kita SMP dulu kan Meteor Garden tayang malem jadi mana sempet nonton karena udah ngantuk. Nah, pas SMA aku baru nonton abis pulang sekolah karena ditayangin lagi pas jam segitu. Kebetulan kalo pas jam-jam segitu ga bakalan rebutan remot sama ibuku," ceritaku.
"Mending kamu nonton pas udah SMA, lah aku baru sekarang." Fanny terkekeh.
"Ah, ga papa. Ga ngaruh juga sama perputaran ekonomi dunia bahkan sama perputaran bumi dan semesta. Ga bakal bikin kiamat lebih dekat kok, Fan." Gurauku. Fanny ikut tertawa.
"Iya sih tapi jadi berasa kudet banget."
"Aku dulu juga gitu kok. Pas SMP temen-temenku pada cerita soal Taomingse dan Hua Ce Lei aku plonga-plongo doang. Taunya masih Amigos aja."
"Ah, iya. Amigos. Aku dulu sampe rela beli majalah buat koleksi pin up-nya pemain Amigos tuh."
"Lah, sama!"
Akhirnya kami malah saling bercerita soal masa kecil kami ketika masih sekolah dulu. Ternyata Fanny juga merasakan main bekel, lompat tali, gobak sodor, ketika menghabiskan masa kecil di Majalengka. Aku pikir yang seperti itu hanya ada di Jawa.
Gara-gara cerita-cerita itu aku jadi tahu bahwa orang tua Fanny punya usaha fotokopi yang cukup sukses di kampungnya. Tidak heran kalau kebutuhan Fanny sangat tercukupi dilihat dari sandang, pangan, dan papan yang dimilikinya. Aku juga jadi tahu sedikit soal pacarnya yang mahasiswa Bahasa Mandarin itu. Aku sempat menyinggung sedikit soal itu.
"Eh, Fan, kamu pacaran sama Rizal itu udah berapa lama?"
"Hmm, berapa lama ya, Mir? Hampir dua tahun mungkin?"
"Gara-gara satu kelompok bareng ya pas ospek?" Aku mencoba menebak.
"Ih, kok tau?"
"Hahaha ngasal aja padahal eh kok beneran."
"Iya. Dia baik sih, Mir, orangnya. Rajin solat. Sopan. Lembut. Pokoknya baik deh." Pujinya pada sang pacar.
"Tapi kamu sadar ga gara-gara Rizal kamu jadi susah dideketin? Eh, aku ga bermaksud menyinggung loh ya." Kataku. Meski aku berusaha hati-hati tetap saja aku yang ceplas-ceplos dan ga bisa basa-basi itu ngomong hal yang seharusnya tak kucampuri.
"Iya sih, Mir. Aku juga banyak dapet komplain dari temen-temen yang lain. Rizal soalnya anter jemput aku tiap mau berangkat dan pulang kuliah."
Iya, tapi anter-jemputnya pake motor kamu. Lucu. Tambahku dalam hati.
"Iya, itu yang bikin sungkan temen-temen kalo mau deketin kamu."
Fanny terdiam. Mungkin kata-kataku terlalu menohok jadi kuputuskan untuk mengalihkan topik pembicaraan saja karena aku jadi tak enak hati.
"Gimana kalo mulai besok kita berangkat ngampus bareng aja?" Usulku.
"Boleh. Kita sekelas kan besok Syntax?"
Aku mengangguk.
Lalu akhirnya kami ngobrol lagi tanpa menyinggung soal pacar Fanny. Tiba-tiba ponsel Fanny berdering. Ada pesan masuk. Namun, yang membuatku tepuk jidat adalah dering notifikasinya menggunakan salah satu nada lagu Kangen Band.
"Kamu- Kamu suka Kangen Band, Fan?" Aku bertanya dengan wajah campuran antara ngeri dan jijik.
Fanny nyengir. "Lagu-lagu mereka bagus kok, Mir. Apalagi kisah vokalisnya kan juga penuh perjuangan tuh sampe bisa di titik yang sekarang ini. Aku malah niatnya mau beli posternya biar bisa aku pajang di kamar nanti."
"APAAAAAA???" Aku membelalak ngeri.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Balada Mahasiswa: F R N D S (TAMAT)
General FictionPersahabatan bagai kepompong Mengubah ulat menjadi kupu-kupu . . . Meski aku benci kupu-kupu tak apalah karena mereka adalah teman-teman ajaib yang membuatku beruntung mengenal mereka.