Malam itu Widya pulang sambil menangis sesenggukan. Sherly merangkul pundak Widya.
"Widya kenapa?" Tanyaku pada Sherly. Kupikir bertanya pada orang yang sedang menangis pasti tidak efektif jadi aku bertanya pada Sherly saja.
"Widya liat setan lagi?" Tanyaku lagi karena Sherly tak kunjung menjawab sebab Sherly sibuk mendudukkan Widya di kursi ruang tamu. Widya masih tergugu hebat.
Sherly menggeleng. "Nggak. Tadi ada insiden-"
Braaaakkk!! Tiba-tiba pintu depan menjeblak terbuka. Hawa dingin malam langsung menembus kulitku. Mas Eko dan Ari masuk ke dalam dengan wajah panik.
"Kamu ga papa kan, Wid?" Tanya mereka berdua pada Widya.
Ini ada apa sih? Serius, aku jadi merasa orang paling tolol di sini karena jadi satu-satunya yang tidak tahu ada masalah apa sebenarnya sama mereka.
Widya menggeleng menjawab pertanyaan Mas Eko dan Ari. Tapi tubuhnya masih gemetar hebat. Aku memberi isyarat bertanya pada Ari tapi tak direspon. Begitupun Mas Eko. Tapi setelah itu Sherly yang akhirnya menjelaskan duduk perkaranya.
"Jadi tadi kita naik rakit pas mau berangkat ke RT 3 RW 3-"
Oh iya, Sherly dan Widya ini satu kelompok. Mereka kebagian mengajar warga BA di RW 3 yang desanya ada di seberang sungai. Kali Pemali namanya. Sungainya cukup besar. Cukup buat menciutkan nyaliku untuk menyeberanginya karena aku tak bisa berenang. Terutama kalau harus menyeberanginya di malam hari seperti Sherly dan Widya. Apalagi wilayah sana terhitung sepi bila dibandingkan wilayah tempat aku mengajar. Belum lagi banyaknya pohon bambu membuatku merinding kalau harus menyusuri jalanan di sana tiap malam. Ga lucu kan kalo tiba-tiba aku disapa Mbak Kunti atau Mbak Wewe Gombel di tengah jalan karena pengen diajarin baca juga. Aku beruntung tidak kebagian daerah sana mengingat Bambang punya "kepekaan" dan menarik perhatian makhluk tak kasat mata seperti mereka. Kalau aku yang dapat jatah di sana aku bisa pingsan tiap hari karena Bambang pasti membawa setidaknya satu makhluk gaib setiap hari.
Sebenarnya Mas Eko dan Ari (mereka satu kelompok) juga dapat jatah mengajar warga BA di RW yang bersebelahan tapi kadang waktu mengajar mereka tidak selalu bersamaan dengan jadwal mengajar Sherly dan Widya sehingga kadang mereka terpaksa melepas Sherly dan Widya berangkat dan pulang berduaan saja.
"Terus?" Aku menyela tidak sabar.
"Nah, pas berangkat katanya Widya emang ngerasa sih pantatnya kayak ada yang nyentuh tapi dia ga ambil pusing karena waktu itu kan rakit lagi banyak yang naik. Ada kita berdua, dua orang bapak-bapak, satu anak muda, dan si penjaga rakit, plus dua motor. Satu punya Widya, satu lagi punya si anak muda. Widya mikirnya karena rakitnya kecil kan jadi wajar kalo kesenggol-senggol ga sengaja."
Aku mengangguk-angguk.
"Terus pulangnya kita naik rakit lagi. Nah, kali ini cuma ada kita berdua sama si penjaga rakit. Widya ngerasa kayak ada yang pegang-pegang pantatnya gitu. Kali ini dia agak waspada soalnya cuma ada kita bertiga. Ga mungkin dong aku yang grepe-grepe apalagi aku sama Widya kepisah motor. Si penjaga rakit berdiri di belakang Widya. Entah kebetulan atau emang sengaja aku ga tau. Widya emang lagi apes aja. Mungkin karena ada kesempatan juga."
"Dan ternyata?" Aku menyela lagi agar Sherly segera meneruskan ceritanya.
"Dan ternyata begitu nengok emang beneran si mas penjaga rakit itu yang grepein Widya. Widya langsung marah-marah damprat orang itu. Orang itu tuh berlagak diem gitu tapi kayak ga ngerasa bersalah. Orangnya ga minta maaf atau gimana. Nah, pas Widya lagi marah-marah itu di seberang ternyata udah ada Mas Eko sama Ari makanya mereka tau kalo ada yang ga beres tadi. Meski gelap suaranya Widya kan menggelegar jadi ketahuan lah."
"Aku takut banget tadi." Akhirnya Widya buka suara. "Tadi aku sempet mikir apa didiemin aja. Masalahnya kita cuma berdua, Sher, dan kita cewek. Secara tenaga, kalau itu orang macem-macem sama kita, pasti kita tetep bakal kalah."
