Mencari warga untuk dijadikan siswa pada pembelajaran buta aksara tak semudah yang kubayangkan sebelumnya. Aku dan Bambang harus berkeliling setiap hari di seluruh RW yang menjadi bagian kami. Iya, agar tidak terjadi bentrok ataupun kasus saling klaim siswa, masing-masing kelompok punya jatah wilayah masing-masing yang dirembug saat rapat kelompok di malam hari. Aku dan Bambang kebetulan dapat jatah wilayah yang dekat dengan posko karena kami satu-satunya kelompok yang anggotanya tidak ada yang membawa motor sehingga kami diberi jatah wilayah yang bisa dijangkau dengan berjalan kaki. Sebenarnya ada dua kelompok yang kedua anggotanya membawa motor dan kami bisa saja meminjam salah satunya tapi Bambang menolak karena dia tak mau di kemudian hari ada masalah misalnya saja kerusakan motor karena kecelakaan atau karena kondisi jalan desa yang rusak.
"Assalamu'alaikum, Bu." Aku menyela pembicaraan para ibu yang sedang berkumpul di sebuah perkampungan. "Ngapuntene nggih. Nek kula nderek tanglet-tanglet saget? [Permisi ya. Kalo saya mau ikut tanya-tanya boleh?]"
"Oh, nggih, Mbak. Monggo. [Oh iya, Mbak. Silakan.]" Jawab seorang ibu.
"Nek teng mriki tasih wonten tiyang sing dereng saget maos napa mboten nggih, Bu, kinten-kintene? [Kalo di sini masih ada orang yang belum bisa baca apa tidak ya, Bu, kira-kira?]" Tanya Bambang.
Beberapa ibu berpikir. Lalu ada yang menyahut. "Nek madosi sing bener-bener dereng saget maos nggih angel, Mbak, Mas. Wong sing teng mriki rata-rata nggih sekolah waune tapi medhot tekan kelas 3 apa 4. [Kalo nyari yang bener-bener belum bisa baca ya susah, Mbak, Mas. Soalnya kalo yang di sini rata-rata ya tadinya sekolah tapi putus sampe kelas 3 atau 4.]"
Aku dan Bambang mengangguk-angguk. Desa Kertabesuki memang belum termasuk desa pelosok sih jadi mungkin sudah banyak warga desa yang mendapat pendidikan meski tak sampai tamat di jenjang tertentu.
"Anu, njenengan niku sinten sih? Saking kecamatan? Kelurahan? Arep nyensus? Napa pripun? [Anu, kalian itu siapa sih? Dari kecamatan? Kelurahan? Mau nyensus? Atau gimana?]" Tanya ibu yang lain.
"Kula kalih rencange kula niki saking Purwokerto, Bu, saking Unsoed. Teng mriki wonten program KKN. Program kuliah kados niku. Nah, tugase niku madosi tiyang-tiyang sing dereng saget maos terus mangke diajari. [Saya sama temen saya ini dari Purwokerto, Bu, dari Unsoed. Kesini karena ada program KKN. Program kuliah seperti itulah. Nah, tugasnya itu nyari orang-orang yang belum bisa baca nanti diajari.]" Terang Bambang.
"Oh." Ibu-ibu itu manggut-manggut.
Lalu ada yang nyeletuk. "Nek kula nderek angsal, Mas? [Kalo saya ikut bisa, Mas?]
"Saget, Bu. Monggo. Mangke kula catet mawon sing nderek sinten mawon teng mriki. Mangke tak damelke jadwale. [Bisa, Bu. Silakan. Nanti saya catet siapa aja yang ikut di sini. Nanti saya bikinin jadwalnya.]"
"Sing mulang njenengan to, Mas? [Yang ngajar kamu kan, Mas?]" Si ibu itu senyum-senyum mencurigakan.
"Nggih. Lah kenging napa nggih, Bu? [Iya. Lah, kenapa ya, Bu?]" Bambang bertanya dengan polosnya.
"Anu, njenengan ganteng, Mas. Nek kula nderek kan lumayan nggo cuci mata. Garwane kula niku nggawe sepet. [Anu, kamu ganteng, Mas. Kalo saya ikut kan lumayan buat cuci mata. Suami saya itu bikin sepet.]" Jawab si ibu malu-malu.
"Walah, Yu, Yu. Sampean ki lho. Biso wae. [Walah, Mbak, Mbak. Kamu itu lho. Bisa aja.]" Celetuk yang lain.
Tak urung perkataan si ibu itu membuat gaduh suasana di sana. Aku juga ikut tertawa. Bambang yang dipuji justru senyum-senyum rikuh. Ya, dari segi penampilan Bambang memang tergolong ganteng. Tubuhnya tinggi, kurus, rambut cepak, kulit putih. Pokoknya tipe ibu-ibu banget. Akhirnya mereka mencatatkan diri sebagai siswa pertama di RT tersebut. Lumayan, kami sudah mengantongi nyaris puluhan nama dari beberapa RT dalam kurun waktu kurang dari seminggu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Balada Mahasiswa: F R N D S (TAMAT)
General FictionPersahabatan bagai kepompong Mengubah ulat menjadi kupu-kupu . . . Meski aku benci kupu-kupu tak apalah karena mereka adalah teman-teman ajaib yang membuatku beruntung mengenal mereka.