Semester 5 dan 6 kami punya mata kuliah bahasa asing pilihan lagi. Setelah di semester 1 dan 2 ada Bahasa Mandarin dan Jepang, di semester ini kami ada Bahasa Jerman dan Prancis. Aku merasa Bahasa Prancis sulit dipahami dan ditirukan pengucapannya jadi aku memutuskan memilih Bahasa Jerman. Sialnya, yang kedatangan dosen tamu bule justru mata kuliah Bahasa Prancis.
"Siaaaaallll! Kenapa aku ga milih Bahasa Prancis aja?" Rengekku penuh penyesalan.
Anty memasang wajah prihatin sambil menepuk-nepuk pundakku. "Sorry to hear that, Mir." Tapi terlihat jelas dia sedang menahan tawa. Pasalnya Anty memilih Bahasa Prancis.
"Aku bisa batalin ga sih?"Tanyaku sambil menghentak-hentakkan kaki.
"Kagak bisa lah kan udah masuk e-SIA. Ngurus ke Bapendik-nya repot njir!" Kata Anty. "Lo mau?"
Aku menggeleng. "Tapi aku pengen dapet dosen tamu bule, Ty!" Aku masih merengek.
Oh ya, e-SIA itu singkatan dari Sistem Informasi Akademik elektronik ya bukan merk hape. Sebelumnya input KRS masih manual sehingga untuk mengurusnya ke Bapendik tidak begitu rumit. Tapi sejak semester 3 atau 4 (aku lupa kapan tepatnya) sistem input manual itu diganti dengan e-SIA sehingga jika ada pembatalan atau pergantian mata kuliah menjadi sangat merepotkan.
"Entar lo dapet dosen tamu bule di mata kuliah Bahasa Jerman malah cengok karena ga ngerti dia ngomong apaan," cela Anty.
"Aku rela cengok deh. Ngeces air liur juga ga papa demi diajar dosen bule. Daripada liat dosen Jerman yang sekarang."
Aku ngebet pengen ganti mata kuliah karena aku mendapat kenyataan bahwa dosen Bahasa Jerman justru bapak-bapak usia menjelang empat puluhan. Aku jadi makin kecewa dan membandingkan betapa bahagianya Anty selama kuliah Bahasa Prancis setelah tahu ternyata cara mengajar si dosen Bahasa Jerman juga tidak asyik. Benar-benar textbook. Yang kutahu, dosen Bahasa Jerman ini sebenarnya tidak punya background mengajar apalagi mengajar Bahasa Jerman. Background study-nya adalah insinyur-entah-apa. Dia dipanggil menjadi dosen Bahasa Jerman semata karena pernah hidup di Jerman selama 12 tahun untuk kuliah dan bekerja. Aku jadi tidak semangat mengikuti kuliah ini. Kupikir meski seandainya dosen bule Prancis itu tidak bisa mengajar pun setidaknya mahasiswa yang ambil mata kuliah Bahasa Prancis masih bisa cuci mata melihat kegantengannya.
Namun, Tuhan sepertinya mendengar doaku yang kebelet ketemu dosen Bahasa Prancis ganteng di kampusku itu. Maklum, aku emang bercita-cita punya suami bule buat memperbaiki keturunan. Jadi tiap liat bule bawaannya pengen aku seret ke KUA. Suatu hari setelah kelar kuliah Metodologi Penelitian, kami (ya, aku tidak sendiri karena ada Silvi dan Nova bersamaku) menuju ke kamar mandi yang ada di dekat ruang 8. Kebetulan setelah itu kami ada kuliah Bahasa Jerman di ruang 8. Saat hendak asyik menunggu di kursi panjang di depan kamar mandi, Nova memergoki dosen Bahasa Prancis itu sedang asyik menekuri laptopnya di ruang yang akan kami tempati untuk kuliah setelah ini. Kebetulan dari posisi kursi tempat kami duduk kami bisa langsung melihat ke arah ruang 8 yang pintunya terbuka lebar.
"Eh, ada dosen Prancis, Vi." Nova menjawil Silvi yang duduk di sebelahnya.
"Mana mana?" Tanya Silvi excited.
"Itu, itu." Nova menunjuk-nunjuk sosok dosen bule itu dengan dagunya karena khawatir si dosen bule akan sadar kalau ditunjuk secara langsung.
"Mana mana?" Aku juga akhirnya ikut nimbrung. Sumpah, sikap kami saat itu seperti orang yang tidak pernah melihat bule selama hidupnya. Norak sekali.
Kami mulai membicarakan sosok dengan polo shirt hitam dan celana kargo selutut yang sedang sibuk dengan entah apa di sana. Rambutnya berwarna coklat gelap. Kontras dengan kulit terangnya. Kedua kakinya ditutupi military boots hitam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Balada Mahasiswa: F R N D S (TAMAT)
General FictionPersahabatan bagai kepompong Mengubah ulat menjadi kupu-kupu . . . Meski aku benci kupu-kupu tak apalah karena mereka adalah teman-teman ajaib yang membuatku beruntung mengenal mereka.