Sherly mengangguk. "Bener. Makanya tadi aku juga takut banget pas tadi kamu marah-marah dan damprat orang itu habis-habisan. Mana kita cuma orang luar desa kan. Bisa aja dia memutarbalikkan fakta tentang hal ini. Nanti kita yang kena kasus kan mampus."
"Iya, tapi aku bismillah aja. Soalnya kejadian ini ga cuma hari ini doang. Jadi aku pikir ga bisa didiemin lagi."
"Apa? Udah berapa kali emang?" Ari terkejut. "Kamu ga pernah diapa-apain kan, Sher?" Sebagai pacar, Ari peduli dengan Sherly.
Sherly menggeleng. "Untungnya ga."
"Ini udah ketiga kalinya si penjaga rakit itu kurang ajar." Jawab Widya geram. "Selama ini aku diemin karena aku pikir emang kesenggol biasa. Soalnya selama tiga kali itu, dua kali rakitnya pas penuh jadi aku mikir wajar kan kesenggol. Lagian ga ada yang keliatan mencurigakan. Nah, baru tadi itu rakitnya lega. Cuma ngangkut aku dan Sherly. Terus aku inget-inget lagi si mas penjaga rakit itu emang selalu berdiri di belakangku."
Hmm, mungkin si mas penjaga rakit ini punya fetish dengan perempuan berbadan gemuk seperti Widya.
"Tapi udah bagus kok kamu berani negur, Wid. Kalo ga gitu dia pasti ngerasa kamu terima-terima aja atau bahkan ngiranya kamu keenakan digituin. Dikiranya itu sebuah consent buat dipegang-pegang." Pujiku untuk keberanian Widya. Mungkin aku sendiri tidak akan berani mengambil sikap seperti Widya bila dihadapkan dalam kondisi yang sama karena pelaku pelecehan seperti itu cenderung licin dan lihai mengeles. Apalagi kalau tidak ada buktinya. Pasti si pelaku akan menuduh si korban balik bahwa itu hanya perasaan si korban saja tubuhnya merasa digerayangi.
"Mau ga mau, Mir, daripada keterusan."
"Kalo gitu mulai sekarang Sherly dan Widya berangkat dan pulang bareng Mas Eko dan Ari aja." Usulku. "Seenggaknya ada cowok di antara kalian biar si pelaku itu segan. Kalo masih kayak gitu lapor aja ke kades biar ga usah jaga rakit. Minta ganti orang aja yang sepuh misalnya."
"Sebenernya aku malah trauma." Widya menangis lagi. "Aku jadi takut mau ngajar ke sana lagi. Mas, boleh tukeran aja ga sih?" Widya merengek.
"Ya ga bisa lah, Wid. Kita udah bikin laporan loh. Laporannya udah sampe LPPM. Kita ga bisa ganti seenaknya. Lagian udah sebulan. Udah separuh lebih perjalanan." Mas Eko memaparkan alasannya. Dengan kata lain Widya terpaksa harus bersabar hingga KKN ini selesai.
Widya tak ayal cemberut. Namun, dia tak merengek lagi. Dia sadar alasan yang diberikan Mas Eko masuk akal.
"Sabar aja. Sementara penyelesaian masalah kamu kayak yang diajukan Samira aja. Kita berangkat dan pulang sama-sama. Berdoa aja semoga ga ada kejadian kayak gini lagi. Oke?" Hibur Mas Eko.
Widya mau tak mau setuju.
Keesokan harinya mereka mengikuti saranku. Kelompok Mas Eko dan Ari yang biasanya mulai mengajar selepas isya mengganti jadwal mengajar mereka selepas magrib seperti jadwal Sherly dan Widya kemudian pulang dua jam kemudian.
Sementara ini masalah sepertinya cukup terselesaikan sebab Widya tak pernah kelihatan mengeluhkan masalah itu lagi. Kabar baik justru datang tak lama setelahnya.
"Tukang rakitnya diganti!" Adunya dengan senyum semringah.
"Alhamdulillah." Kami berseru kompak mensyukuri berita itu.
"Tapi usahakan tetep waspada, Wid. Tetep berangkat dan pulang bareng kayak biasanya. Otak manusia kadang ga ngerti dalemnya gimana." Aku memberi peringatan.
"Bener." Bambang menyetujuiku. "Manusia yang otaknya selangkangan dan otongnya ngacengan ga cuma yang muda aja."
Untungnya kejadian pelecehan itu tidak terulang lagi. Hingga kini kami tidak tahu kenapa si penjaga rakit itu diganti. Entah malu karena sempat ditegur atau dia dapat pekerjaan lain yang lebih baik. Yang jelas Widya tak perlu takut dia mendapat pengalaman pahit itu lagi.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Balada Mahasiswa: F R N D S (TAMAT)
General FictionPersahabatan bagai kepompong Mengubah ulat menjadi kupu-kupu . . . Meski aku benci kupu-kupu tak apalah karena mereka adalah teman-teman ajaib yang membuatku beruntung mengenal mereka.