"Ya ampun. Astaga. Astagfirullah. Subhanallah. Innalillah." Silvi berkomat-kamit di seberang sana dengan suara yang memekakkan telinga sehingga aku perlu menjauhkan telingaku dari ponsel.
Tak terasa ini sudah hari ketiga KKN. Pagi ini aku menelepon Silvi. Karena di antara kami berempat, hanya Silvi yang ditempatkan di kecamatan yang berbeda, Kecamatan Tanjung. Sedangkan aku, Tita, dan Anty ada di satu kecamatan, yaitu Kecamatan Wanasari, tapi berbeda desa. Di antara Tita dan Anty, jarak desa terjauh adalah desa Tita, yaitu Desa Jagalempeni, sehingga aku lebih sering berkunjung ke desa Anty yaitu Desa Kupu (yang kupelesetkan menjadi Desa Cupu).
"Kamu kenapa sih?" Tanyaku setelah memastikan suara Silvi tak lagi membahana.
"Gue lagi bete, Mir. Gue lagi bete sebete-betenya!"
"Kenapa?" Aku mengernyitkan dahi.
"Gue jadi kormades-"
"Cieeee."
"Lo ga usah cie-cie dulu. Masalahnya kormacam di kecamatan gue itu titisan demit."
"Lah, kalo gitu lo juga titisan demit dong. Kan bos biasanya satu bangsa sama anak buah." Ledekku sambil terkikik.
Oh ya, kalau tidak salah kormades itu singkatan dari koordinator masyarakat desa sedangkan kormacam singkatan dari koordinator masyarakat kecamatan. Kormades hanya mengepalai kelompok KKN untuk wilayah per desa saja. Kormacam mengepalai seluruh kelompok KKN dalam satu kecamatan sehingga bisa dibilang kormacam adalah bosnya kormades.
"Enak aja!" Silvi langsung mencak-mencak tak terima. "Kagak lah. Gue tiap liat tuh demit bawaannya emosi. Udah mukanya sengak eh kelakuannya juga minus. Kalo bikin kebijakan ga ngotak."
Aku tertawa geli. "Ati-ati lho, Vi, biasanya yang begitu tuh bisa cinlok."
"Amit-amit jabang bayi. Nauzubillah." Teriak Silvi.
Kami pun akhirnya berbincang-bincang seru di telepon. Ketika Bambang memanggilku untuk sarapan barulah aku mengakhiri panggilan.
Ah ya, masih ingat Bambang kan? Dia temanku sekelompok saat masih ospek. Kami ditakdirkan sedesa dan sekelompok lagi saat KKN.
"Makan enak kita hari ini," katanya sambil berjalan di depanku menuju ruang tengah yang luas yang biasa kami pakai untuk kegiatan. Omong-omong kami tinggal di sebuah rumah seorang pensiunan guru bernama Pak Mahmud. Beliau ini dianggap sebagai orang terpandang di Desa Kertabesuki karena terpelajar. Kebetulan rumah beliau juga besar dan hanya dihuni oleh sedikit orang. Yang ada di sana hanyalah Pak Mahmud, anak perempuannya, menantu, dan cucu perempuannya. Istri Pak Mahmud sudah berpulang beberapa tahun yang lalu. Sedangkan untuk urusan memasak, beberes rumah, dan momong anak diserahkan pada seorang ART yang datang tiap pagi hingga sore sebab anak perempuan Pak Mahmud bekerja begitupun menantunya.
"Lauk apa?" Tanyaku.
"Sate blengong." Jawabnya dengan cengiran super lebar.
"Hah?" Aku langsung memasang wajah horor. Sate blengong adalah istilah orang Brebes untuk menyebut sate bebek. Menurutku bebek terlalu lucu untuk dijadikan makanan, seperti halnya kelinci, sehingga aku menghindari makanan seperti itu karena tak mau terbayang wajah imut mereka saat makan. Aku tak tega.
KAMU SEDANG MEMBACA
Balada Mahasiswa: F R N D S (TAMAT)
General FictionPersahabatan bagai kepompong Mengubah ulat menjadi kupu-kupu . . . Meski aku benci kupu-kupu tak apalah karena mereka adalah teman-teman ajaib yang membuatku beruntung mengenal mereka.