Pasca patah hati aku harus tetap tegak berdiri karena skripshit eh skripsweet sudah menanti. Iya, di semester 7 aku sudah menulis skripsi di KRS-ku dengan pedenya.
"Emang lo udah ada judul yang mau lo ajuin?" Tanya Silvi menyangsikanku. Wajar saja jika Silvi menyangsikanku. Boro-boro judul, mikir mau nulis apa juga nggak. Efek patah hati ternyata bisa sedahsyat ini.
"Kagak." Aku menggeleng.
"Terus kenapa lo nulis skripsi di KRS?"
"Karena apa yang kita tulis akan jadi doa di masa mendatang." Jawabku diplomatis.
"Geblek!"
Ya, nyari judul skripsi emang butuh semedi. Andaikan aku bukan penakut mungkin aku udah milih semedi ke Gunung Slamet demi judul skripsi. Jadi aku kudu puter otak gimana caranya supaya aku bisa dapet judul buat diajuin biar niatan semedi itu bisa dibatalkan. Aku ga mungkin mundur karena aku udah telanjur nulis skripsi di KRS.
"Eh, eh, masa kita kalah sama Naras? Naras udah ngajuin judul dan udah acc coy!" Kata Radit suatu hari saat kami-- aku, Silvi, Tita, dan anggota geng Rebellion-- beramai-ramai berkumpul di lobi kampus. Hubungan kami sudah membaik tapi sebagai teman bukan lagi pacar. Benar, waktu memang penyembuh luka terbaik. Sedikit demi sedikit aku sudah mulai bisa menganggap Radit hanya sebagai teman bukan mantan.
"Masa?" Pertanyaan itu otomatis terlontar dari kami karena kami merasa kaget.
"Naras? Seriusan lo, Dit, dia udah ngajuin judul?" Tanya Silvi tak percaya. Inget kan dia paling sebel sama Naras.
"Serius lah gue. Noh. Coba liat di papan pengumuman di depan Bapendik. Ada judul dia. Dua lagi. Lo udah pada kepikiran belum?"
Pertanyaan itu tentu saja dijawab gelengan kepala oleh Silvi. Tita juga. Anggota geng Rebellion juga heboh karena mereka bahkan masih tidak sadar kalau sudah semester 7. Kayaknya mereka keseringan kejedot mesin PS atau joystick.
Aku dan yang lain beramai-ramai menuju papan pengumuman di depan kantor Bapendik. Benar saja ada nama Naras tercantum di sana. Sudah mengajukan dua judul. Semuanya di bidang sastra. Meski yang diterima cuma satu.
"Kereeeeennn!" Para Rebellion langsung berdecak kagum.
"Deneng dewek durung apa-apa ya, Bim? [Kok kita belum ngapa-ngapain ya, Bim?]" Tanya Eka pada Bima yang nyengir-nyengir tapi diam-diam syok.
"Jamban!" Maki Bima dengan kata-kata kotor khasnya.
"Nek gawe skripsi berdasarkan game olih pora ya? [Kalo bikin skripsi berdasarkan game boleh ga ya?]" Tanya Andri.
"Ya olih bae. Ngapa ora olih. Masalahe siki kuwe mlebune nang apa? Sastra mbok kayane ora mungkin. Paling nek ora pengajaran ya linguistik. Kowe-kowe gelem olih dosen pembimbing Botak Sula apa Si Perawan Tua kae? [Ya boleh aja. Kenapa ga? Masalahnya sekarang masukny ke apa? Sastra kayaknya ga mungkin. Palingan kalo ga pengajaran ya linguistik. Kalian mau dapet dosen pembimbing Botak Sula atau Si Perawan Tua itu?]" Jawab Radit yang disambut tatapan ngeri anggota Rebellion yang lain.
Oh ya, masih ingat Botak Sula? Botak Sula adalah sebutan untuk Pak Syaiful yang mereka bilang kalo mengajar mirip radio rusak. Sementara Si Perawan Tua adalah gelar yang disematkan pada Bu Yuni, si dosen Syntax, yang terkenal perfeksionis dan cenderung killer terutama pada mahasiswa lamban berpikir.
"Apa translation baen? Mengko karo Mr. Handoyo. [Apa terjemahan aja? Nanti sama Pak Handoyo.]" Kata Radit lagi.
"Emooooohhhh. [Ogaaaaahhh.]" Serempak para anggota Rebellion menolak mentah-mentah. Sebab Pak Handoyo ini terkenal gemulai sehingga banyak rumor tidak sedap beredar tentang dirinya. Padahal beliau juga dikenal sebagai dosen yang baik terutama soal nilai.
KAMU SEDANG MEMBACA
Balada Mahasiswa: F R N D S (TAMAT)
General FictionPersahabatan bagai kepompong Mengubah ulat menjadi kupu-kupu . . . Meski aku benci kupu-kupu tak apalah karena mereka adalah teman-teman ajaib yang membuatku beruntung mengenal mereka.