Bab 57| KKN: Kisah Keterlaluan Nyakitinnya (1)

127 25 4
                                    

"Hai!" Begitu sapanya dengan canggung.

"Hai!" Aku balas menyapanya tak kalah canggung. "Dayu kan?"

Perempuan itu mengangguk pelan. Kentara sekali menghindari kontak mata denganku.

"Samira kan?" Aku balas mengangguk.

"Beli apa?" Tanya Radit basa-basi padahal sudah jelas aku sedang menenteng sebuah papan tulis kecil untuk keperluan mengajar warga BA.

Aku hanya memberi jawaban dengan isyarat dengan menunjuk barang yang kutenteng. Radit mengangguk lalu ber-oh pendek.

"Kita duluan ya, Mir." Pamit Radit.

"Buru-buru amat, Dit?" Celetuk Bambang yang tau-tau ada di sebelahku. "Ga mau ngopi-ngopi dulu apa nih?"

Radit tersenyum tipis. Dia terlihat malas meladeni basa-basi Bambang. Entah kenapa. Jawaban berikutnya juga terdengar sinis. "Ga enak. Takut ganggu kalian berdua."

What? Ganggu? Padahal yang datang berduaan itu dia. Aku dan Bambang datang ke toko alat tulis ini dengan kelompok sedesa. Kami datang bersepuluh. Hanya saja kami memang berpencar berdua-dua sesuai kelompok karena kami berbelanja untuk kebutuhan kelompok masing-masing. Aku memang tidak mau suuzon terhadap tujuan Radit dan Dayu bersama ke toko ini. Bisa saja tujuan mereka juga sama sepertiku. Tapi kata-katanya barusan membuatku tersinggung. Memangnya dia pikir aku macam-macam dengan Bambang? Kalau aku niat selingkuh pasti aku takkan secara sengaja menemuinya atau Dayu di sini begitu tahu kami berada di toko yang sama.

"Wah, ganggu? Ngajak berantem ya pacar kamu ngomong gitu?" Kata Bambang sepeninggal Radit dan Dayu yang pergi begitu saja tanpa pamit.

"Hmm." Aku tak berkomentar lebih banyak. Pikiranku berkecamuk sehingga membuat pandanganku berkabut.

Jangan nangis. Jangan nangis. Please.

Aku nyaris melupakan kejadian beberapa minggu lalu itu karena kesibukan mengajar warga BA hingga suatu pagi teman-temanku ribut di posko.

"Iya, nanti kalo Mira liat gimana?"

"Biarin aja sekalian liat biar dia tau kelakuan pacarnya kayak apa."

"Tapi emang udah fix Radit pacaran sama Dayu?"

Sayup-sayup aku mendengar namaku disebut dengan nama Radit dan Dayu. Ada apa ini?

"Lagi rame-rame apa sih?" Tanyaku yang membuat Widya, Puspa, Christy, Sherly, dan Wulan panik. Aku tidak menyangka mereka sebegitu kagetnya melihat kehadiranku.

"Eh, oh, hai, Mir. Apa kabar?" Widya yang jelas-jelas tampak panik.

Aku mengernyitkan dahi lalu menjawab. "Baik."

Mereka semua saling lempar pandang seolah ada sesuatu yang disembunyikan.

"Kalian kenapa?" Tanyaku karena tak tahan oleh rasa penasaran.

"Oh, ini, anu- Aduh." Widya mengaduh karena Christy mencubit pinggangnya. "Ga papa kok, Mir."

"Tapi tadi aku denger namaku disebut-sebut."

Mereka langsung salah tingkah. Satu sama lain saling mencolek seolah sedang berunding meminta persetujuan dengan gaya baru.

"Anu- Itu, Mir. Aduh, daripada repot atau dikira hoax aku langsung kasih kamu buktinya aja deh." Widya pun menyerahkan sebuah kamera digital berwarna merah miliknya.

"Apa ini maksudnya?"

"Kamu liat aja foto-foto di situ."

Aku mengikuti instruksi Widya untuk masuk ke galeri agar bisa melihat foto-foto yang ada di sana. Aku tak bisa berkata apa-apa begitu melihat foto-foto di sana satu persatu. Yang jelas tiap aku bergeser ke foto yang lain aku selalu menahan napas. Mengantisipasi foto dengan adegan yang tidak kubayangkan.

Aku mengembalikan kamera itu pada Widya setelah sepuluh menit memperhatikan foto-foto yang ada di dalamnya. Cuma sepuluh tapi rasanya seperti menahan beban sepuluh kilo di pundakku.

"Kamu dapetin foto ini dari mana?" Tanyaku kemudian, berusaha tenang.

"Sendiri. Aku foto sendiri. Tadi aku sama temen-temen kan ke pantai. Kamu tadi masih nyuci kan. Pas diajak juga kamu ga mau. Makanya kita pergi tanpa kamu." Terang Widya.

Aku mengangguk. Tadi pagi Widya memang bersemangat mengajakku ke pantai mumpung ini hari Minggu. Kegiatan mengajar warga BA kan libur. Widya bilang kami perlu refreshing. Masa sudah nyaris tiga pekan kami tak sempat ke tempat wisata. Tapi aku menolak. Aku berdalih sedang mencuci. Rupanya itu firasat agar aku tidak perlu melihat kemesraan Radit dan Dayu secara langsung. Melihat kemesraan mereka lewat foto saja rasanya aku nyaris meledak.

Tunggu. Padahal aku dulu biasa saja ketika mendengar Radit sempat dekat dengan Nita bahkan beberapa kali jalan bersama. Aku tidak cemburu sama sekali. Kenapa sekarang aku jadi kelabakan? Apakah ini efek pernah dikhianati?

"Kalo kamu ga percaya kamu bisa tanya temen-temen yang lain, Mir." Kata Widya.

"Aku percaya kok, Wid."

Widya mengangguk lalu bertanya dengan hati-hati, "Menurut kamu, mereka ada hubungan ga?"

Pundakku merosot. "Aku ga tau, Wid. Aku ga mau berprasangka buruk."

"Tapi mereka sering ketahuan jalan bareng kan?" Tanya Wulan yang lebih mirip pernyataan.

"Aku dan Bambang juga sering jalan bareng kan? Jadi aku pikir wajar lah kalo mereka jalan bareng terus. Lagian dari awal Radit emang udah bilang kalo temen sekelompoknya perempuan." Belaku. Meski aku terkesan tegar dan sabar sebenarnya aku hanya berusaha mengingkari hatiku yang bergejolak marah.

"Iya ah. Mungkin emang cuma karena urusan kelompok aja." Puspa mencoba menengahi.

"Tapi kayaknya pose mereka terlalu gimana ga sih?" Wulan terkesan mengompori.

"Emang posenya kenapa?" Tanya Sherly yang emang polos.

"Kamu ga liat tadi, Sher, pose mereka gimana? Pegangan tangan, terus gandengan, rangkulan, gitu-gitu deh. Menurut kamu kayak gitu mesra ga sih?"

Sherly melirikku. Dia tak sampai hati menyampaikan pendapatnya yang mungkin saja berakibat akan membuat putusnya jalinan asmara antara aku dan Radit.

"Hmm, ya gitu." Komentar Sherly akhirnya. Wulan malah mendecak sebal.

"Udah, udah. Ga usah dibahas. Itu mungkin kebetulan aja nangkep fotonya pas lagi begitu." Christy berusaha positive thinking. Tapi hal itu bisa saja dia lakukan karena setahuku Dayu adalah teman akrabnya. Mungkin dia merasa tak enak sahabatnya disudutkan. Dia ingin membela tapi juga merasa kasihan terhadapku yang kini jadi teman seposkonya.

"Kalo emang udah dapet bukti, coba tanyain ke Radit baik-baik, Mir." Saran Bambang saat aku bercerita padanya selepas mengajar di malam hari. Sejak KKN, Bambang memang selalu jadi tong sampah curhatanku.

"Tapi mana ada orang selingkuh ngaku, Bam?" Sahutku.

"Nah, kalo kamu udah yakin mereka selingkuh itu lain soal. Mending sekalian putusin." Kata Bambang.

"Menurut kamu mereka beneran ada hubungan ga sih?" Tanyaku.

Bambang mengedikkan bahu. "Tapi kalo aku yang jadi kamu sih aku pasti bakal putusin begitu dulu dia ketahuan percobaan perselingkuhan. Sorry, buatku kepercayaan itu mahal harganya. Kalo dari awal dia udah kayak gitu ga ada ampun. Lah, masa pacaran baru berapa bulan udah gitu. Sok-sokan nyari alesan kamu cuek lah, apa lah. Ngasih kesempatan kedua sama orang yang ga bisa dikasih kepercayaan itu percuma. Dia ga bakal berubah."

Aku terdiam. Mencoba menyaring ucapan Bambang.

"Itu kalo aku loh, Mir, tapi kalo kamu punya pendapat lain ya silakan aja." Bambang menekankan kalimatnya.

"Yang jalanin hubungan ini kan kamu bukan aku. Kamu yang lebih tau. Aku sebagai sahabat cuma bisa ngasih saran."

Aku merenung lagi. Aku harus bagaimana kali ini?

***

Balada Mahasiswa: F R N D S (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang