Bab 45| MaSSa In Fashion

148 25 4
                                    

Kalau kamu berkunjung ke kampus Bahasa dan Sastra jangan pernah terpikir mahasiswanya mengenakan pakaian keren nan mahal. Ya, manusia-manusia Bahasa dan Sastra cenderung jadi mahasiswa yang bodo amat terhadap penampilan. Coba liat aja Iras alias Buluk. Sudahlah muka lecek, rambut digimbal, baju pun tampaknya seperti cuci-kering-pakai. Ya, ga jauh beda sih. Akupun begitu. Meski isi lemari di kamar kosku nyaris penuh dijejali pakaian (aku ini contoh impulsive buyer yang suka beli apapun berdasarkan dorongan 'keinginan' bahkan 'kelucuan' bukan 'kebutuhan') tapi toh pakaian yang kukenakan untuk ke kampus hanya itu-itu saja menggunakan azas asal-tarik-apa-yang-ada-di-tumpukan-paling-atas. Kalau sedang tidak malas, aku bisa memakai pakaian yang disetrika licin nan harum mewangi sepanjang hari berkat Kispray yang biasanya sekaligus kujadikan parfum. Tapi kalau kemalasanku sudah memasuki level kronis biasanya aku akan memakai pakaian yang sudah berkerut sana sini karena kubiarkan menumpuk di keranjang pakaian bersih tanpa disetrika. Nah, kalau kemalasanku sudah memasuki level ultimate aku bahkan memakai pakaian yang sama selama dua hari berturut-turut. Sudahlah malas menyetrika, malas mencuci pula.

Kalau Silvi lain lagi. Dia biasanya hanya punya tiga pakaian wajib untuk kuliah: cardigan, blazer, dan jumper. Karena kebanyakan koleksi bajunya adalah kaos oblong, yang mana itu adalah pakaian terlarang saat di kampus, maka Silvi menyiasatinya dengan menutupi kaos itu dengan cardigan, blazer, atau jumper sekalian. Persetan dengan gerah. Koleksi kaos oblongku juga sebenarnya cukup banyak. Hanya saja karena aku bisa menutupinya dengan jilbab jadi tak terlihat itu sebagai kaos oblong jadi aku tetap aman mengenakannya ke kampus.

Padahal koleksi baju Silvi juga cukup banyak. Dua lemari penuh. Namun, baju-baju yang imut sudah sejak awal dia singkirkan dari list baju yang akan dia kenakan ke kampus karena menurutnya kalau berpakaian cewek itu seharusnya diikuti dengan berdandan, hal yang agak dihindari Silvi meski dia ga se-tomboy Anty.

"Terus kenapa kamu punya banyak baju imut begini?" Tanyaku saat bertamu ke kamarnya suatu hari dan menemukan banyak sekali dress dan rok warna-warni. Andaikan semuanya serba panjang pasti aku dengan hati menadahnya.

"Oh, itu biasanya dikasih Agung, lungsuran dari teteh, atau karena lucu aja makanya gue beli." Jawab Silvi enteng.

Aku melongo. Tapi aku memang tak bisa menyalahkannya mengingat aku juga sering melakukan hal yang sama ketika membeli sesuatu. Yang penting lucu. Urusan kepake atau ga itu belakangan.

Kalo pakaian Anty lebih ke kasual kekecilan. Jadi Anty ini emang sering pake kaos yang kecil banget. Makanya Radit sering ngatain Anty lagi make baju ponakan.

Rata-rata pakaian mahasiswa Bahasa dan Sastra memang tidak ada yang spesial. Kebanyakan memakai celana jeans (yang dicurigai oleh salah satu dosenku dicuci sebulan atau bahkan setahun sekali) dan kaos atau kemeja. Sampai suatu hari dunia fashion sedang diguncang oleh inovasi celana jeans warna-warni bak lampu lalu lintas. Semua toko pakaian menjual celana dengan warna ngejreng itu. Dan hampir semua orang di luar sana punya celana itu kecuali di orang-orang di kampusku. Hingga suatu hari pemandangan itu muncul di kampusku dan membuat Silvi gatal untuk berkomentar. Silvi ini emang jagonya komentar soal penampilan orang.

"Gileeeeee..." Katanya. Biasalah, dia memang selalu cek ombak untuk mengetes apakah komentarnya akan mendapat atensi atau tidak.

Dasarnya emang tukang gibah, Anty dan aku tentu saja langsung tertarik dan bertanya. "Kenapa kenapa, Vi?"

"Tuh." Silvi menunjuk ke arah koridor seberang dengan dagunya. Kami mengikuti arah yang ditunjuknya. "Lo liat ga?"

"Ada siapa?" Tanyaku bloon.

"Itu yang make baju warna-warni kayak traffic light gitu siapa sih?" Tanya Silvi.

Aku dan Anty lalu mengamati sosok yang mengenakan celana jeans merah, kaos kuning, dan cardigan hijau itu dari kejauhan. Aku menggeleng sedangkan Anty mengedik.

Balada Mahasiswa: F R N D S (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang