Bab 32| 1 2 3 Action 🎬(Kreativitas Tanpa Batas)

160 27 1
                                    

BEWARE!! PART INI ISINYA NARASI AJA JADI SILAKAN MEMBAYANGKAN SENDIRI MACAM MANA PENTASNYA ANAK SASTRA. HEHEHE...

Di kampusku- baik yang dari jurusan Sastra Inggris maupun Sastra Indonesia- pasti pernah mengalami masa-masa mentas untuk nilai ujian akhir. Sastra Inggris dengan dramanya. Sastra Indonesia dengan teaternya. Apa sih bedanya teater dan drama?

Sekilas sih memang hampir sulit dibedakan karena keduanya sama-sama seni pertunjukan. Tapi dari situasi anak Sasindo dan Sasing ketika manggung akhirnya aku bisa mengerti perbedaannya. Ketika anak Sasindo mementaskan sebuah teater, mereka tidak menggunakan alat pengeras suara apapun. Jadi vokal yang dihasilkan murni dari latihan mereka yang sering gila-gilaan. Aku sering melihat Julia berangkat latihan dari pukul 8 malam dan baru pulang pukul 2 dini hari selama 2-3 bulan sebelum pementasan. Bapak dan ibu kosku sudah maklum. Julia sudah mendiskusikan ini jauh-jauh hari seperti aku agar tidak terjadi kesalahpahaman. Sedangkan ketika anak Sasing mentas, kami membutuhkan mikrofon dan pengeras suara agar suara para pemain terdengar jelas. Anak Sasindo dibekali pemahaman dan praktik tentang seni pertunjukan seperti teater ini sehingga mereka juga diajarkan olah vokal demi menunjang suksesnya pertunjukan teater mereka.

Julia bercerita padaku bahwa hanya untuk mentas sekali saja dia dan rekan-rekannya membutuhkan paling tidak sebulan hanya untuk latihan vokal. Belum lagi latihan menghapal naskah dan sebagainya. Oleh sebab itu, aku benar-benar mengapresiasi ketika menonton pertunjukan teater anak Sasindo yang menurutku all out itu.

Selain dari segi vokal, perbedaan mencolok juga terlihat dari emosi dan make up pemain. Tak jarang aku melihat make up anak Sasindo terlalu wah bahkan ada beberapa yang terlihat menyeramkan. Hal itu dilakukan semata untuk membantu karakter pemain agar tampak oleh penonton dari atas panggung. Emosi pemain juga terlihat kentara. Beda dengan anak Sasing yang kadang masih enggan menunjukkan emosi yang sesuai dengan naskah.

Tapi bagaimanapun juga aku beruntung bisa kuliah di jurusan ini. Bagiku, ujian pentas ini kuanggap sebagai hiburan di antara padatnya jadwal kuliah dan pusingnya ujian. Meski latihannya cukup menguras tenaga dan pikiran tapi tak satupun dari kami yang mengeluh. Mahasiswa dari kampus lain atau jurusan lain bahkan bisa menonton pertunjukan kami secara cuma-cuma karena dipentaskan di area kampus. Kampus Bahasa dan Sastra punya panggung sendiri di aula. Panggungnya cukup besar dan ditutup sepenuhnya oleh karpet warna hitam.

Oh ya, biasanya kami manggung dengan sistem shift. Shift pagi sampai siang (bahkan sore) untuk mahasiswa Sastra Inggris sedangkan shift malam sampai dini hari (karena biasanya diikuti oleh diskusi atau bedah teater) untuk mahasiswa Sastra Indonesia. Setiap shift untuk kelas Sastra Indonesia biasanya diisi dua atau tiga lakon. Sementara untuk shift kelas Sastra Inggris bisa lebih dari tiga pentas karena waktu yang tersedia lebih lama.

Ada beberapa pentas drama dan teater yang sampai sekarang masih kuingat karena begitu mengesankan. Seperti teater anak Sasindo 2005 milik Mas Hardi misalnya. Pertama kali aku duduk di bangku penonton yang ada di kepalaku hanyalah satu: gimana cara ganti setting dengan atribut segitu banyak? Setahuku para kru hanya punya waktu satu menit untuk mengubah setting ketika tirai ditutup saat pergantian adegan. Sedangkan Mas Hardi dan teman-temannya menggunakan pot-pot bunga yang besar bahkan kursi taman dari besi sebagai atribut. Kalau tidak salah setting-nya berkisar tentang kehidupan pedesaan. Tahukah apa yang membuatku tepuk tangan? Tak sekalipun kelompok Mas Hardi menutup tirai. Benar. Tak sekalipun! Mas Hardi yang saat itu didapuk sebagai narator justru mengajak ngobrol teman-temannya yang memindahkan atribut seolah itu adalah bagian dari naskah. Aku tercengang. That was the first time I saw something like that. That was brilliant. Menurutku itu jadi terobosan baru bagi para pelakon ketika kesulitan memindahkan atribut sementara mereka hanya punya waktu sedikit untuk mengubah setting.

