Masih ingat dengan Julia ini kan? Iya, dia teman sekosanku di kosan yang baru. Julia ini tipe orang yang asyik diajak ngobrol. Belum kenal terlalu lama saja aku dan dia sudah akrab. Kami bisa membicarakan apa saja sampai larut malam. Namun, yang namanya manusia pasti punya kekurangan dan kelebihan. Selain mudah akrab dan supel, Julia juga punya kelebihan lain yaitu kelebihan berat badan. Bukan, aku tak akan mengolok bentuk tubuhnya karena dia juga bisa saja mengatai aku kurus bagai triplek kalau saja dia mau. Yang mau aku ceritakan disini adalah kebiasaan buruknya yang berhubungan dengan makanan.
Sejak aku pacaran dengan Radit, aku memang hampir selalu makan malam diluar berdua. Entah makan nasi goreng, makan lumpia boom, makan cumi saus tiram, makan cah kangkung dengan ikan bakar, bahkan makan nasi rawon atau sate ayam. Bisa juga beli camilan semacam jagung bakar kalau sedang ingin ngemil. Intinya sejak aku pacaran dengan Radit menu makan malamku jadi lebih berwarna. Tidak melulu makan nasi rames. Itu karena Radit punya motor sehingga kami bisa pergi kemana saja kami mau. Urusan pembayaran kadang fifty-fifty, kadang aku kalau aku sudah dapat kiriman, atau dia kalau uang di rekening tabungannya masih 7 digit.
Masalahnya adalah gara-gara aku bisa beli makan dimana saja, Julia jadi sering menitip padaku. Well, sebenarnya aku tak masalah kalau dia menitip makan. Benar-benar tak masalah. Bahkan meski dia tidak mengucapkan terima kasih apalagi memberi ongkos pesan antar, aku tetap akan membelikan titipannya. Itu karena aku sadar betul betapa tak enaknya makan dengan menu yang sama setiap hari karena tak ada motor untuk mencari menu makanan yang lain. Namun, yang jadi pokok utama bahasan ceritaku kali ini adalah kebiasaan Julia yang menitip tapi dengan syarat dan ketentuan berlaku yang tak pelak membuatku jengkel. Radit juga mau tak mau jadi ikut sebal.
"Mir, aku nitip makan ya." Kata Julia seperti biasa ketika melihatku sedang mengenakan jilbab, bersiap hendak dijemput Radit.
"Oh, oke. Kamu mau makan apa?" Tanyaku.
"Kamu mau makan apa sama Radit?" Julia malah balik bertanya.
"Mmm, aku pengen makan nasi rawon aja kayaknya yang ada di seberang Hotel Asiatic. Dari kemaren-kemaren pengen nyobain makan nasi rawon di situ. Soalnya udah lama banget ga makan makanan Jawa Timuran." Aku sudah mengenakan jaket saat terdengar bunyi klakson motor Radit dari bawah.
"Aku- Enaknya aku makan apa ya, Mir?" Tanyanya.
Klakson motor Radit berbunyi lagi. Biasanya dia memang selalu naik ke balkon kamarku tapi entah kenapa kali ini dia ogah naik.
"Radit udah nungguin tuh, Jul. Buruan dong."
Julia masih nampak berpikir. Belum memutuskan akan menitip menu apa.
"Anu, itu deh. Lumpia boom. Duitku lagi cekak soalnya. Kalo makan itu kan mayan kenyang meski harganya murah." Putusnya kemudian.
Sebagai informasi, lumpia boom ini makanan favoritku dan sepertinya makanan favorit hampir semua mahasiswa di Purwokerto karena porsinya jumbo dengan harga murah. Satu buah lumpia boom tanpa nasi dijual enam ribu rupiah. Kalau sepaket dengan nasi sekitar delapan ribu. Kalau makan di tempat bisa pesan dengan menu paket lengkap plus es teh dengan harga sebelas ribu. Lumpia boom ini semacam lumpia versi besar dengan isi telur dan daging. Lumpia boom juga ada berbagai varian isian misalnya lumpia boom sosis, lumpia boom bakso, dan sebagainya. Menu ini biasanya disajikan dengan sambal merah seperti sambal bajak dan lalapan.
"Oke." Aku pun bersiap turun menemui Radit setelah Julia mengutarakan titipannya.
"Mir," panggilnya begitu aku sudah membuka pagar kosan. Aku terpaksa menengadah ke atas. "Jangan lama-lama yak."
Aku cuma tersenyum.
"Nitip apa lagi dia hari ini?" Tanya Radit begitu motornya sudah melaju.
"Lumpia boom."
"Ga sekalian aja dia nitip Dunkin Donuts atau Starbucks yang ga ada disini sekalian biar kamu ada alesan buat nolak?" Kata Radit kesal.
"Udahlah. Aku ga enak mau nolak. Bingung alesannya apa."
"Iya, Mir, tapi Julia itu keterlaluan. Masa nitip makan tiap hari? Emang dia pikir kita ini jasa pesan antar makanan apa?"
Aku tak menyahut ucapan Radit sehingga Radit melanjutkan kekesalannya.
"Makanya sekarang aku males naik ke atas ke balkon kosan kamu. Gara-gara sering nitip makan itu aku jadi bete sama dia. Takutnya kalo diajak ngomong sama dia aku jadi pengen marah."
Aku mendesah. Aku juga tadinya sempat menganggap bahwa tak apalah dititipi beli makan karena toh kupikir Julia tak mungkin menitip makan setiap hari. Eh, tapi ternyata masalah titip menitip makanan saja bisa pelik seperti ini.
"Aku mikirnya ya masa cuma dititipi makan aja kita keberatan sih, Dit. Kan sekali jalan."
"Sekali jalan sih sekali jalan. Ngantrinya itu loh. Dia kadang nitipnya ga kira-kira. Kadang ga satu tempat sama tempat kita makan. Aturan orang kalo nitip kan ngikutin yang dititipin biar ga ngerepotin. Mana kagak dibayar lebih. Bilang makasih juga kagak."
"Yah, gimana ya?" Aku mengikuti Radit yang mulai makan rawon pesanan kami.
"Tunggu aja bentar lagi. Pasti temen kamu itu ga lama lagi SMS suruh cepetan pulang karena-"
Tring. Notifikasi pesan di ponselku berbunyi. Pesan dari Julia.
"Dia udah keburu laper dan takut di kosan sendirian gara-gara bapak ibu kos lagi pada pergi." Aku merangkum isi pesan yang dikirim Julia padaku dan menyampaikannya pada Radit.
"Apa kubilang kan? Baru aja diomongin." Radit mendecak sebal.
Julia itu memang paling takut kalau ditinggal sendirian di kosan karena dia memang penakut tapi suka sekali menonton film horor. Parahnya dia punya imajinasi yang berlebihan. Dia pernah mengetuk pintu kamarku pukul sebelas malam saat aku sudah tidur cantik di atas kasur empukku. Saat kutanya, ternyata dia tidak bisa tidur setelah nonton film Kuntilanak di bioskop bersama kawan-kawannya sore harinya. Julia merasa ada yang memperhatikannya di sudut kamar. Akhirnya dia mengetuk pintu kamarku untuk tidur bersamaku.
"Padahal kita belum lama keluar. Padahal kita masih pengen jalan-jalan. Makan aja belum kelar. Ini kita belum ngantri buat beli titipannya dia loh. Beli lumpia boom itu pasti ngantri karena banyak banget yang beli kalo malem gini."
"Ya udah yuk cepetan abisin makanan kita. Keburu ngantri makin banyak kalo kita berangkatnya nanti-nanti."
Radit mendesah kesal. "Mir, Mir."
Aku memberi tatapan oh-ayolah-aku-cuma-pengen-ini-segera-berakhir karena aku ga mau pas udah nyampe sana lumpia boomnya abis terus aku harus nyari titipan Julia lagi dan antri lagi. Yang ada waktu kencan kami keburu habis sebelum kami sempat kemana-mana karena Radit selalu berkeras harus sudah mengantarku pulang ke kos sebelum pukul 21.00.
"Nih," aku menyerahkan sebungkus lumpia boom pada Julia begitu aku sampai kosan.
"Aaakkk, lumpia boomku. Aku udah laper dari tadi, Mir, makanya aku nyuruh kamu cepetan pulang. Mana tadi bapak ibu kos pada pamitan mau pergi bareng anak-anaknya. Aturan kamu tuh tiap beli makan di luar beliin titipanku dulu baru nanti kalian makan berdua gitu. Biar aku ga nungguin kelamaan."
Radit yang akhirnya sudi menginjakkan kakinya di balkon kosanku memutar bola matanya. Aku sempat melihatnya menirukan ucapan Julia dengan gerak bibir yang lebay. Aku yakin dia pasti menyumpah dalam hati saat mendengar kalimat Julia barusan karena aku pun begitu.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Balada Mahasiswa: F R N D S (TAMAT)
General FictionPersahabatan bagai kepompong Mengubah ulat menjadi kupu-kupu . . . Meski aku benci kupu-kupu tak apalah karena mereka adalah teman-teman ajaib yang membuatku beruntung mengenal mereka.