Bab 75| Congraduation! 🎓

562 51 6
                                    

Hari yang ditunggu-tunggu akhirnya datang juga. Aku, Naras, dan Nuya sudah bersiap sejak pukul 06.00 karena acara akan diadakan pukul 06.30. MUA bahkan datang pukul 04.00 dan aku ditumbalkan untuk dirias lebih dulu karena Naras dan Nuya bilang aku lagi halangan jadi ga perlu nunggu waktu salat. Jadi terpaksa aku menahan dingin saat mandi. Untung saja aku tidak bersin-bersin terus. Tapi mataku yang sembap akibat menangisi kepergian Anty beberapa hari yang lalu yang sempat dikomentari oleh mbak MUA.

"Mbaknya abis nangis semaleman ya kok matanya sembap gini?" Tanya Mbak Ratna, sang MUA.

"Iya tuh, Mbak, abis patah hati." Gurau Nuya yang baru saja selesai salat subuh.

"Iya, Mbak, abis patah hati." Kataku.

"Aduh, pas mau wisuda malah patah hati ya." Mbak Ratna menunjukkan keprihatinannya, dikira aku benar-benar patah hati karena putus cinta. "Udah dikompres pake es batu ya?"

Aku mengangguk. "Udah, Mbak, semalem tapi tetep keliatan ya?"

Mbak Ratna mengangguk. "Masih sembap tapi ga papa udah mendingan kok. Yang penting ga bengkak aja. Kalo yang begini masih bisa disiasati pake make up."

Mbak Ratna akhirnya memulai pekerjaannya dengan memoleskan beberapa cairan entah-apa-namanya di atas wajahku. Kegiatan memoles wajah dan menghias jilbab itu berakhir sekitar setengah jam kemudian. Tidak lama memang karena make up yang digunakan adalah make up natural menyesuaikan kebayaku yang berwarna beige yang kupinjam dari salah satu sepupuku. Setelah aku selesai, giliran Nuya dan Naras yang didandani. Harusnya Anty juga ikut didandani tapi apa daya takdir berkata lain. Tapi keluarga Anty sudah bersiap di kosan Anty untuk mengikuti jalannya wisuda nanti. Ayah ibuku juga sudah siap dengan pakaian batik sarimbit mereka.

Pukul 06.00 kami bertiga sudah siap. Aku, Nuya, dan Naras menyempatkan berfoto di teras balkon dengan memakai toga. Begitu semua sudah siap, kami segera meluncur ke Jalan Bunyamin dengan mobil masing-masing untuk menghadiri wisuda di Auditorium Graha Widyatama Unsoed yang belum lama dibangun. Kami duduk di bangku masing-masing sesuai jurusan dan nomor urut pendaftaran yudisium. Bambang ternyata sudah ada di kursi sebelahku.

"Anty meninggal ya katanya?" Begitu tanyanya begitu aku duduk di sebelahnya. Ingin aku menangis lagi tapi aku ingat ini adalah hari kelulusanku dan aku tidak mau bedakku luntur jadi aku menguatkan hati. Aku yakin Anty juga tidak mau melihatku cengeng.

Aku hanya mengangguk.

"Yang sabar ya." Bambang merangkul pundakku dan menepuk-nepuknya. "Jangan nangis nanti bedaknya luntur." Candanya. Aku tertawa meski hatiku getir.

"Nggak. Serius. Jangan nangis. Tiap tetes air matamu dan air mata orang-orang yang ditinggalkan itu jadi penghalang Anty buat masuk surga karena kepergiannya belum diikhlaskan. Segala sesuatu itu pasti ada hikmahnya. Ikhlas adalah kunci segalanya." Seperti biasa, Bambang selalu memberi petuah yang menyejukkan.

Aku mengangguk, menghela napas panjang, menghibur diri sendiri bahwa ini semua sudah kehendak Yang Maha Kuasa. Tiada hal yang luput dari takdir dan kuasaNya. Yang baik buat kita belum tentu baik buat Allah. Yang baik buat Allah kadang terlihat tidak baik buat kita. Bambang menyentuh tanganku yang terkepal di pangkuanku. Menguatkanku. Tak lama kemudian ada suara terdengar dari pengeras suara. Acara sebentar lagi dimulai. Para wisudawan mengikuti prosesi wisuda: membaca sumpah wisudawan, menyanyikan hymne universitas (yang bahkan aku tak tahu bagaimana nadanya), dan sebagainya. Hingga sampailah pada saat pemanggilan nama-nama wisudawan untuk naik ke podium menerima ijazah dan medali serta memindahkan tali topi dari kiri ke kanan.

Namaku dipanggil dan aku naik podium. Beruntung pihak panitia memberi tanda silang besar dengan selotip putih di setiap titik tempat wisudawan harus berhenti. Kalau tidak ada tanda semacam itu, aku pasti sudah kebingungan karena aku tidak memakai kacamata. Berbeda dengan Naras, aku menolak menggunakan lensa kontak meski minusku sudah 3 karena aku tidak bisa memakainya. Lagipula menurutku memakai lensa kontak terasa merepotkan. Aku melihat ada mahasiswi angkatan 2005 dari Sastra Inggris yang tetap memakai kacamatanya saat wisuda tapi bagiku itu justru jauh lebih merepotkan. Aku menerima ijazah dan medali dengan rasa bangga. Terutama ketika MC menyerukan aku lulus dengan predikat sangat memuaskan. Yah, meski tidak cumlaude bagiku itu adalah suatu hal yang membanggakan karena semua nilaiku adalah berkat kerja kerasku.

Satu persatu nama teman-temanku dipanggil juga ke podium. Suasana haru sesaat menyelimuti kami saat nama Murni Wijayanti dipanggil. Ayahnya yang maju ke podium dan menerima ijazah serta medali itu. Saat itupun aku membayangkan Anty maju ke atas sana dan tertawa bahagia.

"Kamu mau kemana abis ini?" Tanya Radit begitu prosesi wisuda dan gegap gempitanya telah selesai.

"Pulang lah ke Pekalongan. Kerja mungkin. Meski belum tau mau kerja dimana." Kataku. "Kamu?"

Dia mengedikkan bahu. "Sama. Mungkin."

"Jangan dong. Kalo kamu balik ke Pekalongan ya ga bisa kan rumah kamu di Cirebon." Gurauku yang membuat Radit terkekeh menyadari jawabannya membuat kesalahan penangkapan konteks.

"Iya, maksudnya aku balik Cirebon. Sama-sama balik kampung kan?"

"Pipit kesian dong ditinggal di sini. Kan dia orang Purwokerto asli. Kalo kamu balik Cirebon kalian jadi ga ketemu lagi dong padahal kalian belum lama jadian." Kataku.

Oh iya, sejak skripsi sebenarnya Radit sedang dekat dengan seorang mahasiswi Sastra Inggris 2006 bernama Pipit. Sayangnya, kami tak pernah sekelas. Tak berapa lama ternyata mereka saling suka dan memutuskan pacaran. Hal itu terjadi lantaran dosen pembimbing mereka sama-sama Bu Murni. Witing tresna jalaran saka kulina itu memang benar adanya.

"Yah, kan masih bisa main sekali-kali ke sini." Katanya. "Tapi jujur aja kadang aku jenuh sama dia."

"Kenapa?" Pancingku.

"Dia itu overprotective. Kalo aku kemana-mana selalu ditanyain. Kalo aku dihubungin ga bisa pasti dia hubungin temen-temen kosku. Ditelponin ga jawab diteror SMS banyak banget."

Aku tersenyum geli. "Rasain. Itu doa kamu kan dulu. Pengen punya pacar perhatian. Sekarang dapet pacar super perhatian malah dibilang overprotective." Aku menyoraki Radit dengan huuu pendek. Radit nyengir KO.

"Iya ya, Mir."

"Kamu tuh jangan jelekin pacar di depan mantan. Ga etis. Gimanapun juga pacar kamu itu kan pilihan kamu sendiri." Nasihatku sebagai mantan pacar yang baik.

"Iya, iya. Omong-omong siapa di antara kita yang bakal nikah duluan ya, Mir?" Kata Radit.

"Bentar, bentar. Aku terawang dulu nih." Kataku sambil sok-sokan meneropong langit dengan membentuk lingkaran dari jempol dan telunjukku. "Kayaknya kamu deh. Soalnya kamu yang paling ga kuat ngejomblo."

"Sialan." Tapi Radit tetap tertawa mendengar sindiran berbalut candaan dariku itu.

"Kamu bakal kerja dimana, Mir? Udah ada bayangan?" Tanya Radit.

Aku menggeleng. "Ga tau. Aku sih berdoa semoga ada orang dalem biar cepet dapet kerja." Aku tertawa. Radit mengataiku semprul.

Kami berdua terdiam di teras balkon kosanku. Kepalaku dipenuhi dengan probabilitas yang akan terjadi setelah kami meninggalkan kota Purwokerto tercinta ini. Banyak orang bilang dunia kuliah memang sulit tapi dunia kerja jauh lebih sulit lagi.

Seperti kata Mbak Anjani begitu tahu aku lulus kuliah. "Selamat datang di dunia nyata!"

***

Catatan.

Huwaaaaa akhirnya selesai juga Balada Mahasiswa: FRNDS setelah 75 bab lamanya. Hayati lelah, Bwaaang, nyusun ide ceritanya 😢😢

Yap, ini seri terakhir Balada The Series yang alurnya mundur itu ya. Kalo mau baca dibalik ya gapapa juga. Ga haram kok hukumnya.

Anyway, terima kasih udah setia baca cerita Balada Mahasiswa: FRNDS ini sampe kelar. Terima kasih juga yang udah komen dan vote. Saya doakan banyak rezeki. Aamiin. Doakan saya juga semoga cerita sampah ini ada yang sudi ngejadiin buku atau film. Aamiin.

Last but not least, jangan lupa sertakan questions. Insya Allah akan saya answer sebisa saya. Mau nanya soal kuliah boleh, skripsi bahasa Inggris boleh, mau belajar bahasa Inggris gratis sama saya juga boleh, apa aja boleh. Saya mah mauan orangnya. Wkwk.

Ciaoo! 👋

Balada Mahasiswa: F R N D S (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang