Ujian akhir semester 4 membuatku dan teman-teman sekelas jadi super sibuk. Saking sibuknya sampai banyak yang tidak menyadari ada yang berbeda dengan Maria, kecuali aku.
Maria ini tidak selalu sekelas denganku. Oleh sebab itu, aku tidak terlalu kenal dekat dengannya. Aku hanya sebatas tahu namanya dan wajahnya tapi tidak begitu paham dengan pribadinya. Maria ini tipe orang yang pendiam bahkan nyaris "transparan" karena tak pernah banyak bicara. Aku juga tak pernah bertegur sapa atau mengobrol dengannya karena memang tidak pernah berurusan dengannya. Kami tak pernah sekelompok. Pun tak ada satupun dari kami yang berinisiatif ingin menyapa. Jadi sepanjang semester kami bagaikan orang yang bermusuhan. Padahal hubungan kami sebenarnya baik-baik saja. Aku hanya bingung mau memulai pembicaraan apa dengan Maria karena aku tak tahu hal-hal apa yang menarik baginya untuk dibicarakan. Aku juga tipe orang yang baru bisa heboh kalau di-trigger lebih dulu oleh orang yang heboh juga. Sementara Maria mungkin ogah dekat-dekat dengan mahasiswa yang berani protes sama dosen sampe dapet ganjaran nilai C di KHS macam aku. Mungkin dia menganggapku bisa bawa sial.
Ujian hari itu adalah Writing 4 dan Listening 4. Kebetulan di dua mata kuliah itu aku sekelas dengan Maria. NIM Maria memang agak jauh dari NIM-ku sehingga dia mendapat tempat duduk jauh di pojok kelas. Tapi aku menangkap sedikit perbedaan di tubuhnya.
Kok Maria agak gemukan sih? batinku.
Tapi demi Tuhan aku tak berpikir macam-macam karena memang aku tidak pernah suuzon dengan orang lain. Lagipula apa yang bisa disuuzoni dari seorang Maria? Perempuan kalem, pendiam, tak suka gosip, bahkan sepertinya dia juga tidak pacaran. Entahlah, mungkin saja dia punya pacar hanya saja pacarnya bukan orang dari kampus yang sama. Toh, aku juga tak ambil pusing kalaupun dia benar-benar punya pacar. Maksudnya, memangnya ada yang salah dengan gadis berusia dua puluhan yang punya pacar?
"Lo kenapa sih, Mir?" Tanya Anty. Dia melihatku kemudian mencari arah pandangku karena penasaran aku sedang memperhatikan apa.
"Ga papa," dustaku.
"Lo liatin apa? Tsubasa?" Tanya Anty. "Eh, lupa deng. Kan lo udah ada Radit. Lo nyariin Radit?"
Aku menggeleng. "Kagak. Udah ga penting juga." Aku berusaha menghalau hasrat ingin ghibahku.
"Eh, tapi-" aku ragu melanjutkan kalimatku.
"Apa?" Tanya Anty. "Kalo lo udah ngomong gitu pantang ditarik lagi loh, Mir. Lo kudu tanggung jawab karena udah bikin gue penasaran. Ntar gue ga bisa tidur." Anty setengah merengek.
"Ga bisa tidur apaan. Kamu sih mau gempa bumi juga tidur tetep pules aja." Celaku.
"Sialan!" Anty memaki. "Eh, tapi serius nih. Lo mau ngomong apaan tadi? Pinjem duit?"
"Dih, bukan!" Aku mengelak tuduhan Anty. "Kamu ngerasa ada yang beda ga sama Maria?"
"Maria siapa? Oh, Maria Renata? Yang rambutnya panjang itu?"
"Nah, iya bener."
"Kagak tuh. Emang beda gimana?" Anty malah bertanya bingung.
"Oh, ya udah. Berarti perasaanku aja kali ya." Aku akhirnya benar-benar memutuskan untuk menghentikan percakapan ini karena aku khawatir ucapanku yang masih berupa praduga ini menjadi fitnah.
"Dih, gaje lo!" Kata Anty yang untungnya juga mengabaikanku dan tak lagi mendesakku untuk bercerita lebih jauh tentang prasangkaku.
Dua bulan kemudian aku mendengar bahwa Maria mengajukan cuti.
"Cuti kenapa?" Silvi yang mendengar percakapan antara Nessa dan Fara di kelas pun tak kuasa bertanya. Ah, Silvi menyuarakan isi hatiku yang ingin bertanya pertanyaan yang sama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Balada Mahasiswa: F R N D S (TAMAT)
General FictionPersahabatan bagai kepompong Mengubah ulat menjadi kupu-kupu . . . Meski aku benci kupu-kupu tak apalah karena mereka adalah teman-teman ajaib yang membuatku beruntung mengenal mereka.