Atau orang-orang juga bisa mencontoh cara cerdas Abe dan timnya ketika mementaskan drama Much Ado About Nothing milik William Shakespeare. Mereka hanya menggunakan satu setting saja dari awal sampai akhir drama. Lebih hebohnya Abe berani menunjukkan adegan ciuman di panggung dengan lawan mainnya. Tentu saja bukan adegan ciuman beneran. Abe dan lawan mainnya, saat itu diperankan oleh Dian, hanya memiringkan kepala ke dua arah yang berbeda. Karena sudut pandang penonton yang sempit membuat posisi itu tampak seperti sebuah adegan ciuman betulan. Bagian adegan terniat dari kelompok Abe adalah menaburkan kapas dari atap panggung sebagai ganti salju yang dibantu oleh panitia setting panggung.

Oh ya, di setiap pementasan setiap kelompok selalu dibantu oleh panitia setting panggung yang bertugas mengurusi kelengkapan panggung dan membantu tiap kelompok untuk mengerek tirai dan segala hal yang berkaitan dengan setting panggung yang tidak bisa dikerjakan oleh anggota kelompok terutama ketika seluruh anggota kelompok mendapat giliran tampil dalam satu frame.

Selain kelompok Abe, kelompok Julia juga berhasil menggunakan satu setting untuk keseluruhan cerita. Dari awal sampai akhir, setting cerita milik kelompok Julia ada di dangau.

Yang sedikit niat dan banyak modal adalah kelompok Happy tapi usaha keras mereka sungguh patut diapresiasi. Dia dan timnya membawakan lakon Shinta Obong. Alih-alih menggunakan panggung untuk mentas, mereka memilih mentas di lapangan basket. Mereka benar-benar membakar properti. Saat itu mereka membuat gubuk dari jerami dengan susah payah tapi akhirnya dibakar juga demi totalitas cerita.

Adapun yang serba minimalis adalah setting milik kelompok Mas Odha. Latar panggung hanya diisi oleh dua lembar jarik yang dibentuk kipas besar. Tapi jangan meremehkan kelompok mereka dulu. Meski setting panggung mereka sederhana, jenis teater dan kostum mereka tak bisa dipandang sebelah mata. Baru kali itu aku melihat seni teater absurd. Teater absurd ini adalah jenis seni pertunjukan tanpa dialog sehingga interpretasi cerita benar-benar berdasarkan sudut pandang penontonnya. Selain itu kostum yang dikenakan pemain juga kostum Solo basahan yang ribetnya bukan main. Tapi kelompok Mas Odha punya Narina yang pintar make up sehingga mereka tak perlu menyewa MUA profesional dengan biaya mahal. Bayangkan saja para pemain harus mengenakan jarik plus make up ala pengantin. Belum lagi pemain perempuan harus menggunakan sanggul dan konde. Padahal durasi mentas hanya sekitar lima belas sampai tiga puluh menit. Agak tidak sebanding dengan usaha memulas diri demi peran. Tapi setara dengan kepuasan diri sendiri untuk menampilkan pertunjukan terbaik.

Aku juga terpesona pada moral value yang diselipkan dalam cerita yang mengusung tentang harta, tahta, dan wanita ini. Nilai moral yang menurutku sangat relevan dengan kenyataan di masa kini. Apalagi mereka juga masih mengusung adat Jawa yang kental yang sudah nyaris dilupakan masyarakat.

Oh, jangan lupakan juga kelompok Nadine yang membawakan The Tragedy of Macbeth-nya William Shakespeare. Mereka punya trik jitu untuk menyiasati adegan ketika Macbeth membunuh King Duncan. Alih-alih menggunakan cat atau cairan berwarna merah lain sebagai ganti darah, mereka justru menggunakan sarung tangan berwarna merah darah. Meski agak sedikit nyeleneh tapi kurasa itu termasuk ide jitu dan cukup kreatif. Mungkin mereka tidak ingin mengotori panggung sehingga tercetuslah ide nyentrik seperti itu.

Selain pertunjukan teater dan drama, para mahasiswa sastra juga dituntut untuk kreatif dalam musikalisasi puisi. Sama halnya dengan pertunjukan teater dan drama, musikalisasi puisi juga dijadikan bahan ujian akhir semester. Oleh sebab itu, jangan heran kalau banyak mahasiswa sastra yang bisa bermain alat musik atau bernyanyi karena memang tuntutan dari mata kuliah yang kami ikuti seperti itu.

Biasanya kami disuruh memilih puisi apa saja, disuruh menganalisis unsur-unsur intrinsiknya, kemudian disuruh menampilkan dalam bentuk musikalisasi. Ini juga menyenangkan karena biasanya banyak sekali ide-ide kreatif yang muncul meski kebanyakan kami menggunakan musik akustik.

Begitulah kehidupan kami, para mahasiswa sastra. Kami dituntut untuk kreatif. Menurutku merasakan kuliah di jurusan sastra adalah suatu kebahagiaan tersendiri karena hiburan dan pelajaran bisa bersatu dalam satu waktu. Apa kamu tertarik untuk masuk jurusan ini juga? :)

***

Balada Mahasiswa: F R N D S (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang